Dalam beberapa tahun belakangan ini, melalui aparat, pemerintah giat melakukan penyitaan buku. Mengutip dari Detiknews, paling tidak sudah tiga kali bencana penyitaan buku melanda Indonesia. Pertama penyitaan buku di Kediri, 26 Desember 2018. Pada peristiwa itu ada banyak buku yang disita oleh aparat TNI, yakni (1) Empat karya filsafat; (2) Menempuh Jalan Rakyat;Â (3) Manifesto Partai Komunis; (4) Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan; (5) Benturan NU-PKI 1948-1965; (6) Gerakan 30 September 1965 Kesaksian Letkol (PNB) Heru Atmodjo; (7) Nasionalisme, Islamisme, Marxisme;Â (8) Oposisi Rakyat;Â (9) Gerakan 30 September 1965;Â (10) Catatan Perjuangan 1946-1948; (11) Kontradiksi MAO-Tse-Sung; (12) Negara Madiun;Â (13) Islam Sontoloyo;Â (14) Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G 30S 1965;Â (15)Â Komunisme ala Aidit.
Tak lama setelah peristiwa Kediri, terjadi pula penyitaan buku di Padang, 8 Januari 2019. Buku-buku yang disita adalah (1) Kronik 65; (2) Mengincar Bung Besar; (3) Anak Anak Revolusi; (4) Gestapu 65 PKI; dan (5) Jas Merah. Kabar terakhir dari kasus itu, yang beredar di media lokal, buku masih diteliti Kejaksaan.
Juga beberapa buku seperti, (1) Aidit Dua Wajah Dipa energiNusantara; (2) Sukarno, Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia; (3) Menempuh Jalan Rakyat; (4) D.N Aidit Sebuah Biografi Ringkas. Tak luput dari penyitaan.
Ini menjadi suatu kemunduran kembali bagi literasi, bahwa pemerintah tidak benar-benar mendukung perkembangan literasi. Hal lain memunculkan asumsi besar, bahwa apakah untuk sebuah bacaan kita harus tunduk dan diatur oleh pemerintah atau orang-orang yang memiliki kepentingan.
Kezia menanggapi hal ini sebagai sebuah bentuk dari terpenjaranya kebebasan intelektual.
"Tanggapan saya ancaman seperti ini dipelihara tanpa adanya pemahaman rasional. Salah satu pembodohan jika buku kiri disita, itu memenjarakan nalar intelektual."
Di usianya yang kini menginjak 22 tahun, kezia memiliki harapan yang besar dan keinginan untuk mengenalkan literasi kepada generasi muda. Wanita yang menyukai buku 'The Second Sex' karya Simone de Beavoir ini, memiliki gerakan yang mulia untuk sebuah perubahan ke-arah yang lebih baik.
"Saya berharap saya bisa menggebrak kemerosotan sastra yang terjadi dilingkup anak muda, baik itu membaca atau menulis. Keindahan sastra melaluli 'dulce et utile' indah dan bermanfaat, jutaan manfaat dalam bersastra salah satunya menyembuhkan. Semoga minat baca generasi muda maupun masyarakat perlahan meningkat sebagai pembekalan pemikiran terbuka." Ujarnya.
"Dan satu lagi, sains adalah bagaimana cara memecahkan masalah, seni adalah bagaimana menghadapi masalah." Tambahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H