Mohon tunggu...
Remedios Buendia
Remedios Buendia Mohon Tunggu... -

seorang perempuan dengan perawakan mungil dan ringkih. Dengan kaki-kakinya yang kecil, lincah bergerak di dalam arah angin.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pesolek Kata-kata dan Matinya Kebiasaan Berpikir: Para Pembunuh Bahasa

31 Agustus 2010   13:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya membaca sebagian besar puisi-puisi yang tersebar di ruang publik maya kompasiana, saya sedikit sekali menemukan sebuah proses penciptaan sajak yang utuh seperti yang telah saya paparkan di atas. Dari pembacaan saya atas sebagian besar sajak-sajak tersebut, para penulisnya hanya mempercantik puisinya melalui permainan kata-kata indah. Mereka hanya bersolek dengan kata-kata.

Saya ambil satu contoh dari salah satu puisi kompasianer yang menjadi teman saya di ruang publik maya ini. Puisi tersebut berjudul Akhir Epsiode Hari. Dalam puisi tersebut, ada begitu banyak kata-kata indah bersebaran di semua baris-barisnya: bibir merah delima, semak hijau lembut, langit saga, roh-roh diri, jemarimu menari-nari diangkasa, dan masih banyak lagi.

Pada puisi ini, penulisnya sepertinya ingin bercerita tentang pengalaman perpisahannya yang sangat indah. Namun dari segi perenungan atau tindakan berpikirnya, puisi tersebut terlihat sangat dangkal. Penulisnya, misalnya, tidak menggali pertanyaan-pertanyaan mengapa mereka harus berpisah? atau karena itu adalah peristiwa yang telah berlalu, bagaimana kenangan tersebut memberi warna pada hari-hari yang dialuinya setelah perpisahan tersebut? Dengan kata lain, penulisnya tidak melakukan tindakan berpikir, melainkan hanya menyebutkan pengalaman perpisahannya.

Lalu pada aspek penciptaan puisi itu sendiri, semua kata-kata indah yang digunakan hampir tidak memiliki kekuatan untuk menjadi metafora. Dengan kata lain, ia hanya mendandani puisinya dengan kata-kata indah. Seperti dalam baris berikut ini: Bibir Merah Delimamu Mengukir Senyum Memesona. Makna apa yang hendak disampaikan dengan kata bibir yang berwarna merah delima selain sebuah bibir yang berwarna merah delima? Makna apa yang hendak ditawarkan Mengukir Senyum Memesona selain bahwa orang yang akan berpisah dengannya sedang tersenyum dan senyumnya tersebut dianggap memesona oleh penulisnya? Penggambaran-penggambaran seperti itu tersaji dari awal hingga akhir puisi ini. Lalu dimana kekuatan metafora pada puisi jika seperti itu? Dalam situasi seperti ini, maka bahasa kemudian tidak berkembang alias mati, karena tidak ditemukan bahasa-bahasa baru melalui puisi atau sajak.

Puisi di atas hanyalah satu contoh dari sekian banyak jenis puisi yang sama yang bertebaran di ruang publik maya kompasiana ini!!! Ketika ada seorang yang mengerti puisi mengatakan sampah dan hanya layak dijadikan pembungkus kacang untuk puisi-puisi seperti ini, hal tersebut tentu wajar-wajar saja.

Demikianlah tulisan ini saya buat pada hari Selasa, 31 Agustus 2010, yang mulai saya tulis pada pukul setengah tujuh malam lewat dua menit dan saya selesaikan pada pukul delapan malam lewat dua puluh satu menit. Salam Hangat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun