Mohon tunggu...
rendi lustanto
rendi lustanto Mohon Tunggu... -

study in university of indonesia, philosophy program. interested with literature classic, new foucaultian. twitter: @RendiLustanto.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Goresan Nestapa Sang Lian"

29 Desember 2015   02:02 Diperbarui: 29 Desember 2015   02:14 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Goresan tinta merah darah sore itu aku tuangkan dalam kesucian kanvas berukuran 1m kali 2m, sayup sayup suara dentuman lesung kayu yang menumbuk kopi sangrai menebarkan aroma yang menjadi stimulus bagi diriku, entah kenapa ? aku merasa bahwa aroma kopi merupakan sebagian dari kehidupan damai dan sentosa dilereng gunung lawu ini. sentuhan kuas seakan mengikuti alur alur resapan imaji seperti tetesan air yang jatuh dari akar pohon banyan dimata air hutan seberang, ketenangan yang kudapatkan seolah menjadi faktor utama tingginya kualitas karya yang kuhasilkan, sebenarnya agak tersiksa ketika kami kelompok seniman yang mengatasnamakan gerakan lekra dianjurkan oleh bung karno untuk turun ke masyarakat, makan dengan mereka, ke ladang dengan para kaum proletar sebenarnya aku pun tak tahu masuk dalam kategori mana entah proletar ataupun borjuis, jangan jangan aku ini spesies baru yaitu seniman siluman (setengah proletar dan seperempat borjuis) pertanyaan itu lah yang belum terjawab sampai menuju pergulatan kematianku, namun sebenarnya aku pun tak tahu disebut sebagai seniman namun karya nya hanya aku nikmati dengan kolega kolega ku saja, aku lebih suka bergelut dengan mesin ketik dan kamera buntut merek nikkon yang kemudian membawaku menjadi mahluk yang paling dungu pada masa orde baru, sampai sampai aku pun ditolak oleh tanah air ku sendiri, tempat dimana tangisan anak laki laki kala menir menir belanda melakukan kunjungan dipabrik teh samping rumahku. Kelahiran ku membuat seluruh desa menjadi heboh karena aku terlahir dari rahim wanita pribumi yang lugu, aku pun tak tahu siapa sebenarnya bapak ku, pernah satu waktu ketika aku duduk diperapian karena kedinginan saat musim penghujan kutanyakan kepada ibuku, “simbok kenapa wajahku berbeda dengan wagiman atau paijo, kata mereka aku mirip dengan noni noni dan menir menir yang suka jalan jalan dengan kuda putih mengelilingi kebun teh di sabtu sore.

Perkenalanku dengan kasanah pemikiran ketika aku memutuskan untuk melanjutkan studi di fakultas sastra dan filsafat universitas indonesia, yang waktu itu bertempat di rawamangun jakarta timur, namun dengar dengar sekarang kampusku tercinta sudah pindah kepinggiran ibu kota, karena hampir 5 tahun sejak kelulusanku tahun 1958 aku tak pernah mengunjungi kampusku lagi, kemudian aku memutuskan untuk bergabung dengan salah satu majalah yang bergerak dibidang isu isu sosial di wilayah cikini jakarta pusat, ditempat inilah sebenarnya awal mula petualangan yang sesuangguhnya dimulai, suatu tempat dimana yang menyuburkan apa yang telah aku peroleh dengan orang orang setengah gila dengan berbagai pemikiran dari tanah tanah noni, mungkin juga berasal dari sebagian kecil tanah airku, sampai sekarang akupun tak tahu dimana sebenarnya leluhurku berasal, apakah aku ini benar benar keturunan dari menir yang menyetubuhi seorang gadis desa kuli petik sebuah perkebunan teh dilereng gunung lawu, namun apakah mereka tidak pernah berfikir untuk berterimakasih kepada tanah ini, bahwa mereka punya hutang yang bukan sekedar dapat dihitung dari materi saja, apakah mereka tidak merasa bersalah ketika mereka membrangus peradaban leluhur kita yang memiliki nilai yang sangat tinggi, sebuah peradabaan dimana sudah memilki sebuah kemajuan yang sangat signifikan, bahkan kala itu mereka yang berkulit putih dan memerah jika terkena sinar matahari tropis hindia belanda masih memikirkan bagaimana mengetasi gejolak antar manusia, masyarakat di hindia belanda sudah memikirkan apa itu etika dan estetika, sebelum filsuf yahudi, martin buber melahirkan sebuah pemikiran dari rahim seorang penganut mistisisme, leluhurku sudah memikirkan bagaimana membangun suatu relasi yang penuh antar subyek.

Sebenarnya aku datang ke jakarta awalnya untuk bekerja dengan seorang keponakan ibuk, dia bernama pakde sutoyo, kita tinggal di jalan utan kayu no 23 B. Saat itu pakde ku ini memiliki usaha yang berkerjasama dengan kontraktor anak usaha BUMN, aku masih ingat ketika pertama kali datang ke jakarta tahun 1956, ketika itu aku merasa seprti dalam dunia dongeng, ya aku belum pernah melihat rumah rumah kokoh, kendaraan bermotor yang berlalu lalang, dan yang paling membuat aku terkejut adalah ketika melihat salah satu aliran anak sungai ciliwung di jakarta timur yang sangat kumuh dan kotor, apakah orang jakarta sejorok itu, di rumahku aliran air yang keluar dari kandungan gunung yang suci di pulau jawa, wukir mahendra itu merupakan nama peninggalan majapahit sekarang lebih sering digunakan nama gunung lawu.

Kata sesepuh desa yang tinggal di desa ku, awal mulanya desaku adalah sebuah desa yang sunyi sepi dan tentram, mulai terjadi teror dan penindasan ketika mereka bangsa kulit putih mencium aroma keuntungan yang besar jika melakukan investasi di bidang agrikultur yang laku dipasaran eropa, sejak saat itu belanda berangsur-angsur mulai menguasai lahan ulayat milik desa kami, belanda mempekerjakan banyak sekali kaum pribumi untuk membuka perkebunan teh yang sangat luas dari daerah ngrambe jawa timur sampai karang anyar jawa tengah, perkebunan ini bernama Jamus.

Mbah sumijan, seorang sesepuh desa yang kala aku masih berusia 12 tahunan, mungkin indonesia kala itu masih berusia anak-anak, dia mencritakan kepadaku bagaimana perilaku semena mena bangsa londo (mereka menyebut warga belanda dengan sebutan londo), para lelaki yang bertubuh tinggi dan berkulit merah itu suka sekali menjadikan kembang desa sebagai gundik gindk mereka, karena mereka kesepian karena meninggalkan istri istri meeka di tanah sebrang. Mereka melakukan segala cara agar dapat meminang para kembang desa, bahkan dengan berbagai ancaman, jika mereka tidak berhasil untuk melamar mereka, para kaum londo itu tidak segan untuk memperkosa mereka ditengah perkebunan teh kala mereka sedang bekerja memetik daun teh untuk perkebunan, seolah itu sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka dapat melakukan tindakan yang semena mena yang mirip dengan binatang kepada perempuan desaku.

Aku, merupakan hasil dari perampasan hak dan identitas, sekaligus kehormatan dari seorang wanita muda pribumi yang diperkosa oleh mandor perkebunan teh. Rahim yang mengeluarkan ku adalah salah satu rahim yang terkuat secara batiniah maupun lahiriah, ya karena saat itu hamil diluar nikah merupakan suatu hal yang sangat memalukan, ibu ku sangat tegar dalam menjalani nasibnya sebagai seorang wanita muda yang baru berusia 18 tahun harus menjadi seorang ibu, karena suatu perampasan kehidupan dari bangsa kolonial yang merasa memilki sebuah peradaban yang lebih maju dari kaum pribumi, bahkan ibuku bersikeras untuk tidak mengungurkan kandungan nya, karena menurut nya akan sangat berdosa ketika sudah menjadi wanita yang kotor kemudian lebih mengotori dirinya dengan membunuh darah daging sendiri, walaupun sebenarnya kehadiran anak itu bukan keinginanya.

Satiyem, seorang wanita muda berkulit hitam manis nan eksotik, dia adalah salah satu gadis desa yang bekerja disalah satu perkebunan teh untuk menutupi kesulitan keuangan yang dialami, karena bapaknya telah pergi menuju tanah yang jauh dijadikan kuli disalah satu perkebunan tebu di negri sebrang, bebarengan dengan eksodus tenaga kasar dari pulau jawa yang dikirim ke amerika latin, yang notabene nya merupakan bagian jajahan belanda yaitu suriname, mereka dipaksa untuk meninggalkan anak dan istrinya untuk dijadikan tenaga pembuka perkebunan tanaman yang laku ditanah eropa, seperti tebu, kopi, kina, dll. Semenjak saat itu satiyem berjuang untuk membantu menghidupi keluarganya, karena satiyem merupakan anak tertua dari pasangan sartinah dan sukemi.

Harapan dari keluarga kecil ini, sukemi selaku kepala keluarga kelak dapat kembali dan merubah nasib mereka ternyata hanya sebuah harapan yang kosong, bahkan sukemi pun putus kontak dengan keluarga nya di tanah jawa, sukemi meninggalkan sartinah dan 3 anak kecil yang masih butuh perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya, satiyem sebagai kakak tertua dan kedua adik laki lakinya, yang bernama harsono dan pairan. Mereka bertiga selisih 3 tahu antara satu dengan yang lain, ketika ditinggal oleh bapaknya satiyem kala itu masih berusia 10 tahun, sedangkan aku adalah saudara tertua mereka yang berbeda benih kehidupan, aku memiliki warna kulit yang putih cerah bercampur lumpur gunung lawu.

Diusiaku yang menginjak 20 tahun ini, aku berusaha menulis sisa-sisa memori kelam yang menempel bak jelaga didalam pikiranku, aku mulai sadar ketika sebuah pengalaman itu tidak diabadikan maka pengalaman itu akan termakan oleh zaman. Ketika aku mulai menginjakan kedunia akedemis, yah ke universteit  van indonesia, aku mulai sadar bahwa aku ini termasuk anak anak harapan bangsa ini, anak anak muda yang kelak membangun bangsa ini menjadi bangsa yang berdikari ( seperti pidato pidato bung karno), aku disini mulai mengenal berbagai macam model pergulatan pemikiran, mulai marxisme, liberalisme, komunisme dll.  

Bersambung.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun