Dalam era perubahan sosial yang cepat dan globalisasi, budaya dari berbagai negara saling berinteraksi, termasuk Jepang dan Indonesia. Konsep menarik dari budaya Jepang, yaitu tatemae dan honne, dapat diaplikasikan dalam konteks interaksi sosial di Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah generasi muda Indonesia lebih memilih menjaga harmoni seperti tatemae atau mengekspresikan kejujuran pribadi seperti honne? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita pahami lebih dalam tentang makna tatemae dan honne.
Tatemae (建前) dapat diartikan sebagai "wajah depan" atau sikap yang ditampilkan kepada orang lain, dengan tujuan menjaga keharmonisan dan menghindari konflik. Sikap ini mencerminkan cara seseorang berperilaku sesuai dengan norma sosial dan ekspektasi masyarakat, meskipun tidak selalu mencerminkan perasaan atau pandangan pribadi mereka. Sebaliknya, honne (本音) adalah "wajah sejati," yang merujuk pada perasaan dan pendapat pribadi yang sebenarnya. Ini adalah ekspresi dari pandangan dan keinginan yang lebih jujur dan tulus, yang kadang-kadang bertentangan dengan norma sosial atau harapan orang lain. Dalam budaya Jepang, kedua konsep ini sangat penting untuk memelihara hubungan sosial yang harmonis; tatemae biasanya digunakan dalam situasi formal atau interaksi publik, sementara honne lebih banyak diekspresikan dalam hubungan pribadi yang lebih dekat.
Menurut hasil survei dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia, sebanyak 66% responden menyatakan bahwa mereka cenderung menyembunyikan kebenaran demi menjaga hubungan baik dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa kejujuran dalam interaksi sosial sering kali dikompromikan untuk memelihara keharmonisan, terutama dalam konteks hubungan keluarga, persahabatan, dan kerja. Budaya gotong royong, saling menghormati, dan pentingnya menjaga "wajah" di depan orang lain adalah unsur-unsur yang sejalan dengan konsep tatemae. Namun, seiring perkembangan zaman, kita mulai melihat perubahan, dengan generasi muda Indonesia yang semakin terbuka dalam mengekspresikan pendapat dan perasaan mereka, mirip dengan nilai-nilai honne.
Di banyak konteks sosial di Indonesia, tatemae masih menjadi pendekatan yang dominan. Hal ini tercermin dalam beberapa aspek kehidupan:
1. Interaksi dalam Keluarga: Dalam banyak keluarga Indonesia, khususnya yang lebih tradisional, anak-anak seringkali menahan perasaan atau pendapat demi menghormati orang tua dan menjaga keharmonisan. Keputusan penting, seperti pemilihan pasangan hidup atau pilihan karier, sering kali dipengaruhi oleh pandangan dari orang tua atau keluarga besar. Anak-anak biasanya menghindari perdebatan yang dapat memicu ketegangan atau konflik.
2. Sopan Santun di Tempat Kerja: Di dunia profesional, banyak orang Indonesia memilih untuk mempertahankan sikap formal dan tidak terlalu terbuka mengenai perasaan atau pendapat pribadi, terutama kepada atasan atau rekan kerja yang lebih senior. Pendekatan ini sering dianggap sebagai cara untuk menjaga hubungan baik dan menghindari konfrontasi.
3. Hubungan Sosial yang Formal: Dalam berbagai acara sosial, seperti pernikahan atau upacara adat, orang Indonesia cenderung menunjukkan sikap yang lebih penuh pertimbangan terhadap perasaan orang lain, meskipun mereka mungkin tidak sepenuhnya setuju atau merasa nyaman dengan keadaan tersebut.
Dengan pergeseran nilai dan dinamika sosial, generasi muda mulai mencari kebenaran yang lebih dalam, menciptakan ruang bagi honne untuk berkembang di tengah masyarakat yang sering kali menjunjung tinggi tatemae. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan generasi muda, kita menyaksikan pergeseran yang signifikan menuju honne, di mana mereka lebih terbuka dalam mengekspresikan perasaan dan pandangan pribadi. Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan ini meliputi:
1. Pengaruh Globalisasi dan Media Sosial: Generasi muda Indonesia kini semakin terpapar informasi global melalui media sosial. Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok memberi mereka kesempatan untuk mengungkapkan opini, berbagi perasaan, dan berdiskusi secara terbuka tentang isu-isu personal dan sosial. Hal ini mendorong perubahan gaya ekspresi diri yang lebih jujur dan langsung.
2. Pendidikan yang Lebih Terbuka: Di berbagai kampus dan institusi pendidikan, generasi muda didorong untuk berpikir kritis dan menyampaikan pendapat dengan lebih bebas. Pendidikan ini memberikan ruang bagi mereka untuk mengeksplorasi ideologi serta pandangan pribadi, tanpa terikat oleh norma sosial yang kaku.
3. Perubahan dalam Nilai Sosial: Generasi muda Indonesia semakin menuntut transparansi dan kejujuran, baik dalam hubungan pribadi maupun di dunia profesional. Mereka menghargai keterbukaan dalam komunikasi dan keaslian. Hal ini tampak pada berbagai gerakan sosial, seperti kampanye kesehatan mental dan gerakan prokes (protokol kesehatan) selama pandemi, yang menuntut sikap yang lebih jelas dan terbuka dari pemerintah dan organisasi.