Apa Itu Ekspektasi ??
Ekspektasi merupakan harapan besar yang di bebankan pada sesuatu yang dianggap akan mampu membawa dampak yang baik atau jauh lebih baik. Ekspektasi dunia luar terutama masyarakat terhadap seorang lulusan dari perguruan tinggi amatlah sangat besar. Harapan besar ini kadang dilihat dari persepsi masyarakat tanpa memahami duduk permasalahan. Alasannya, karena masyarakat juga terdiri dari orang yang beragam latar belakang pendidikan sehingga tingkat analisisnya juga berbeda. Hal ini dapat kita perhatikan, salah satu contohnya ketika masyarakat memandang lulusan Teknik Informatika. Apakah semua lulusan TI mampu menguasai semua ilmu yang terkait tentang informatika? Jawabnya Tidak.
Begitu juga dengan lulusan Matematika. Apakah semua lulusan menguasai dari tiap-tiap konsep dari semua teori materi yang terkait matematika? Tentu juga Tidak. Tapi masyarakat menganggap lulusan TI pasti ahli dalam TI, dan lulusan matematika pasti mampu menyelesaikan masalah terkait hitungan matematika. Hal itu merupakan ekspektasi mentah atau tuntutan dari masyarakat terhadap lulusan perguruan tinggi.
Alasan kenapa hal ini bisa terjadi, karena di kampus tidak semua konsep materi dari A sampai Z diajarkan kepada mahasiswa, begitu juga pembelajaran di kampus harus menyesuaikan dengan kurikulum dari tiap program studi. Tetapi masyarakat menganggap tiap lulusan ahli dalam bidangnya, meskipun skill lulusan masih dipertanyakan. Pertanyaan yang menggelitik saya sekarang adalah 1) Apakah kurikulum di kampus sudah tidak sinkron dengan kebutuhan di masyarakat/dunia luar? 2) Kenapa pembelajaran di kampus dalam menciptakan output berujung jadi pengangguran? 3) Mengapa banyak lulusan yang bekerja tidak pada bidangnya? dan yang lebih parahnya, Kenapa masih banyak nepotisme (lewat orang dalam) pada perekrutan pegawai/karyawan?
Tantangan permasalahan selanjutnya adalah bagaimana memaksimalkan potensi sumber daya manusia tersebut sesuai dengan kapasitas dan keahlian mereka, sesuai dengan roadmap jangka panjang. Namun dalam mencapai tujuan tersebut bukanlah hal yang mudah, mengingat arah arus globalisasi amatlah deras. Keberhasilan pendidikan tinggi di setiap negara dilihat dari berbagai sektor, misalnya penilaian sisi sumber daya, infrastruktur, kualitas, maupun output. Ekspektasi output dari segi mahasiswa adalah mendapatkan pendidikan berkualitas. Sementara ekspektasi outcome, lulusan memiliki hard skill, soft skill, dan life skill.
Pemerintah juga harus bisa mengarahkan mengenai keahlian apa yang dibutuhkan untuk menunjang rencana jangka panjang. Hal ini diperparah pula dengan kenyataan bahwa rata-rata keputusan seseorang untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana, master maupun doktoral didasarkan pada personal intererst, bukan pada peluang karir di masa depan. Permasalahan muncul ketika harapan tak sesuai kenyataan. Keadaan ini disebut mismatch antara kompetensi lulusan dunia pendidikan dan kebutuhan skill pada dunia kerja. Memang pilihan hidup seperti permainan kartu remi. Hal itu bukan hanya ngawur, tapi melihat peluang masa depan dengan suatu tindakan. Analisislah kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dan gunakanlah peluang untuk mengatasi ancaman masa depan.
Hal yang menjadi dasar mengapa perlu untuk menaikkan daya saing personal (bagi yang sudah bekerja) dalam menghadapi kompetisi kenaikan jabatan di dunia kerja adalah dimana jenjang pendidikan merupakan salah satu faktor pertimbangan yang penting. Kepada para cendekiawan yang melanjutkan ke jenjang pascasarjana harus bisa bersaing untuk menjadi lulusan terbaik/cumlaude dan harus bisa membaca career path ke masa depan. Namun penting perlu dipahami jika kebutuhan posisi dosen pengajar, peneliti, ataupun jumlah universitas yang ada lebih sedikit dibandingkan penambahan jumlah lulusan S1, S2 maupun S3, maka akan terjadi kondisi oversupply yang berdampak negatif terhadap career path. Mampukah kita keluar dari paradigma di atas dan mulai mengoptimalkan expertise yang dimiliki sesuai dengan studi yang diambil? Menyedihkan,,,
Lulusan S2 sebaiknya sudah berpengalaman kerja, karena dengan begitu mereka tahu jurusan yang mereka ambil untuk keperluan apa berdasarkan apa yang mereka alami selama di dunia kerja, bukan hanya sekedar ikut-ikutan saja atau meneruskan apa yang mereka ambil di S1. Permasalahan akan muncul pada saat perekrutan pegawai perusahaan. Bahwa perusahaan lebih memilih “merekrut karyawan berpengalaman dibanding level pendidikan”.
Alasannya, karena sudah terbukti hasil kerjanya lebih profesional, terlepas dari seberapa tinggi latar belakang pendidikannya. Pada sisi lainnya yang dapat dipetik adalah pola dan etos kerja karyawan yang berpengalaman sudah terbentuk, sehingga meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan dalam hal pengembangan SDM perusahaan.
Saya memperoleh ulasan yang menarik dari google-ing artikel di internet, bahwa dikemukakan oleh salah satu psikolog yang memiliki spesialisasi di bidang talent management. Ada empat poin yang krusial, yaitu:
- Basic company itu pastinya bottom line-nya selalu mengenai profit, jadi cost selalu ditekan. S2 umumnya meminta gaji lebih tinggi dari S1. Perusahaan berpikir “jika bisa mendapatkan S1 yang dapat bekerja dengan bagus, kenapa harus hire S2 dengan cost yang lebih besar?” Ini mungkin terkait juga dengan lulusan S2 yang belum dapat memberi perbedaan yang signifikan di dunia nyata pekerjaan.
- Efek competency based talent management membuat perusahaan “lebih fokus ke kualitas kompetensi, bukan level edukasi.”
- Perusahaan yang berbasis management trainee program untuk entry level merasa lebih bisa membentuk lewat program mereka sendiri daripada merekrut S2. Program tersebut terbuka untuk lulusan S1 maupun S2 tanpa ada perbedaan treatment tertentu.
- Belum maksimalnya peran organisasi profesi. Ini berlaku pada profesi-profesi tertentu yang seharusnya diatur oleh organisasi profesi. Contoh yang baik adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi dokter yang betul-betul berfungsi mengontrol peran dokter. Namun untuk profesi lain seperti psikolog ataupun akuntan belum maksimal.
Pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa perusahaan lebih memilih untuk membuat program jangka panjang tersendiri di internal perusahaan dalam hal pelatihan dan pengembangan karyawannya. Pada mekanisme seperti ini, perusahaan yakin bahwa kemampuan karyawan mereka adalah kemampuan yang dibutuhkan perusahaan. Sisi lainnya yang dapat dipetik dari kondisi ini adalah adanya potensi ketidakcocokan antara pengetahuan dan kemampuan yang diajarkan di dunia akademik perguruan tinggi dengan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan perusahaan. Ekspektasi dunia luar seperti ini menjadikan “gelar akan membebanimu”.