5. Jawaban anda sebelumnya seolah-olah hendak mengatakan bahwa berdirinya khilafah justru akan menimbulkan pertumpahan darah sesama ummat islam, bukan menghadirkan persatuan seperti yang didengungkan para pejuang khilafah saat ini. Betulkah demikian? Benarkah sejarah khilafah menunjukkan pertumpahan darah tersebut?
Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di mana-mana. Ini “rekaman” kejadiannya:Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka “memainkan” pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya.
Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing.
Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah. Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan as-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan di kalangan rakyat: “Barangsiapa memasuki masjid Jami’, maka ia dijamin keamanannya.” Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.
Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji “akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah”. Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani. Namun ketika ia, setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu, menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.
Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di Ibn Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn Khaldun, jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-Thabari, jilid 6, h. 107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul A’la al-Maududi ketika menceritakan ulang kisah di atas dalam al-Khilafah wa al-Mulk.
Note:
Yang jelas sejarah “buruk” kekhilafahan bukan hanya milik khalifah Abbasiyah, tapi juga terjadi di masa Umayyah (sebelum Abbasiyah) dan sesudah Abbasiyah. Misalnya, menurut al-Maududi, dalam periode khilafah pasca khulafatur rasyidin telah terjadi: perubahan aturan pengangkatan khalifah seperti yang dipraktekkan sebelumnya, perubahan cara hidup para khalifah, perubahan kondisi baitul mal, hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hilangnya kebebasan peradilan, berakhirnya pemerintah berdasarkan syura, munculnya kefanatikan kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.
Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang buruk. Kita harus menyikapinya secara proporsional; jangan “buruk muka, cermin dibelah. Sengaja saya tampilkan sisi buruknya agar kita tidak hidup dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu saja, tanpa mengetahui sisi buruk masa lalu itu.
Ada kesan bahwa dengan menjadikan “khilafah is the (only) solution” maka kita melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana juga banyak kisah “keemasan”) dalam masa kekhilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali khilafah tidak berarti semua problem akan hilang dan lenyap; mungkin kehidupan tanpa problem itu hanya ada di surga saja.
6. Ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd, jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya, dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung pada pengangkatan Khalifah. Bukankah di sinilah letak urgensinya kita mendirikan khilafah?