Mohon tunggu...
Relly Jehato
Relly Jehato Mohon Tunggu... Penulis - Senang Menulis

.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ancaman Menuju Pilpres 2019

1 Mei 2018   17:06 Diperbarui: 1 Mei 2018   17:17 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rentang waktu 2017-2019 boleh dibilang sebagai tahun-tahun pemilu. Panen pilkada serentak tidak hanya terjadi pada tahun 2017 yang lalu. Pesta demokrasi ini masih akan berlanjut pada tahun 2018 ini, dimana pilkada serentak akan  digelar di 171 wilayah, termasuk 17 pemilihan gubernur (pilgub). 

Puncaknya adalah Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) yang akan digelar serentak tahun 2019. Pesta demokrasi 5 tahunan yang akan berlangsung pada tanggal 17 April tersebut akan memilih para anggota DPR RI, DPD RI, DPRD dan memilih presiden dan wakil presiden.

Dari seluruh hajatan pemilu tersebut, yang paling menyedot banyak perhatian adalah Pilpres 2019. Kalau kita membaca dinamika dan wacana para elite politik hingga saat ini, tampaknya Jokowi dan Prabowo akan kembali head to head sebagai capres. Yang masih misteri adalah siapa yang akan menjadi cawapres kedua sosok ini.

Kemungkinan kuat "duel hadap-hadapan" antara Jokowi dan Prabowo ini membawa konsekuensi terjadinya polarisasi yang tajam. Pendukung Jokowi versus Prabowo. Polarisasi ini sebetulnya hal yang wajar dalam demokrasi. Riak-riak keterbelahan ini sudah mulai muncul. 

Beragam intrik, perang opini, wacana, sudah mulai berlangsung. Dinamika itu bisa kita dengar, saksikan di televisi, atau rasakan langsung melalui beragam kanal aplikasi percakapan ponsel pintar, media sosial, atau kita baca melalui media konvensional, baik media luring maupun media daring. 

Dalam berdemokrasi, sejumlah dinamika itu umumnya akan dianggap sebagai gejala yang lumrah dan wajar. Namun, ada sejumlah fakta dan fenomena, yang menurut saya, akan mengancam proses demokrasi menuju pesta pilpres 2019 itu. 

Pertama, memanipulasi agama demi kepentingan politis. Ayat-ayat kitab suci secara tanpa beban biasanya dikutip untuk tujuan politik tertentu. Ditafsirkan secara manipulatis sehingga solah-olah cocok dan pas dengan calon yang didukung.  Yang paling memprihatinkan, agama dipakai sebagai alat untuk menghina dan melecehkan pihak lain, calon lain, atau pendukung calon lain. 

Padahal, sejatinya, setiap agama mengajarkan hal-hal yang beradab. Mengusung nilai-nilai moral yang baik.  Menghargai kemanusiaan. Menghormati nilai-nilai manusiawi. Ketika agama dimanfaatkan atau digunakan untuk membenarkan tindakan yang tidak manusiawi, itu adalah bagian dari pemanipulasian nilai, ajaran, dan pesan keagamaan.

Kedua, menghina dan menyerang pribadi.  Serangan atas pribadi tidak hanya menyasar calon, tetapi juga para pendukungnya. Serangan ini hadir dalam beragam versi, antara lain narasi visual atau verbal, meme, bahasa tulis di beragam media sosial atau aplikasi obrolan lainnya. Yang memprihatinkan, sebagian elite politik justru terkesan membiarkan, bahkan ikut menyokong serangan yang menohok "pribadi" ini. 

Ketiga, memproduksi dan menyebarkan data bohong. Demi memenangkan pasangan calon tertentu, sejumlah elite politik dan para pendukungnnya secara sengaja memproduksi isu manipulatif tertentu untuk mendiskreditkan pasangan calon yang lain. Isu buatan ini diciptakan seolah-olah hadir sebagai fakta, lalu disebarkan secara masif dan berantai melalui banyak saluran media (entah media resmi atau bodong) dan beragam aplikasi digital lainnya. Tragisnya, massa penerima atau pembaca, tanpa verifikasi, justru menganggap benar data menipulatif ini, dan juga ikut membagikannya. Data hoaks atau bohong itu akhirnya menyebar tanpa kendali dan dianggap sebagai sesuatu yang benar.

Keempat, menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Saat ini, dengan sekali klik, kita bisa dengan mudah membagikan dan menyebarluaskan informasi ke seluruh jagat, melalui jaringan aplikasi digital yang kita miliki. Sayangnya, akses mudah dan cepat, yang disediakan dan difasilitasi oleh jaringan digital ini, justru dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi dan berita tanpa diperiksa silang terlebih dahulu.

Hanya karena mendukung  calon presiden tertentu, orang dengan mudah dan dengan penuh "nafsu" menyebarkan informasi yang merugikan capres lain. Tidak masalah kalau informasi yang disebarkan itu memang benar. Tapi, kalau ternyata keliru? Patut diingat, mengurai rekam jejak pasangan calon lawan harus tetap berdasarkan data dan fakta sebagai tanda cara berpolitik yang beradab, bukan barbar.

Kelima, intimidasi/persekusi fisik. Contoh paling jelas untuk ini adalah kejadian intimidasi terhadap seorang Ibu (bersama anaknya) dan seorang bapak oleh beberapa orang memakai kostum dengan hastag #2019gantipresiden, dalam acara car free day, Minggu, 29 April lalu. Anehnya (dan ini memprihatinkan), Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, justru menganggap kejadian ini bukan bagian dari tindakan intimidasi. Dengan mencermati kiprah Fadli selama, saya cukup yakin, kalau para pelaku intimidatif itu berasal dari pendukung Jokowi, reaksi dan pandangan Fadli akan berbeda. Ini contoh buruk elite politik yang tidak punya empati.

Sejumlah hal di atas, menurut saya, kalau tidak dikelola dengan baik, sangat mungkin akan menimbulkan polarisasi yang tajam.  Dan berpotensi mengancam stabilitas sosial. Kita berhadap, aparat penegak hukum bisa bertindak tegas dan lebih responsif dalam menghadapi dan menangani perilaku sosial dan politik yang berpotensi menimbulkan perpecahan.

Semua elite politik dan para pendukung capres, hendaknya harus sadar bahwa ajang pilpres itu hanya salah satu instrumen demokrasi dan berlangsung sekali dalam 5 tahun. Pesta demokrasi ini  tidak perlu menghalalkan segala cara.  Perilaku menghalalkan segala cara hanya berlaku dan digunakan oleh orang yang bermental kalah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun