Yang pertama: Dalam Peraturan Menteri ESDM yang digunakan sebagai pelaksanaan dari Perpres tersebut, kemudian memasukkan faktor Rupiah.
Yang kedua: ternyata.. harga indeks minyak tersebut, kemudian diterjemahkan sebagai Mean Oil PLatts Singapore (MOPS). MOPS itu harga gak jelas.. gak transparan. Anda coba cari data historis dari MOPS. Tidak semua orang bisa akses.
Yang ketiga: ya itu tadi.. Pak Menteri mau memasukkan prediksi harga masa depan.. dengan alasan yang agak gak jelas gitu.
Trendnya kok semakin kacau. Meskipun harga terus disesuaikan, tapi semakin hari.. harga kok semakin jauh dari realita. Ini yang membuat orang bingung, analis bingung, apalagi rakyat kecil yang dipingir jalan itu. Duh.. gimana rasanya ye?
Problem Utama: Tidak ada Tranparansi, Tidak ada Akuntabilitas.
Korupsi itu.. mencuri. Mencuri itu.. bisa dilakukan kalau ada kesempatan. Kesempatan itu ada... kalau hari sudah gelap.. kalau sudah tidak ada transparansi lagi. Meskipun idenya bagus, harga BBM yang mengambang pada prakteknya kemudian menjadi momok karena tidak adanya transparansi. Karena tidak ada transparansi... maka orang mau berhitung juga gak bisa. Rakyat jadi mustahil untuk mengantisipasi masa depan.
Kalau sudah begini.. resiko menjadi menjulang tinggi. Belum lagi.. faktor 'peluang bermain' itu tadi.
Coba anda melihat Metamorfosis dari seorang Sudirman Said. Dengan perintah dari Presiden untuk menutup Petral, Sudirman Said kemudian berevolusi dari seorang yang tegas, seorang yang toleran, seorang yang permisif, dan seorang yang 'berteman' (kolutif).
Waduh.
Saya sedang cari cara gimana untuk bisa bilang dengan lebih sopan. Tapi.. kalau kondisinya masih tetap seperti ini. Sepertinya kita harus bersiap kalau harga BBM Premium bisa mencapai Rp 25.000 ketika harga minyak sudah kembali ke atas US$120.
Emang Presiden dan Rakyat siap kalau harga BBM Premium Rp 25.000 per liter?