Mohon tunggu...
Relly Jehato
Relly Jehato Mohon Tunggu... Penulis - Senang Menulis

.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menilai Pencabutan TAP MPR tentang Soeharto

14 Oktober 2024   13:32 Diperbarui: 14 Oktober 2024   13:32 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu lalu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (Tap) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Keputusan itu diambil dalam rapat paripurna sidang akhir MPR RI periode 2019-2024.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya begini bunyi Pasal 4 di Tap MPR yang memuat nama Soeharto: "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia."

Pasca pencabutan, frase yang memuat nama Soeharto saja yang dihilangkan. Sementara status hukum Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tersebut dinyatakan tetap berlaku sesuai dengan ketentuan Tap MPR Nomor I/MPR/2003.

Tentu saja, langkah dan keputusan MPR tersebut memantik polemik, memunculkan respon pro dan kontra, baik dari perspektif hukum maupun politik kekuasaan. Melalui tulisan ini, saya tidak ingin atau tidak akan masuk ke dalam perdebatan tentang keabsahan keputusan MPR tersebut dari sisi hukum. Penulis akan fokus kepada sudut padangan social-humanis dan politik kekuasaan.

Manusia vs Perbuatan

Mendiang tokoh anti kekerasan Mahatma Gandhi pernah mengatakan, manusia dan perbuatannya adalah dua hal yang berbeda. Perbuatan baik layak kita puji, sementara perbuatan buruk atau tindakan yang salah sudah sepantasnya dikritik. Tapi, setiap manusia, entah itu perbuatannya baik atau buruk, salah atau benar, harus tetap dihormati sebagai sosok yang berharkat dan bermartabat.

Pandangan Gandhi tersebut sejalan dengan prinsip humanis, yang memandang manusia adalah mahluk yang wajib dihargai dan dihormati, dalam kondisi apapun. Penghargaan dan penghormatan itu didasarkan pada  perspektif bahwa manusia adalah mahluk yang bernilai dan bermartabat. Penghormatan kepada manusia secara intrinsik berarti menghargai hak dan kebebasan mereka. Sekaligus sebagai bentuk perlakuan kita secara adil dan manusiawi.

Diferensiasi Gandhi atas manusia dan tindakannya relevan untuk kita kontekstualkan dengan perdebatan atas pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998. Sebagai seorang pribadi, Soeharto memiliki hak untuk dihormati dan dihargai sebagai manusia. Pada saat yang sama, seluruh warga negara Indonesia juga berkewajiban untuk menghormati dan menghargai harkat dan martabatnya.

Namun, dalam konteks tindakan, terutama dalam praktek politik kekuasaan, kiprah Soeharto pantas dan mau tidak mau kita tinjau dengan kritis. Munculnya Tap MPR No 11/1998 itu menegaskan pengakuan bahwa pada zaman Orde Baru, dugaan praktek kolusi, koruptif, dan nepotisme itu sudah sangat sistemik. Itu terjadi berbagai lini insitusi atau lembaga negara, pejabat dan keluarga, dan para konglomerat. Soeharto memiliki andil besar terjadinya sengkarut ini. Lahirnya Tap MPR adalah bentuk kritik terhadap proses politik kekuasaan Order Baru.

Tindakan Memaafkan

Apa pertimbangan dan motif pencabutan nama Soeharto? Setidaknya, ada dua alasan yang mengemuka. Pertama, sesuai dan sejalan dengan alasan pengajuan dari Fraksi Golkar, MPR menilai bahwa posisi hukum kedudukan Soeharto sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 TAP/XI/MPR/1998 telah dilaksanakan, tanpa mencabut ketetapan tersebut.

Pertanyaannya, apakah pencabutan nama Soeharto akan mereduksi fakta sejarah Order Baru dan makna reformasi? Menurut penulis, sama sekali tidak. Pelucutan nama Soeharto tidak akan menghilangkan fakta bahwa namanya pernah masuk dalam Tap MPR. Itu juga bukan penyangkalan terhadap dugaan keterlibatannya dalam praktek KKN. Tidak meniadakan fakta bahwa sosok dan perannya begitu sentral dalam sejarah Orde Baru, yang kemudian memicu gerakan reformasi. Entah dicabut atau tidak, fakta sejarah itu tetap ada di sana.

Kedua, kita perlu memaafkan kesalahan Soeharto. Sebagaimana diungkapkan oleh Ketua MPR periode 20019-2024, Bambang Soesatyo, pasca Soeharto meninggal, kita tidak perlu menyimpan dendam, tetapi harus dilepaskan. Apalagi ia mengklaim, kita bukan bangsa pendendam. Jadi, pencabutan nama Soeharto adalah bentuk dan cara yang nyata dari kita memaafkan kesalahan tokoh sentral rezim Orde Baru tersebut.

Melawan Lupa

Sejarawan dan Peneliti LIPI (sekarang berubah nama jadi BRIN), Aswi Warman Adam, dalam bukunya 'Melawan Lupa, Menepis Stigma' menulis bahwa selama 30 tahun, Soeharto sudah membangun infrastruktur yang masif, tidak terhitung jumlahnya. Namun, kerusakan yang ditinggalkannya juga tidak kecil, mulai dari bidang ekonomi yang memicu krisis berkepanjangan, kerusakan lingkungan alam, hingga dugaan pelanggaran HAM selama periode tahun 1965 sampai berakhir masa jabatannya di tahun 1998.

Dari gambaran Aswi, Soeharto memang hadir dengan sisi baik dan buruknya. Apa implikasinya? Pertama, pengakuan terhadap beberapa keberhasilan Soeharto perlu diakui dan diapresiasi, terutama oleh kelompok masyarakat yang selalu kritis dan mempertanyakan keabsahan penghapusan nama Soeharto dari Tap MPR No 11/1998. Patut diingat, berbagai persoalan yang terjadi pada zaman Orde Baru, masih berlangsung hingga usia lebih dari 25 tahun era reformasi. Praktek KKN masih masif, mulai dari pusat hingga daerah.

Kedua, langkah politik yang erat terkait dengan Soeharto sepatutnya selalu mempertimbangkan sejarah dan bobot dampak buruk dari kekuasaan Soeharto. Himbaun tersebut tidak hanya terkait dengan penghapusan nama dari Ketetapan MPR, tetapi juga bagi rencana dan upaya sekelompok orang yang ingin mengajukan permohonan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Yang jauh lebih penting, berempatilah dengan perasaan dan kepentingan orang-orang yang pernah menjadi korban dan menerima dampak langsung dari praktek kekuasaan Orde Baru. Sudah saatnya para elite politik dan lembaga negara terkait berlaku politik dengan mengedepankan bela rasa. Perlu untuk berpikir dan bertindak dari sudut pandang korban. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun