Mantan wakil presiden dua periode Jusuf Kalla, meminta Jokowi untuk tidak terlalu ikut campur dalam perpolitikan. Menurutnya, Jokowi perlu meniru sikap mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Duo mantan itu dinilainya tidak terlalu jauh melibatkan diri dalam dinamika perkoalisian dan pencalonan capres dan cawapres untuk pilpres 2024 mendatang. Sikap Jusuf Kalla ini merupakan respon terhadap langkah Jokowi yang mengundang enam ketum parpol koalisi (minus partai Nasdem) ke Istana Merdeka beberapa waktu lalu.
Secara etis-normatif, kritik JK ini tidak keliru juga. Sebab Jokowi rentan memanfaatkan fasilitas negara untuk konsolidasi jelang Pilpres 2024 tersebut. Presiden (baca: negara) yang diharapkan bersikap netral atas semua calon pun berpeluang jatuh kepada kepentingan partisan.
Yang paling krusial adalah kecemasan bahwa perhatian Jokowi akan lebih banyak diarahkan kepada konsilidasi kontestasi pilpres 2024. Perhatiannya untuk menuntaskan program kerja akan menurun. Mungkin kecemasan seperti ini terlalu berlebihan, tapi Jokowi layak untuk mengindahkannya.
Walaupun kritik Jusuf Kalla tepat sasar, tidak berarti itu luput dari tanggapan kritis. Setidaknya ada dua catatan yang bisa kita ajukan untuk pandangan Jusuf Kalla.
Pertama, posisi presiden itu adalah hasil proses politik, dengan segala konsep, program kerja, dan target pembangunannya. Keterlibatan Jokowi dalam konsolidasi pencapresan dan koalisi bisa dibaca sebagai upaya untuk memastikan seluruh program Jokowi akan terus dilanjutkan oleh suksesornya.
Logis ketika Jokowi akan cenderung mendukung dan berada dalam satu barisan dengan koalisi partai dan pasangan capres/cawapres yang berkomitmen melanjutkan program kerjanya. Mustahil mendukung kelompok yang dianggap berpotensi memangkrakkan program-program impiannya.
Hanya saja, partisipasi Jokowi ini baiknya tidak dilakukan di fasilitas negara, misalnya istana negara. Gunakan saja tempat lain, misalnya kantor pusat parpol atau kediaman ketua umum parpol. Itu lebih elegan.
Kedua, Jusuf Kalla baiknya juga mengarahkan kritik kepada pemimpin partai yang sekarang berada di kabinet Jokowi, seperti Ketum Golkar Airlangga Hartarto atau Ketum Gerindra Prabowo Subianto. Mereka adalah representasi dari negara, sebab bagian dari tim kerja lembaga kepresidenan. Tim sukses kerja Jokowi sebagai kepala negara dan pemerintahan.
Sebab saat ini mereka cukup banyak menggunakan waktunya untuk mengurus partai, terutama konsolidasi menuju Pilpres dan Pileg di 2024. Kalau memang mau fokus mengurus partai, mundur saja dari kabinet. Jangan pula menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan partai.
Sayangnya, Jusuf Kalla alpa untuk mengingatkan pimpinan parpol yang ada di kabinet. Ini menunjukan inkonsistensi sikap dan pandangannya. Tidak keliru ketika kemudian sebagian kalangan menghubungkan sikap Jusuf Kalla dengan keperpihakannya kepada capres Anis Baswedan yang saat ini diusung Demokrat, Nasdem, dan PKS.
Reaksi mantan wapres ini mungkin merupakan ekspresi kecemasan. Sebab peran aktif Jokowi yang lebih memilih untuk mengusung capres lain akan berdampak negatif kepada elektabilitas Anis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H