Mohon tunggu...
Reksy Anggara
Reksy Anggara Mohon Tunggu... Freelancer - Lakukan apa yang disenangi

Membaca adalah menulis kisah yang tak pernah usai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ceritalah, Aku Tak Ingin Menjadi Serba Salah

10 September 2019   12:48 Diperbarui: 10 September 2019   13:14 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah 2 tahun ini aku menjalin hubungan dengan sosok yang kuyakini dikirim Tuhan untuk menjaga dan melindungiku di hari kemudian. Tak pernah kuduga sebelumnya, bahwa semua ini adalah proses dari ketetapan yang telah digariskan oleh-Nya. Awalnya tak ada keyakinan dari dalam diriku untuk menerimanya tatkala suatu ketika ia menyatakan segala perasaannya.Sebab aku tak habis pikir, perbedaan usia diantara kami yang cukup jauh membuatku masih tidak percaya. Sementara jika ia mau, bisa saja mencari sosok wanita yang sepadan dengannya, atau mencari sosok yang secara usia dibawah darinya." Aku tak tau menagapa rasa itu tumbuh. Tak ada yang bisa ku jelaskan". Jawabnya disaat aku menanyakan alasan apa yang membuatnya memendam rasa setelah sekian tahun lamanya. Namun entah mengapa, akhirnya setelah melewati waktu yang cukup lama, aku terima keinginannya.

Hubungan kami bisa dibilang sangat intens. Tak ada gelagat curiga dari siapapun terutama orang tua yang notabene nya aku dan dia masih berada dalam ikatan saudara.Kami sepakat untuk tidak menceritakan kepada siapapun hingga waktu yang tepat tiba. Dan kami telah berkomitmen untuk melangkah menuju arah yang lebih serius, hal itu diutarakannya saat baru-baru pertama kejadian kami. Jujur, awalnya aku tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya. Namun yang membuatku akhirnya luluh adalah sifat sabarnya dan dewasa dalam memahami segala kondisiku. Dua alasan itulah yang membuatku sangat yakin, bahwa ia benar-benar serius dalam menjalani hubungan denganku.

Terdengar bunyi sandal yang bergesekan dengan aspal dari luar. Beberapa orang terus berlalu lalang setelah menyelesaikan berbagai macam aktivitas sehari ini. Kadangkala raungan knalpot sepeda motor melintas begitu saja. Tanpa memperdulikan dari arah yang berlawanan ada beberapa sosok menuju masjid, terpanggil untuk melaksanakan sholat berjamaah sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta. Sementara jauh di ufuk barat sana, Warna jingga yang berpadu dengan kemerahan sunset menambah indah suasana yang cerah petang ini. Berbagai suara adzan yang dikumandangkan dari berbagai pengeras suara. Sungguh, sebuah fenomena yang mengukuhkan eksistensi Tuhan yang sesungguhnya.

Aku masih terbaring di kasur. Rasa lelah yang melanda setelah seharian penuh mencari nafkah. Ada rasa sedih seketika menghampiri benakku. Mengapa ujian datang selalu bertubi-tubi seakan tiada henti. Aku percaya, ini adalah bagian dari proses untuk menuju tingkatan derajat yang tinggi. Akan tetapi naluriku sebagai makhluk yang lemah hanya dapat pasrah, semoga semua ini cepat menemukan jalan keluarnya. Aku bangkit dan segera menunaikan sholat maghrib.

Kamu udah sholat?

Aku mengirim pesan singkat pada doni via Whatsapp. Lama aku menunggu, tak ada balasan darinya. Kulipat sajadah dan mukena yang masih melekat di tubuh. Dan menghempaskan tubuh kembali. Lamat aku memandang ke arah langit-langit kamar. Masih bertanya pada diri sendiri. Setelah apa yang terjadi padaku dan Doni sejak seminggu yang lalu hanya karena masalah sepele. Ditambah lagi masalah dalam keluarga yang membuatnya semakin menanggung beban yang sangat berat dalam hidupnya.

"Allah, permudahkan masalah kami." Aku mendesah berat. Pikiranku masih menerawang. Akhir-akhir ini Doni seperti enggan untuk aku ajak komunikasi. Tiap kali aku chat, maka kali itu juga jawaban darinya sangat dingin terhadapku. Sempat ada harapan sebenarnya tatkala beberapa hari yang lalu aku bermain ke rumahnya. Ia melupakan semuanya, bahkan sempat sesekali bercanda. Seperti tidak terjadi suatu hal yang sangat berarti. Namun sayang, malamnya ia kembali seperti sedia kala. Pernah aku mencoba untuk menanyakan masalahnya. Namun ia mengindahkan pertanyaanku. Aku memakluminya. Situasi seperti ini tidak boleh memancing emosinya. Aku sadar, lebih baik diam dan tak ingin mengganggunya.

Udah. Ia membalas chatku setelah menunggu selama 25 menit. Ada binary ceria yang muncul dari sunggingan senyumku.

Udah makan?

Udah

Ternyata dia telah off. Aku mengelus dada. Mencoba bersabar atas apa yang telah dilakukannya terhadapku. Apakah kesalahanku terlalu besar sehingga ia bersikap dingin? Atau ada masalah lain yang membuatku seakan tidak berarti di matanya.

Kalau kamu libur aku minta kamu datang ke rumah. Ada satu hal yang ingin aku ceritakan.

Tepat di hari Minggu, aku datang ke rumahnya. Saat aku datang, terlihat ia sibuk dengan sendirinya. Memainkan ponsel sembari tangan kirinya memainkan sebuah lidi di depan rumah.Ragu aku memanggilnya, namun urung karena ia telah menyadari keberadaanku.

"Ada apa kamu menyuruhku untuk datang kemari?" Tanyaku penuh selidik, menatap wajahnya yang penuh dengan guratan kesedihan karena terlalu banyak beban yang dipikirkan.

"Maafkan aku akhir-akhir ini bersikap dingin kepadamu. Jujur, aku tak nyaman dengan keadaan seperti ini. Terlalu banyak beban yang harus kupikul. Rasanya semua ini terasa begitu berat."

"Sudahlah, kamu tak perlu merasa bersalah seperti itu. Aku juga berusaha untuk memaklumi. Jalani saja semua yang ada. Jalan keluar itu pasti ada jika kita mau berusaha. Kamu tidak sendiri, ada aku. Aku yang akan mendampingi kamu dalam keadaan apapun. Kita berjuang bersama-sama. Hingga semua akan indah pada waktunya." Aku berusaha untuk menguatkan, dan akhirnya air mataku tumpah dengan seketika. Doni tak tega melihatku. Ia usap air mataku dengan tangannya. Perlahan namun pasti, senyumnya yang khas muncul pada akhirnya.

"Terima kasih atas segala pengertianmu. Percayalah, kita pasti bisa melewati semua. Yang penting ada kamu, aku kuat. Aku tidak bisa membayangkan jika aku harus sendiri. Pasti pincang." Doni menguatkan. Aku masih sesenggukan disertai senyuman. Terima kasih, kau adalah sosok yang istimewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun