15 tahun lalu, saat saya masih liputan keliling ibu kota sebagai reporter junior di salah satu surat kabar, saya kerap bertemu rekan-rekan sesama reporter dari media lain di lapangan. Kadang kami saling melempar isu, bertukar pikiran, dan pergi liputan bareng meski habis itu mojok sendiri-sendiri untuk membuat draft reportase.
Meskipun saya nge-post (istilah untuk penempatan tiap wartawan lapangan) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Kebayoran Baru, saya sering ikut meliput rapat-rapat di gedung DPR terutama ketika Menteri PUPR (saat itu masih Djoko Kirmanto) rapat di sana bersama komisi lainnya.
Di area gedung DPR-MPR sebesar itu, tentulah ada banyak sekali media berseliweran mulai wartawan, fotografer, kameramen, dan mobil-mobil stasiun tv dengan antenanya. Saya menyukai saat-saat begini karena saya bisa mengamati cara kerja masing-masing awak media. Yang saya paling suka adalah sekali datang, tiga narasumber terlampaui. Sesi doorstop menjadi tantangan menyenangkan karena menuntut gesit dan gercep melancarkan pertanyaan pada narasumber yang dicegat.
Saya juga jadi banyak tahu tentang hal-hal yang terjadi di negara ini, bisa lihat langsung tokoh-tokoh yang selama ini hanya saya lihat di tv, dan bisa mengikuti rangkaian proses pengambilan kebijakan di parlemen.Â
Meski sangat lelah dan masih harus stand by sampai tengah malam, hari-hari menjadi jurnalis adalah salah satu momen yang paling saya nikmati dalam hidup. Ini adalah masa depan yang saya proyeksikan sedari kecil. Tahu, kan, rasanya punya cita-cita impian yang jadi kenyataan? :)Â
Namun, kenyataan hidup pula yang membuat saya mesti resign dari profesi ini. Saya sedih, takut kehilangan hal-hal menyenangkan yang saya sukai. Takut nggak bisa nulis-nulis lagi. Masih ingin bisa ketemu public figure, orang-orang hebat, atau hadir di event-event keren.Â
Lalu saya ingat saya punya blog, media yang mungkin nggak sekeren surat kabar/portal, tapi saya bisa nulis-nulis di situ untuk mengobati rindu. Blog yang justru malah nggak ada isinya selama jadi wartawan, akhirnya di-reset password. Mengisinya setiap hari dengan catatan yang lebih tepat disebut ala buku harian, bukan tulisan jurnalistik.Â
Ternyata nggak cuma password, diri saya juga ikut di-reset.Â
Karena blog lebih bersifat personal dan customized, saya malah lebih bebas menyampaikan opini dan pemikiran yang nyeleneh sekalipun. Saya nggak mesti ambil kutipan wawancara dari orang lain. Di blog, diri sendiri adalah narasumbernya. Core of the core, mulai jadi penulis sampai ke pemilik modal.Â
Begitu enjoy ngeblog sampai jadi rutinitas. Peluang-peluang yang dulu sempat saya kira hilang mulai banyak berdatangan. Sekarang kalau ada event, blogger dianggap setara dengan content creator dan media. Ikut diundang membawa bendera blog sendiri, boleh mewawancarai pihak-pihak penyelenggara atau bintang tamu, dan tentu saja dipersilakan menulis reportasenya dengan gaya bebas!Â
Yeay, liputan dengan gaya ini namanya!Â
Seketika saya merasa semesta masih tetap mendukung impian saya. Meski tidak secara formal menulis dan digaji reguler untuk pihak tertentu, kini saya menulis untuk diri sendiri, dan publik yang ada dalam jangkauan algoritma blog saya.Â
Saya menikmati privilege jadi blogger, mau setor 5 atau 0 tulisan sehari pun gimana saya. Nggak ada yang ngejar-ngejar tulisan selesai kecuali para PIC job. Harapan saya, blogger saat ini bisa dianggap sebagai profesi yang juga punya gengsi, menjanjikan untuk bertahan hidup, dan memiliki perlindungan hukum sebagaimana profesi yang lainnya. Â Â
Semoga, ya!Â
Tulisan ini saya ketik sambil memangku bayi menjelang 5 bulan, tulisan pertama untuk Kompasiana, di Hari Blogger Nasional ke-16.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H