Pertanyaannya, apakah pencabutan nama Soeharto akan mereduksi fakta sejarah Order Baru dan makna reformasi? Menurut penulis, sama sekali tidak. Pelucutan nama Soeharto tidak akan menghilangkan fakta bahwa namanya pernah masuk dalam Tap MPR. Itu juga bukan penyangkalan terhadap dugaan keterlibatannya dalam praktek KKN. Tidak meniadakan fakta bahwa sosok dan perannya begitu sentral dalam sejarah Orde Baru, yang kemudian memicu gerakan reformasi. Entah dicabut atau tidak, fakta sejarah itu tetap ada di sana.
Kedua, kita perlu memaafkan kesalahan Soeharto. Sebagaimana diungkapkan oleh Ketua MPR periode 20019-2024, Bambang Soesatyo, pasca Soeharto meninggal, kita tidak perlu menyimpan dendam, tetapi harus dilepaskan. Apalagi ia mengklaim, kita bukan bangsa pendendam. Jadi, pencabutan nama Soeharto adalah bentuk dan cara yang nyata dari kita memaafkan kesalahan tokoh sentral rezim Orde Baru tersebut.
Melawan Lupa
Sejarawan dan Peneliti LIPI (sekarang berubah nama jadi BRIN), Aswi Warman Adam, dalam bukunya 'Melawan Lupa, Menepis Stigma' menulis bahwa selama 30 tahun, Soeharto sudah membangun infrastruktur yang masif, tidak terhitung jumlahnya. Namun, kerusakan yang ditinggalkannya juga tidak kecil, mulai dari bidang ekonomi yang memicu krisis berkepanjangan, kerusakan lingkungan alam, hingga dugaan pelanggaran HAM selama periode tahun 1965 sampai berakhir masa jabatannya di tahun 1998.
Dari gambaran Aswi, Soeharto memang hadir dengan sisi baik dan buruknya. Apa implikasinya? Pertama, pengakuan terhadap beberapa keberhasilan Soeharto perlu diakui dan diapresiasi, terutama oleh kelompok masyarakat yang selalu kritis dan mempertanyakan keabsahan penghapusan nama Soeharto dari Tap MPR No 11/1998. Patut diingat, berbagai persoalan yang terjadi pada zaman Orde Baru, masih berlangsung hingga usia lebih dari 25 tahun era reformasi. Praktek KKN masih masif, mulai dari pusat hingga daerah.
Kedua, langkah politik yang erat terkait dengan Soeharto sepatutnya selalu mempertimbangkan sejarah dan bobot dampak buruk dari kekuasaan Soeharto. Himbaun tersebut tidak hanya terkait dengan penghapusan nama dari Ketetapan MPR, tetapi juga bagi rencana dan upaya sekelompok orang yang ingin mengajukan permohonan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Yang jauh lebih penting, berempatilah dengan perasaan dan kepentingan orang-orang yang pernah menjadi korban dan menerima dampak langsung dari praktek kekuasaan Orde Baru. Sudah saatnya para elite politik dan lembaga negara terkait berlaku politik dengan mengedepankan bela rasa. Perlu untuk berpikir dan bertindak dari sudut pandang korban. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H