Jokowi tentu mengerti dan paham ketika rakyat menghadapi kesusahan dan beban hidup, tanggungjawab pemerintah masih belum genap seperti yang dijanjikan dalam konstitusi hidup bersama dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam masa hidupnya bersama keluarganya di Solo, Jokowi pernah merasakan bagaimana hidup menjadi korban penggusuran. Jokowi pernah juga merasakan bagaimana diskriminasi terhadap rakyat kecil terjadi di lingkungan komplek perusahaan tambang besar saat masih bekerja di Aceh.
Jokowi juga pernah merasakan langsung bagaimana ribetnya birokrasi dan praktek suap menyuap ketika berwiraswasta. Sebagian kita tentu tak heran dengan cara-cara kerja Jokowi ketika menjadi penjabat publik selalu menggunakan pendekatan lapangan yang praktis dengan tanpa meninggalkan keinginan rakyat di sekitarnya.
Meski dianggap konvensional dan kuno, ketika Jokowi menjejakkan kaki ke Ibukota yang bringas, ia tetap tak meninggalkan gaya kepemimpinan yang mendengar, melihat dan berbicara langsung dengan rakyat Ibukota.
Ia menerobos pakem-pakem birokrasi formal “kalau mudah mengapa harus dipersulit”. Ia mau mendengar inisiatif-inisiatif yang datang dari rakyat dan mau duduk bersama berbicara dengan rakyat. Kita mungkin ingat saat Jokowi melakukan dialog berulang kali saat melakukan pengaturan PKL di Solo ataupun di Tanah Abang, Jakarta.
Bagi Jokowi, dialog dengan turun langsung ke lapangan itu adalah media pemimpin dan rakyat untuk mengetahui secara bersama-sama duduk perkara dan bagaimana rumusan solusi yang partisipatif.
“Kalau menggusur itu gampang. Sehari selesai. Tinggal kerahkan Satpol PP dan aparat lainnya. Tapi persoalannya bukan itu. Rakyat harus dilindungi. Kalau gususr itu tidak diberi solusi, tapi kalau digeser itu diberikan solusi”, uangkap Jokowi saat menghadri Konferensi Tingkat Tinggi Hukum Rakyat yang diselenggarakan oleh Himpunan Huma di Jakarta (8/10/2013).
Kini, ketika Jokowi telah menjadi orang nomor 1 di Republik ini, Ia tetap tak mau jauh dengan rakyat yang memilihnya. Ia terus turun ke lapangan untuk melihat, mendengar dan berbicara langsung dengan rakyat. Ia kini terus melangkah dan menyusuri pojok-pojok atau pinggiran negeri kepulauan nusantara.
Namun apa dikata, ketika Presiden Jokowi melangkah ke sudut-sudut negeri ini untuk memastikan pembangunan Indonesia dari pinggiran bibir daratanya ini terlaksana, Ia terus diseret-seret ke persoalan yang terjadi di Ibukota.
Ya persoalan Ibukota yang kini sedang memanas menjelang pemilihan gubernur di tahun 2017 nanti.
Fondasi program dan kebijakan yang telah Jokowi susun selama memimpin Ibukota, ternyata mulai meninggalkan peran serta dan partisipasi aktif rakyat kecil Ibukota. Rakyat pinggiran Ibukota kembali merasakan kehilangan suasana akrab dan dekat antara pejabat dan rakyat. Rakyat pinggiran ibukota kini hanya dapat menghadap robot-robot yang harus ikuti apa kata yang tuan besar.
Bahkan, ada penilaian yang lebih mencengangkan lagi. Fondasi kebijakan dan program yang telah dibangun dan disusun Jokowi digembosi dan dipereteli perlahan-lahan oleh penggantinya.