Hari-hari ini, polemik atas pernyaataan Kitab Suci sebagai Fiksi,  yang disampaikan Rocky Gerung, dalam acara ILC beberapa waktu lalu,  masih ramai diperbincangkan. Polemik ini menyedot perhatian sebab apa  pun yang bersangkut-paut dengan agama/atau keyakinan, akan sangat  sensitif, terutama dalam konteks Indonesia.
Saya ingin sedikit menghindari debat yang cenderung menyerang pribadi atau personal (argumentum ad hominem).  Sebab dalam sebuah wacana atau diskusi, yang perlu dibedah adalah  argumentasi, gagasan, atau ide seseorang. Berangkat dari prinsip ini,  mari kita coba membedah pernyaatan Rocky Gerung yang menganggap Kitab  Suci sebagai Fiksi.
Pertama, makna leksikal fiksi dan fiktif.  Apa sebetulnya makna leksikal dari kata fiksi dan fiktif? Kamus  Besar-Bahasa Indonesia Edisi V (edisi terbaru), mendefinisikan kata  fiksi sebagai 1) cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya); 2)  rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan; 3) pernyataan yang hanya  berdasarkan khayalan atau pikiran.
Lalu, dalam konteks makna  leksikal, apa hubungan antara kata fiksi dan fiktif? Fiksi masuk dalam  jenis kata benda, sementara fiktif jenis kata sifat (adjektiva). Tugas  kata sifat 'fiktif' adalah menerangkan (sifat) kata benda 'fiksi'.  Menurut KBBI V, fiktif itu berarti bersifat fiksi, sesuatu yang hanya  terdapat dalam khayalan.
Kalau kita merujuk ke pengertian  leksikal tersebut, sangat terang kalau penjelasan Rocky Gerung atas kata  fiksi dan fiktif itu salah atau keliru. Lebih kacau lagi ketika dia  menyebut fiksi itu posistif, tapi fiktif bermakna negatif. Bagaimana  mungkin makna kata yang diterangkan (fiksi) bisa berbeda artinya dengan  makna kata yang menerangkannya (fiktif)?
Mungkin saja Rocky  Gerung beralasan bahwa dia punya kebebasan untuk mengartikan atau  memberi batasan pengertian atas istilah fiksi dan fiktif. Ya, itu  sah-sah saja. Tapi harus diingat, pemberian batasan pengertian atas satu  istilah harus tetap bisa dipertanggungjawabkan. Tidak bisa sesuka atau  asalan saja.
Dalam panggung ILC, Rocky menyebut fiksi itu  menciptakan imaginasi, sesuatu yang positif.  Kalau mengikuti batasan  Rocky ini, seharusnya fiktif itu dimaknai sebagai "sesuatu yang bersifat  menciptakan imaginasi. Sebab, seperti yang sudah dijelaskan,  kata  fiktif itu fungsinya hanya untuk menjelaskan sifat dari kata benda  fiksi. Â
Saya menduga, ketika berbicara di ILC, Rocky tidak  menyadari (atau mungkin tidak tahu) kerancuan cara berpikirnya ini.  Bukankah, misalnya, kata "makan" tidak bisa seenaknya diartikan sebagai  "memasukkan air atau benda cair ke dalam mulut, lalu  meneguk/menelannya"?
Kedua, jebakan generalisasi.  Dalam acara ILC ada peserta yang meminta Rocky untuk menunjuk "kitab  suci mana" yang disebut fiksi itu. Rocky menganggap pertanyaan itu  sebagai jebakan dan tidak mau menjawabnya. Rocky lupa bahwa penolaknnya  tersebut justru menjebaknya melalui perangkap lain, yaitu generalisasi.  Sebab, penolakan penyebutan kitab suci tertentu justru sekaligus berarti  bahwa semua yang namanya atau apa saja yang dikategorikan sebagai  "kitab suci" itu fiktif. Ini sebetulnya lebih fatal lagi.
Masih  ada bentuk generalisasi lain dari Rocky yang perlu digugat. Kalaupun,  misalnya, ada bagian kitab suci yang dianggap atau memiliki unsur fiktif  (rekaan), tetap tidak tepat kalau kemudian digeneralisasikan bahwa  kitab suci itu fiksi. Itu namanya bentuk fatal dari penyempitan,  penyederhanaan, dan pengaburan makna dan arti dari kitab suci.
Ketiga, bagaimana memperlakukan Rocky?  Rocky sudah dengan jelas memberikan penjelasan batasan definisi,  walaupun "seenaknya", atas istilah fiksi dan fiktif. Kita baiknya  memahaminya dari konteks itu, sehingga tidak perlu menganggapnya sebagai  bentuk "penistaan agama" atau menyerang sisi personal Rocky Gerung,  apalagi melaporkannya kepada pihak berwajib.
Kalau kita  menganggapnya salah, ya tempatkan saja Rocky Gerung sebagai orang yang  masih kurang paham atau wawasannya masih sumir.  Argumentasi yang  disampaikannya harus direspon dengan argumentasi pula. Begitulah  idealnya sebuah diskursus.
Sebagai catatan penutup, dalam  menangapi pendapat Rocky Gerung, saya jadi teringat dengan apa yang  pernah disampaikan salah seorang guru filsafat saya di Driyarkara.  Menurutnya, orang pintar itu adalah orang yang bisa menyederhanakan apa  yang rumit sehingga mudah dipahami. Sementara orang 'b" itu biasanya  memperumit apa yang sebetulnya sederhana hanya demi terlihat hebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H