Indonesia sekarang sedang krisis moral, katanya. Dari kasus Loly Candy sampai bunuh diri live di media sosial lagi hot-hotnya. Tapi kali ini saya mau coba bahas yang bunuh diri saja, daripada memaparkan predator seksual, bikin eneg. Serius. Sebenarnya udah agak telat juga sihbahas yang kasus bunuh diri live itu. Tapi segala sesuatu yang anti-mainstream itu tetap saja seru untuk dibahas. Betul ya?
Bicara mengenai bunuh diri, sebenarnya sudah banyak kasus yang muncul meskipun baru berjalan tiga bulan di tahun ini. Di Kediri saja, awal tahun 2017 setidaknya ada dua peristiwa bunuh diri. Di Gunung Kidul, Yogyakarta, hingga pertengahan Februari 2017 sudah 10 nyawa melayang karena digantung sendiri. Lebih heboh, baru-baru ini ada seseorang bernama Pahinggar Indrawan melakukan aksinya dengan live di Facebook dengan ponselnya. Begitu baca beritanya pada hari kejadian, siang itu juga saya langsung bergegas buka youtube dan nonton videonya (hebatnya media elektronik saat ini, informasi cepat sekali). Terus terang, saya suka horror, tapi saya kurang suka yang bagian ini. Entahlah, apa cuma saya yang berpikir beliau mirip dengan mantannya Zaskia Gotik?
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada beliau, ini merupakan tindakan yang kurang pantas menurut saya. Mengapa? Pertama, bunuh diri itu merupakan hal yang seharusnya dihindari. Seberat apapun masalahnya pasti ada jalan keluar, tinggal bagaimana niat dan sikap dalam menghadapinya (Salam Super!). Kedua, aksi ini dilakukan secara live dan disebarkan di media sosial. Apa tidak miris apabila aksinya ini dilihat oleh banyak anak kecil dan ditiru hanya karena putus cinta, sedangkan mereka masih SD? Di media sosial, seluruh dunia bisa akses, bisa disaksikan baik yang tua, muda, miskin, kaya, gadis atau janda. Loh? Malah dangdutan.
Saya setuju ketika Facebook memutuskan untuk menghapus video tersebut. Tapi namanya media sosial, dalam sedetik setelah diposting pun tidak ada jaminan sudah kemana saja video itu beredar. Usut punya usut, ternyata yang menjadi penyebab itu karena masalah rumah tangga, dan live video itu dibuat untuk menyatakan rasa cintanya pada sang istri. Alamak!
Salah seorang penulis Britania Raya, Virginia Woolf pernah berkata: “You cannot find peace by avoiding life”. Tentu saya berharap semoga beliau tenang dan damai di alam sana. Tapi, apakah kedamaian dapat tercipta bagi mereka yang ditinggalkan? Nanti dulu.
Mari kita coba berada di posisi keluarga yang ditinggalkan, baik anak maupun istrinya. Saat si anak ke sekolah atau bergaul dengan teman-teman sepermainannya, apakah mereka tetap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa? Saat si istri datang ke lokasi kerja, arisan atau kumpul dengan teman-temannya, apakah mereka tetap bersikap biasa saja? Satu lagi, ketika Anda datang ke lokasi bunuh diri itu seorang diri, apakah Anda tetap bersikap biasa saja?
Mungkin benar, terkadang butuh keberanian lebih untuk hidup daripada untuk mati. Dimana-mana ada pasukan berani mati, tapi apa Anda pernah dengar pasukan berani hidup?
Sekilas terasa artikel saya kali ini menjurus ke psikologi. Terlihat sok bijak memang. Tanpa bermaksud mengambil ranah para motivator, ini bersifat argumentatif saja. Hanya sekedar menulis apa yang dipikirkan. Tapi pesan untuk pembaca, entah masih dedek-dedek atau sudah bangkotan: Please jangan lakukan hal yang sama seperti diatas! Masih banyak hal lain yang harus Anda coba. Salam!
Oleh: Religius Perdana Purba
www.begadanger.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H