Mohon tunggu...
Relly Jehato
Relly Jehato Mohon Tunggu... Penulis - Senang Menulis

.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Jokowi Meminta Maaf, Bagaimana Menyikapinya?

15 Oktober 2024   07:32 Diperbarui: 15 Oktober 2024   07:33 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menghitung hari Presiden Jokowi akan lengser dari jabatannya sebagai presiden. Ia memerintah relatif cukup lama, 10 tahun. Periode dan rentang waktu maksimal dan lengkap jabatan presiden sesuai amanat konstitusi. Ia dan pendukungnya mungkin menginginkan kekuasaan dengan waktu yang lebih panjang, misalnya tiga periode, tapi sayangnya tak diizinkan oleh konstitusi.

Yang menarik, dalam pidato kenegaraannya di sidang tahunan MPR, Jumat (16/08), Jokowi menyampaikan permohonan maaf kepada rakyat Indonesia. Hal yang sama disampaikan Jokowi pada acara zikir dan doa kebangsaan beberapa waktu lalu di Istana Merdeka, Seolah tak bosan, awal Oktober kemarin, waktu acara kunjungan ke NTT, Jokowi sekali lagi meminta maaf kepada masyarakat di Pasar Kefamenanu, Timor Tengah Utara.

Tampaknya, Jokowi memang menyadari bahwa dia adalah pribadi yang jauh dari kata sempurna. Ia manusia yang memiliki segala keterbatasan. Ia mengakui jauh dari istimewa. Sangat mungkin ada yang luput dari pandangannya. Kealpaan dan celah sangat mungkin terjadi dari setiap langkah yang diambilnya. Tak ada gading yang tak retak. Kira-kira begitu ringkasnya.

Bagi sebagian orang, alasan permintaan maaf Jokowi itu terdengar sebagai hal yang biasa. Sudah jadi rutinitas yang terasa hambar. Aus tanpa greget. Tidak ada yang istimewa. Sebab sikap itu lumrah dilakukan oleh siapapun ketika meninggalkan jabatan atau posisi tertentu. Oleh karenanya permintaan maaf itu logis kalau ditafsirkan sebagai ucapan yang sifatnya basa-basi.

Mengapa tanggapan sinis itu muncul? Yang diharapkan dari seorang Presiden yang mau pensiun adalah ucapan permintaan maaf yang tulus dengan alasan yang jelas. Bukan meminta maaf dengan alasan abstrak yang tidak jelas. Atau yang klise. Mestinya jelas bagian mana dari dirinya atau programnya yang baiknya perlu dimaafkan oleh masyarakat. Salahnya apa, harus terang. Kekurangannya bagaimana, perlu diungkapkan.

Misalnya, minta maaf karena program revolusi mentalnya masih jauh dari harapan. Atau minta maaf karena sebagian janjinya saat kampanye gagal terlaksana. Atau minta maaf karena indeks persepsi korupsi dan demokrasi tidak memuaskan di masa-masa akhir jabatannya. Atau minta maaf karena masalah pelanggaran HAM yang hampir semuanya diabaikan olehnya. Daftarnya masih bisa diperpanjang.

Meskipun tanggapan sinis terhadap perminttan maaf Jokowi itu logis, kita barangkali tetap perlu menanggapi atau meresponnya secara positif. Mengapa? Pertama, kita harus mengakui  capaian-capaian bagus Jokowi dalam bidang pembangunan infrastruktur (tol, bandara, pelabuhan, bendungan, jembatan, dll.), keberhasilan penanganan covid-19, pengentasan kemiskinan via kebijakan satu harga untuk BBM dan program-program sosial lainnya. Anggaplah, respon positif kita terhadap permintaan maaf Jokowi diletakkan sebagai bentuk apresiasi dan terima kasih kita atas capaian baiknya.

Kedua, pertimbangan dari sisi realsi manusiawi. Permintaan maaf Jokowi mengingatkan saya pada filsuf perempuan bernama Hannah Arendt, yang sedikit berbicara tentang pengampunan (forgiveness). Ia mengatakan bahwa bertindak mengampuni adalah kemampuan khas manusia untuk memulai kembali sesuatu. Dengan memaafkan, kita bisa melepaskan diri dari masa lalu. Keluar dari beban dan kesalahan yang sudah dilakukan. Dengan mengampuni, kita bisa memulai lagi hubungan baru yang lebih sehat dan kuat.

Namun, pengampunan, tidak hanya mengenai memberikan pemaafan terhadap kesalahan, Memaafkan sekaligus berarti memperbaiki hubungan. Ia membangun fondasi bagi hubungan yang berkelanjutan. Hal itu memungkin kita untuk bisa melangkah maju serta bebas dari beban masa lampau. Tindakan pengampunan bermanfaat, baik bagi orang yang diampuni, maupun juga bagi orang yang memberikan maaf.

Konsep pengampunan yang disampaikan Arendt ini bisa kita jadikan acuan dalam merespon permintaan maaf Jokowi. Sambil berharap pemerintahan baru, Prabowo -- Gibran, tetap mempertahankan dan melanjutkan warisan program yang baik dari rezim Jokowi, memperbaiki apa yang kurang, serta menemukan solusi-solusi kreatif baru dalam mengatasi berbagai macam problem yang muncul di negeri ini. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun