Sebenarnya kita tahu kok, bahwa setiap pencapaian orang pastinya berbeda-beda. Namun, kita tidak bisa menampik bahwa terkadang rasa iri masih sering menghantui kita. Hal ini diperparah dengan motivasi orang-orang disekitar kita, seperti keluarga, yang sering mengatakan hal-hal yang mematahkan semangat kita, "Teman-temanmu sudah pada wisuda loh, kamu kapan?" lalu, "itu anaknya pak X sudah mau menikah, kamu kapan ngenalin ke Ibu?" atau "Daripada main hp terus mending cari kerja. Itu si A si B sudah mapan dan kemarin habis beli mobil baru."
Jika kita pikir-pikir lagi, ucapan mereka memang tidak sepenuhnya salah. Logikanya, siapa sih yang tidak mau memiliki prestasi akademik, pertemanan yang luas, calon pasangan yang baik, dan kemapanan secara finansial? Rasanya hampir semua manusia di dunia ini menginginkan hal yang serupa. Sehingga, mengabaikan ucapan mereka pun dirasa tidak bijak walaupun kita juga tahu tidak ada hidup yang berjalan dengan sempurna. Disisi lain, mencari titik tengah diantara keduanya juga bukan perkara mudah.
Hal yang perlu digaris bawahi disini adalah bahwa hidup ini idealnya bukan untuk diri kita sendiri. Kita tidak bisa menjadi egois dalam mewujudkan setiap mimpi-mimpi kita saja. Ada orang tua yang sudah "banyak berinvestasi" dalam hidup kita. Ada keluarga yang ingin juga menceritakan kebaikan-kebaikan kita kepada khalayak. Maka, wajar jika mereka berekspetasi atau menggantungkan harapan kepada kita untuk memujudkan hal tersebut.Â
Di sisi lain, ada ego terpendam yang sebenarnya ingin diekspresikan melalui jalan hidup tanpa campur tangan dari orang lain. Padahal mereka yang terlalu banyak memberi masukan sebenarnya tidak akan terlalu campur tangan ketika kita mengalami kesulitan di tengah jalan. Maka kesal dalam hati kian membuncah ketika tahu bahwa orang-orang yang sebenarnya kita legakan hatinya, sampai-sampai kita harus mengorbankan mimpi kita sendiri, masih saja mencela hasil perjuangan kita.
Titik-titik iri semakin tidak bisa terbendung ketika kita melihat ada orang lain yang seolah bisa meraih mimpi-mimpinya dengan dukungan penuh dari orang-orang di sekitarnya. Seolah semua itu terasa indah, ketika ada seseorang yang bisa merasakan proses pencapaian hidup dengan dukungan penuh dari orang-orang terdekat. Tidak ada yang meremehkan, senantiasa diberi restu, diberi support lahir batin. Rasanya seperti nikmat sekali.....
Tapi kembali lagi, bahwasanya kekurangan adalah rahmat. Segala bentuk rintangan sebenarnya tercipta agar kita lebih kokoh dalam menghadapi kenyataan. Terbentur, terbentur, baru terbentuk.
"Tidak mengapa jika harus dipandang sebelah mata oleh orang lain. Ketika mereka menilai rintisan usaha kita yang masih bayi. Serapuh dan selemah bayi, mereka akan tetap menjadi hebat dengan ketelatenan ibu yang melahirkannya."
Untuk itulah, ide-ide yang sudah kita lahirkan idealnya kita tekuni untuk dibesarkan menjadi hebat kelak di kemudian hari. Tidak bisa kita menuntut kesuksesan dan pengakuan dari orang lain hanya dengan sekejap mata. Di dunia ini proses yang instan seringnya tidak sehat. Maka dari itu, kedepankan proses dalam setiap meraih apa yang kita impikan. Seberapa pun rendahnya orang lain memandanng input diri kita dalam bercita-cita, selama prosesnya benar dan tidak menzalimi siapa pun, maka outputnya hanya tinggal menunggu kabar baik.
Tidak perlu panas hati ketika apa yang kita impikan dengan mudah didapatkan oleh orang lain. Saat itu terjadi, maka bersyukurlah, itu pertanda dari Tuhan agar kita bisa belajar dari orang tersebut seperti apa rasanya menjadi seseorang yang beruntung mendapatkan impian tersebut. Seindah yang kita bayangkankah?
Pernah ada sedikit cerita. Saya dulu bercita-cita ingin sekali masuk jurusan kimia di salah satu kampus negeri. Jauh sebelum waktunya saya dengan sepenuh hati belajar dengan cara bimbingan belajar baik itu online atau offline dan membeli buku-buku terkait ujian masuk tersebut.Â
Namun pada saat pengumuman ternyata teman saya yang sering meminta saya mengajarinya terkait kimia, yang diterima pada jurusan tersebut. Akhirnya saya berusaha berlapang dada menerima kenyataaan bahwa harus kalah. Karena hal itu saya memilih untuk berhenti selama satu tahun tidak kuliah sambil mencari jati diri.