Mohon tunggu...
rendi lustanto
rendi lustanto Mohon Tunggu... -

study in university of indonesia, philosophy program. interested with literature classic, new foucaultian. twitter: @RendiLustanto.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Subyektifitas Wanita Suku Kaulong Menjawab Keinginan Feminis

24 April 2015   23:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:42 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Maskulinitas dalam filsafat sangat berkaitan erat. Banyak sekali filosof laki laki yang pemikiran nya di jadikan sebagai panutan dalam berbagai hal. Dominasi ini menimbulkan semacam kecemburuan bagi para filososof wanita, seperti yang di utarakan oleh Sigmund Freud dalam kasus Primal Father , seorang perempuan akan merasa cemburu terhadap kaum laki laki karena keunggulan yang di miliki oleh kaum laki laki ,namun muncul kritik dari kaum feminis bahwa wanita cemburu dengan laki laki dalam peran mereka di dalam masyarakat bukan cemburu karena kepemilikan “penis” melainkan privilege kaum laki laki di dalam masyarakat.

Namun jika kita berbicara para filosof ,mereka juga manusia yang membutuhkan sex, membutuhkan kasih sayang dari lawan jenis. sebagai manusia kebanyakan dari mahluk ini akan mengikat hubungan percintaan yang mereka jalankan dengan sebuah pengakuan dari institusi legal hasil bentukan dari masyarakat. Yang sangat identik dengan kontrak kontrak sosial yang di jalankan oleh kaum laki laki.

Dalam pernikahan setiap pasangan akan saling berinteraksi satu sama lain. Para kaum laki laki akan berusaha mengobyekan pasangan mereka dan para kaum wanita di karenakan mereka di takdirkan sebagai seorang wanita mereka akan cenderung pasrah, sedangkan para kaum laki laki dengan segenap privilege yang dia miliki  akan berusaha menjadi subyek yang kuat dalam hubungan ini.

Emma Goldman: “jealous: Causes and A Possible Cure”

Emma Goldman adalah seorang anarkis yang memiliki pemikiran mengenai pernikahan dan cinta. di dalam karya nya yang berjudul “jealous: Causes and A Posibble Cure”. Sebagai seorang yang anarkis yang intinya anarkisme percaya bahwa value dari otonomi individual yaitu segala bentuk relasi antar individu harus berbentuk sukarela, yang bisa di artikan bahwa jealous merupakan merupakan hasil dari proses propriatariness (berhubungan dengan kepemilikan). Jealous adalah obsesi dari rasa kepemilikan dan rasa dendam.

Emma Goldman menggambarkan kondisi di mana sikap antar manusia yang akan berusaha menjadi subyek dan akan mengobyek kan manusia lain. Hal ini dapat kita hubungkan dengan fenomena pernikahan dalam culture manusia pada umum nya.

Di karenakan sudah tertanam dalam masyarakat bahwa seorang laki laki dalam hubungan pernikahan akan menjadi subyek bagi pasangan mereka  sehingga timbul presepsi publik jika wanita sebagai subyek adalah sebagai hal yang tabu. Lantas pernahkah kita berfikir apakah ada di dunia ini wanita di jadikan subyek dalam sebuah hubungan pernikahan dan kaum laki laki yang akan menjadi pasangan nya adalah sebagai obyek?

Hasil dari konstruksi sosial ini seakan patah ,karena pertanyaan mengenai apakah ada di dunia ini  wanita menjadi subyek dalam sebuah hubungan pernikahan sedangkan laki laki menjadi obyek? Pertanyaan ini dapat terjawab oleh fenomena kebudayaan yang terjadi di suku Kaulong di New Britain  berhasil menjawab keinginan para kaum feminis , dalam adat suku tersebut wanita menjadi subyek pada posisi nya di dalam hubungan pernikahan.

Sebenar nya yang mengakibatkan muncul subyektifitas terhadap kaum perempuan ini sangat unik dan tidak bisa di lepaskan dari konsep dari Sigmund Freud mengenai tulisan nya yang membahas masalah “Totem dan Tabu “. Awal nya wanita wanita di posisikan lebih rendah dari kaum laki laki karena menurut culture mereka wanita adalah pencemar , hal ini di gambarkan dengan pembatasan pembatasan dan perilaku  tabu (“taboos”). Di kalangan suku kaulong ini wanita di anggap pencemar sejak masa pubertas sampai sesudah menopause (mati haid), tetapi mereka terutama /secara khusus di anggap berbahaya selama masa menstruasi dan selesai melahirkan. Selama periode periode ini wanita harus menjauh dari kebun ,pemukiman,sumber sumber air dan yang paling mengejutkan adalah wanita di larang menyetuh barang barang yang di sentuh oleh kaum laki laki dewasa. Pencemaran yang di lakukan oleh kaum perempuan ini menurut kepercayaan mereka dapat menimbulkan penyakit jika mereka memakan segala sesuatu yang sudah tercemar atau karena berada di bawah barang yang tercemar maupun wanita pencemar itu sendiri. Dalam posisi ini Culture Patriarky sangat berpengaruh dan mengakar kuat.

Titik balik yang kemudian memposisikan wanita menjadi subyek adalah saat ketakutan akan pencemaran di antara suku kaulong merupakan suatu yang penting karena hal tersebut mencirikan sifat atau karakteristik hubungan jender dan juga menentukan kualitas pria dan wanita. Hubungan seksual di anggap pencemar bagi kaum pria , dan karena hal itu juga di anggap seperti berperilaku “kebinatangan”, maka dari itu harus di lakukan di hutan,jauh dari pemukiman mereka. Pria dan wanita menikah untuk menghasilkan keturunan mereka sendiri , dan ini merupakan makna inti dan tujuan dari hubungan seksual menurut mereka. Tetapi jika mereka tidak memperoleh hasil dari hubungan perkawinan mereka, sanksi sosial yang harus di hadapinya adalah bunuh diri.

Kerana para kaum pria suku kaulong takut dan tidak bersedia memasuki hubungan kerja sama (kemitraan) dalam perkawinan,tidaklah mengherankan jika wanita lah yang berperan aktif dalam percumbuan. Mereka para gadis akan menawarkan makanan atau tembakau kepada pria pilihan mereka , atau mereka akan menyerang secara fisik. Si  pria harus melarikan diri atau bertahan pada tempatnya tanpa membalas serangan tersebut samai mencapai suatu persetujuan /kesepakatan mengenai barang barang apa yang di harapkan oleh sang pria. Jika si pria yang mengawali untuk mendekati sang wanita itu di anggap perkosaan.

Para wanita memiliki hampir kebebasan penuh dalam memilih suami ,walaupun mereka melakukan konsultasi dengan keluarga dekat mereka terlebih dahulu ,seorang wanita boleh memperdaya atau memikat pengantin prianya menuju calon suami mereka,sedangkan para wanita sendiri sangat jarang di paksa untuk menikah di luar kehendak nya.

Menurut saya ide mengenai ,wanita si “perayu “ dan si “penjerat “ kaum pria dan gambaran pengantin pria yang cenderung terpaksa untuk menerima suatu pernikahan, menunjukan subyektifitas kaum perempuan yang saat ini di tuntut oleh kaum feminis. Disini laki laki seperi menjadi inferior dengan balutan ketakutan akan kebutuhan biologis nya, khususnya dalam masalah reproduksi karena mengganggap seks adalah sesuatu yang jijik karena merefleksikan kebinatangan nya, dan di hantui perasaan was was jika di saat menikah tidak di karunia keturunan maka harus bersiap untuk mengakiri hidup nya. Peran dari kontrak kontrak sosial sangat berpengaruh sehingga menempatkan wanita suku kaulong menjadi sangat superior dalam masalah subyektifitas mereka sebagai seorang wanita. Ini adalah sebuah paradoks, struktur lapisan masyarakat pada umum nya yang mengganggap laki laki yang memiliki subyektifitas superior sedangkan wanita hanya sebagai obyek.

daftar pustaka

Moore,L. Henrietall 1998" Feminisme dan Antrhopology". Jakarta:Penerbit Obor

Naralogos.weebly.com

Karya: Rendi Lustanto ,mahasiswa S1 ilmu filsafat ,fakultas ilmu pengetahuan budaya ,universitas indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun