Tidak ada dari mereka yang menjawab. Suara riuh di subway mungkin menenggelamkan suaraku. Kuulangi lagi pertanyaanku, tapi kali berikutnya dengan setengah rasa putus asa.
Mungkin teman-temanku di seberang sana tidak mendengarkanku, mereka tidak merespon apa-apa. Aku hanya bisa pasrah dan memandangi kakiku, sambil menahan seluruh rasa kacau yang ada dalam diriku.
Tanpa kuduga, seorang ibu tua yang duduk di depanku, yang hampir sangat aku yakini tidak mengerti bahasa Inggris, membuka resleting tasnya, mengorek-ngorek sesuatu dari dalamnya, dan memberikanku sesuatu berwarna cokelat sepanjang 5cm.
Sebuah plester, untuk orang yang tidak dikenalnya.
Aku memandangnya, terdiam untuk beberapa detik dan mengambilnya dengan mata berkaca-kaca. Seluruh rasa kacauku seolah-olah terangkat pergi. Uratku yang tadi kukira bergeser, seperti kembali ke tempatnya semula. Sekujur tubuhku bergetar. Bagaimana mungkin bantuan sekecil ini, plester yang ukurannya tak lebih panjang dari jari kelingkingku, dan mungkin tidak berharga apa-apa kalau diuangkan, memiliki harga yang begitu tak ternilai untuk seorang aku.
Dengan tubuh bergetarku, kusobek bungkus plester dari ibu itu. Air mata membasahi wajahku. Kali ini aku berusaha lagi, tapi bukan berusaha menahan kegalauanku, melainkan berusaha untuk jongkok dan menempelkan lukaku dengan jari dan tubuh yang bergetar dahsyat.
Sulit. Sulit. Suliiiiiit sekali. Bahkan untuk benar-benar jongkok aku tidak mampu. Lebih dari tiga kali aku mencoba.
Ibu itu, yang sudah tua, dengan kacamata dan rambut putihnya, bangkit dari tempat duduknya, mengambil plester dari tanganku, menyobekannya secara benar karena tadi aku baru berhasil melakukan setengahnya, lalu jongkok di hadapanku dan menutup luka di kakiku
Pedih, masih.
Tapi secuil kecil kebaikan yang dilakukakannya dengan sepenuh hati mampu mengusir semua kekacauan yang kualami, bak ombak yang membersihkan pasir di tepi pantai.
Aku berdiri mematung, terdiam, tak percaya ada orang yang begitu baik dengan orang asing yang baru saja dikenalnya. Kami bahkan tak saling mengetahui nama satu sama lain. Tapi sejak hari itu, aku percaya bahwa malaikat penempel plester itu nyata.