Mohon tunggu...
Eko Sulistyo
Eko Sulistyo Mohon Tunggu... lainnya -

Tuan Tuhan bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar [sdd]

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menyucikan [Kembali] Air

3 Oktober 2011   13:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:22 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarau dan kekeringan adalah peristiwa yang menyapa kita setiap tahun. Sulitnya mendapatkan air bersih bagi penduduk yang menggantungkan air sumur atau sumber air adalah wajah penderitaan yang kita lihat di media massa. Air bersih tidak hanya menjadi masalah bagi mereka yang menderita kekeringan melainkan juga masalah bagi warga di perkotaan yang sudah susah mendapatkan air tanah. Air nyata menjadi kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda. Kompas pernah menurunkan kisah André Graff, orang perancis yang berjuang mmbuat sumur bagi masyarakat Sumba. Ada lagi Jean Luitjen yang berangkat dari keprihatian akan kebakaran di Kalimantan kemudian getol mengkampanyekan perlunya air bersih untuk hidup dan menjaga lingkungan. Mengapa mereka yang adalah ‘asing’ justru sangat memperhatikan kebutuhan mendasar kita? Ke manakah kita sendiri berhadapan dengan masalah nyata kita, air?

Kita memulai hidup sebagai janin yang 99% adalah air. Ketika kita lahir, kita adalah 90% air, dan pada saat kita mencapai usia dewasa, kita adalah 70% air. Jika kita mati pada usia lanjut, kemungkinan kita adalah 50% air. Dengan kata lain, di sepanjang hidup kita terutama eksis sebagai air.” Itulah penggalan dari tulisan Masaru Emoto, seorang peneliti air dari Jepang dalam bukunya The Hidden Messages of The Water. Air tidak bisa tidak menjadi kebutuhan dasariah manusia. Kehidupan ini hanya menjadi mungkin dengan adanya air. namun yang kita lihat sehari-hari adalah air yang tercemar, sumber air yang mongering dan tidak layak dikonsumsi. Kesadaran akan vitalnya peran air bagi kehidupan belum dimiliki manusia. Air baru disadari penting ketika sulit didapat dan sumber-sumber air mengering.

Dalam ‘ritual’ keagamaan kita, dapat dicermati fenomena yang menarik yakni bahwasetiap agama atau kepercayaan pasti menyucikan diri dengan air. Ada inisiasi kristiani dengan upacara pembabtisan, dimana orang dikucuri air sebagai simbol kelahiran manusia baru. Atau yang lebih sederhana orang membuat tanda salib dengan air suci sebelum masuk gereja. Ada wudhu dalam Islam sebelum sholat dan masuk masjid. Umat menyucikan dirinya supaya pantas masuk dalam Rumah Allah dan berdoa kepadaNya. Menjelang ramadhan ada budaya padusan dimana orang beramai-ramai mandi di sumber air. Aada Sungai Gangga dalam agama Hindu yg dianggap sakral. Dan masih banyak praktik keagamaan yang terkait dengan air tersebut.

Yang mengherankan adalah mengapa setelah menyucikan diri dengan air, berdoa kepada Tuhannya, mereka juga menistakan air itu sendiri. Mereka membuang sampah sembarangan, mencemari sungai-sungai, mengotori selokan dan saluran air di lingkungan mereka. Tidak adakah hubungan antara ritual yang dilakukan dengan kesadaran memelihara kebersihan air sebagai ungkapan iman? Sungai-sungai kita penuh dengan sampah. Sumber-sumber air entah itu sumur rumah tangga, situ-situ mulai mongering. Kalaupun ada airnya sudah tidak layak dikonsumsi. Kita harus mengeluarkan uang 2000-3000 rupiah untuk sebotol air kemasan harga yang lebih mahal dari harga 1 liter bensin. Air semakin lama dirasakan menjadi barang yang mahal. Seiring dengan berkurangnya hutan dan daerah resapan air, air tidak lagi tersimpan di sekitar pekarangan rumah. Di masa lalu ketersediaan air mungkin tidak menjadi masalah karena air ada di mana-mana karena sumur dan situ masih mengalirkan air.

Sikap dan pandangan hidup kita yang mengaku beriman dan berakhlak mulia harus menjadi landasan kita menjaga kehidupan ini termasuk dalam menjaga air sebagai unsur vital kehidupan. Walaupun hanya dalam hal yang kecil, kalau orang sadar secara batin maka ia akan menjadi agent of change dalam wujud yang nyata. Masaru Emotoberpesan bagi kita bahwa semua manusia mempunyai sebuah misi penting yakni menjadikan air bersih kembali dan menciptakan dunia yang nyaman dan sehat untuk ditinggali. Misi itu hanya mungkin jika kita, pertama-tama, mempunyai hati yang jernih.

Air yang berfungsi menyucikan dalam tradisi berbagai agama dapat menjadi tali pengikat semua agama dan tradisi kepercayaan untuk bertindak menyelamatkan dan menjaga kesucian air sebagai sumber kehidupan manusia sehari-hari. Air akhirnya mengajak semua insan merajut solidaritas sebagai makhluk ciptaan yang hidup berdampingan. Memang ada banyak medan perjumpaan kita sebagai makhluk yang bersama hdiup dan bersudara. Permasalahan menyucikan air ternyata juga menjadi masalah yang nyata. Kuncinya adalah semangat solidaritas sebagai bagian dari tubuh semesta yang mempunyai keprihatinan sekaligus tindakan nyata membangun bumi dan alam yang semakin menunjang keberlangsungan kehidupan dan kemanusiaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun