Hanya karena mendukung  calon presiden tertentu, orang dengan mudah dan dengan penuh "nafsu" menyebarkan informasi yang merugikan capres lain. Tidak masalah kalau informasi yang disebarkan itu memang benar. Tapi, kalau ternyata keliru? Patut diingat, mengurai rekam jejak pasangan calon lawan harus tetap berdasarkan data dan fakta sebagai tanda cara berpolitik yang beradab, bukan barbar.
Kelima, intimidasi/persekusi fisik. Contoh paling jelas untuk ini adalah kejadian intimidasi terhadap seorang Ibu (bersama anaknya) dan seorang bapak oleh beberapa orang memakai kostum dengan hastag #2019gantipresiden, dalam acara car free day, Minggu, 29 April lalu. Anehnya (dan ini memprihatinkan), Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, justru menganggap kejadian ini bukan bagian dari tindakan intimidasi. Dengan mencermati kiprah Fadli selama, saya cukup yakin, kalau para pelaku intimidatif itu berasal dari pendukung Jokowi, reaksi dan pandangan Fadli akan berbeda. Ini contoh buruk elite politik yang tidak punya empati.
Sejumlah hal di atas, menurut saya, kalau tidak dikelola dengan baik, sangat mungkin akan menimbulkan polarisasi yang tajam. Â Dan berpotensi mengancam stabilitas sosial. Kita berhadap, aparat penegak hukum bisa bertindak tegas dan lebih responsif dalam menghadapi dan menangani perilaku sosial dan politik yang berpotensi menimbulkan perpecahan.
Semua elite politik dan para pendukung capres, hendaknya harus sadar bahwa ajang pilpres itu hanya salah satu instrumen demokrasi dan berlangsung sekali dalam 5 tahun. Pesta demokrasi ini  tidak perlu menghalalkan segala cara.  Perilaku menghalalkan segala cara hanya berlaku dan digunakan oleh orang yang bermental kalah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H