Sebagai dosen di Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Mataram, saya memiliki kesempatan berharga untuk mendampingi mahasiswa dalam berbagai kegiatan penelitian. Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah ketika kami mengunjungi Ekowisata Hutan Mangrove Sekotong Tengah. Berlokasi di sisi barat Lombok, kami berangkat dengan semangat untuk melakukan observasi destinasi ini sebagai bagian dari tugas mata kuliah Pengelolaan Destinasi. Setelah sekitar dua jam perjalanan dari kampus kami, melewati perbukitan dan pemandangan laut yang menakjubkan, akhirnya kami tiba di Sekotong Tengah, sebuah destinasi ekowisata yang dulu viral di media sosial namun kini mulai redup pamornya.
Ekowisata Hutan Mangrove Sekotong Tengah Â
Hutan Mangrove Sekotong Tengah memiliki daya tarik unik sebagai salah satu ekosistem penting di Lombok. Terletak sekitar ± 16 km dari Pelabuhan Lembar dan sekitar ± 47 km dari Bandara Internasional Lombok, destinasi ini menawarkan pengalaman yang berbeda dari destinasi wisata lainya. Di sini, pengunjung dapat menjelajahi kekayaan ekosistem mangrove, habitat bagi berbagai fauna seperti burung Dara Laut, Walet, Elang Hitam, Burung Gereja, Cerek Asta, kepiting bakau, dan ikan-ikan kecil. Vegetasi yang tumbuh di sini, terutama pohon bakau dengan berbagai jenisnya yaitu Rhizophora mucronate, Rhizophora stylosa, danAvicennia lanata, pohon bakau sendiri berfungsi penting dalam melindungi garis pantai dari abrasi dan sebagai tempat berkembang biaknya berbagai biota laut.
Dari segi fasilitas, Hutan Mangrove Sekotong Tengah memiliki jalur trekking kayu sepanjang ± 150 meter yang melintasi area mangrove, terdapat menara panjang yang sudah disediakan di kawasan ini adalah tempat yang ideal untuk pengamatan burung, di mana berbagai jenis burung endemik dan migran dapat ditemukan dari atas ketinggian bangunan menara setinggi ± 13 meter. Disediakanya gazebo untuk beristirahat bagi para pengunjung yang ingin menikmati hutan mangrove atau sekedar duduk-duduk, dan restoran yang berada di tengah hutan mangrove yang menyajikan hidangan ikan segar yang diambil langsung dari kolam yang berada di hutan bakau.Â
Salah satu daya tarik tambahan di Ekowisata Hutan Mangrove Sekotong Tengah adalah kegiatan penanaman mangrove. Kegiatan ini melibatkan beberapa tahapan, mulai dari persiapan lahan, pengumpulan bibit mangrove, hingga proses penanaman bibit. Lokasi penanaman bibit ini berada di sepanjang pinggir jalan, dekat jalur trekking, dan tidak jauh dari pintu masuk kawasan hutan mangrove. Bibit mangrove yang digunakan berasal dari hasil konservasi lokal, yang umumnya disediakan oleh pengelola hutan mangrove atau kelompok masyarakat setempat yang aktif terlibat dalam upaya pelestarian mangrove.
Pengelolaan destinasi ini berada di tangan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Tanjung Batu, yang bekerja keras untuk mengembangkan potensi wisata sekaligus menjaga kelestarian ekosistem mangrove serta fasilitas yang ada. Selain berfokus pada konservasi, Pokdarwis juga berinovasi dalam menciptakan produk turunan dari pohon mangrove. Salah satu produk unggulannya adalah kopi yang diolah dari biji buah bakau, serta sirup mangrove yang memiliki cita rasa khas. Inovasi ini tidak hanya memperkaya pengalaman wisata, tetapi juga mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat melalui pemanfaatan hasil alam secara berkelanjutan.
Kondisi Terkini Hutan Mangrove Sekotong Tengah Â
Namun saat saya dan para mahasiswa melakukan observasi, kondisi Hutan Mangrove Sekotong Tengah memperlihatkan wajah yang berbeda dibandingkan dengan saat destinasi ini menjadi pusat perhatian wisatawan. Beberapa bagian jalur kayu yang membentang di atas air tampak mulai lapuk, catnya memudar, bahkan ada beberapa papan yang perlu diganti. Menara pengamat burung yang dulu menjadi tempat favorit untuk berswafoto dan menikmati pemandangan hutan mangrove dari atas kini sudah tidak boleh dinaiki lagi yang dimana menurut pengelola destinasi Pak Marwi kayu menara sudah banyak yang keropos dan kondisi kayunya yang lapuk sehinga cukup berbahaya bagi pengunjung.
Banyak wisatawan yang mengeluhkan khususnya saat wisatawan memasuki kawasan hutan mangrove, yang menurut Bapak Marwi dimana wisata akan disambut dengan pemandangan lingkungan sekitar rumah-rumah warga di area pintu masuk. Sayangnya, kondisi di sekitar pintu masuk ini terlihat kurang tertata rapi dan cenderung kumuh. Kesan pertama yang diberikan kurang menarik, dan hal ini dapat memengaruhi pengalaman awal pengunjung sebelum mereka menjelajahi keindahan alam di dalam kawasan hutan mangrove.
Restoran yang dulu memiliki kolam ikan sendiri, di mana pengunjung bisa melihat ikan diambil langsung untuk kemudian dimasak, kini tak lagi beroperasi seperti sebelumnya karena sepinya pengunjung. Hal ini juga berdampak pada home stay yang tersedia, di mana kondisinya kurang optimal untuk menerima tamu. Fasilitas seperti spot-spot swafoto yang pernah mendatangkan banyak wisatawan juga terlihat tak terawat. Lampu penerangan di sepanjang jalur setapak khususnya untuk malam hari, kini tidak lagi menyala menambah kesan redup tempat ini.Â
Beberapa industri kecil yang dahulu memanfaatkan pohon mangrove untuk menghasilkan produk-produk unik, seperti kopi mangrove dan pembuatan sirup, kini mulai berhenti beroperasi. Keterbatasan pendanaan menjadi salah satu kendala utama yang menyebabkan sulitnya menjaga kelangsungan industri ini. Tanpa dukungan finansial yang memadai, pengelolaan dan perawatan fasilitas produksi menjadi terhambat, sehingga industri yang sempat menjadi daya tarik tambahan bagi wisatawan kini tidak lagi aktif.Â
Meskipun beberapa fasilitas lainnya mengalami penurunan, toilet dan gazebo di kawasan hutan mangrove masih cukup terawat. Kebersihan toilet tetap dijaga dengan baik, memberikan kenyamanan bagi pengunjung yang membutuhkan fasilitas tersebut. Gazebo juga masih dapat digunakan sebagai tempat beristirahat, Â sehingga pengunjung tetap bisa menikmati waktu santai di antara perjalanan mereka.Â
Menurut pengelola Pokdarwis, dana desa yang dialokasikan untuk pemeliharaan kawasan hutan mangrove ini tidak mencukupi untuk menutupi semua kebutuhan perawatan. Penurunan tajam dalam jumlah kunjungan wisatawan juga memperparah situasi, karena pendapatan dari tiket masuk dan aktivitas wisata semakin berkurang. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan dalam melakukan peremajaan fasilitas, yang berujung pada kondisi infrastruktur yang semakin menurun dan kurang menarik bagi pengunjung baru.
Tantangan dan PeluangÂ
Tantangan:
- Kondisi Infrastruktur yang Memburuk: Jalur kayu dan menara pengamat yang rusak serta lapuk, spot swafoto yang tak terawat, dan restoran yang tidak lagi beroperasi optimal mengurangi daya tarik utama destinasi ini.
- Kesan Pertama yang Kurang Menarik: Lingkungan di sekitar pintu masuk terlihat kumuh dan tidak tertata, yang memberikan kesan negatif pada wisatawan sebelum mereka menikmati keindahan hutan mangrove.
- Penurunan Kunjungan Wisatawan: Jumlah wisatawan yang menurun drastis mengakibatkan minimnya pendapatan untuk perawatan dan pengelolaan destinasi, yang berujung pada ketidakmampuan untuk meremajakan fasilitas.
- Kurangnya Dukungan Pendanaan: Pendanaan dari desa dan sumber lain tidak mencukupi untuk peremajaan dan pengelolaan berkelanjutan, sehingga banyak industri kecil seperti kopi mangrove dan sirup yang berhenti beroperasi.
Peluang:
- Revitalisasi Infrastruktur dan Fasilitas: Dengan peningkatan dukungan dana dan perbaikan fasilitas, destinasi ini dapat kembali menarik wisatawan. Peningkatan fasilitas seperti menara pengamat burung, restoran, dan jalur trekking bisa menjadi langkah awal menuju perbaikan yang lebih besar.
- Pengembangan Produk Wisata Lokal: Menghidupkan kembali industri kecil seperti kopi mangrove dan sirup dapat menjadi daya tarik tambahan bagi wisatawan. Produk-produk ini tidak hanya memperkuat identitas lokal tetapi juga mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.
- Edukasi dan Wisata Berkelanjutan: Potensi ekowisata ini masih besar, terutama untuk wisata edukasi yang berfokus pada konservasi mangrove. Menarik pengunjung yang peduli lingkungan dengan menawarkan pengalaman belajar tentang ekosistem mangrove bisa menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan kunjungan.
- Peningkatan Promosi dan Keterlibatan Digital: Menggunakan media sosial dan platform digital untuk mempromosikan keunikan ekosistem dan kegiatan konservasi bisa membantu menarik kembali minat wisatawan. Promosi yang fokus pada keberlanjutan dapat menciptakan citra baru bagi ekowisata ini.
Meski menghadapi tantangan besar, Ekowisata Hutan Mangrove Sekotong Tengah masih memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Dengan dukungan yang tepat, pengelolaan yang lebih baik, dan strategi promosi yang inovatif, destinasi ini dapat kembali menjadi tujuan wisata berkelanjutan yang menarik bagi wisatawan dan bermanfaat bagi masyarakat serta ekosistemnya.
Membangun Harapan Kedepanya
Meskipun saat ini menghadapi berbagai tantangan seperti infrastruktur yang menurun, pendanaan terbatas, dan penurunan jumlah wisatawan, Hutan Mangrove Sekotong Tengah memiliki potensi besar untuk kembali menjadi destinasi ekowisata unggulan. Melihat peluang yang ada, upaya revitalisasi dan kolaborasi lintas pihak menjadi langkah yang sangat penting untuk masa depan destinasi ini.Â
Untuk mengatasi masalah infrastruktur yang rusak, dukungan pendanaan yang lebih kuat sangat diperlukan. Program kemitraan dengan sektor swasta, pemerintah, dan organisasi lingkungan bisa menjadi salah satu solusi untuk memulai perbaikan fasilitas seperti jalur trekking, menara pengamat, dan restoran. Selain itu, meningkatkan kesan pertama bagi pengunjung dapat dilakukan dengan penataan lingkungan di sekitar pintu masuk. Pelibatan masyarakat setempat dalam program gotong-royong untuk membersihkan dan memperbaiki area ini akan membantu menciptakan suasana yang lebih ramah dan menarik.Â
Pengembangan kembali industri kreatif berbasis mangrove, seperti produksi kopi mangrove dan sirup, dapat menjadi daya tarik tambahan yang tidak hanya memperkuat identitas lokal tetapi juga mendukung ekonomi masyarakat. Melalui pelatihan dan pendampingan, Pokdarwis bisa mendorong pengembangan produk-produk ini kembali ke pasar, memperluas pemasaran melalui media digital untuk menarik lebih banyak wisatawan, khususnya mereka yang tertarik dengan wisata berbasis komunitas dan ekologi.
Selain itu, memaksimalkan potensi edukasi dan wisata berkelanjutan adalah salah satu kunci utama. Dengan mengedepankan program konservasi mangrove dan edukasi tentang pentingnya ekosistem ini, Hutan Mangrove Sekotong Tengah dapat menjadi tujuan wisata yang tidak hanya menawarkan keindahan alam tetapi juga pengetahuan lingkungan yang mendalam. Kolaborasi dengan lembaga pendidikan dan organisasi lingkungan dapat membuka peluang untuk menghadirkan program-program wisata edukasi yang lebih menarik.
Dengan revitalisasi fasilitas, inovasi dalam produk lokal, dan promosi yang tepat, Ekowisata Hutan Mangrove Sekotong Tengah memiliki harapan besar untuk berkembang menjadi destinasi wisata yang berkelanjutan. Harapan kami adalah agar destinasi ini terus berkembang seiring dengan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, serta memberdayakan masyarakat sekitar melalui pariwisata yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Melalui program perbaikan yang tepat dan dukungan dari berbagai pihak, saya optimis Ekowisata Hutan Mangrove Sekotong Tengah masih bisa bangkit. Potensinya yang besar dalam aspek ekologis, edukatif, dan wisata dapat dimaksimalkan kembali. Harapan kami sebagai akademisi adalah agar mahasiswa yang turut serta dalam observasi ini dapat mengambil pelajaran nyata tentang pentingnya pengelolaan destinasi secara berkelanjutan, serta bagaimana membangun strategi untuk menjaga keseimbangan antara pariwisata dan kelestarian lingkungan.
PenutupÂ
Perjalanan kami ke Hutan Mangrove Sekotong Tengah tidak hanya membuka mata tentang kondisi aktual destinasi ini, tetapi juga memberikan wawasan berharga bagi para mahasiswa mengenai tantangan dalam mengelola destinasi. Kami semua pulang dengan pemahaman lebih dalam tentang pentingnya inovasi, kolaborasi, manajemen pengelolaan dan kepedulian lingkungan untuk menciptakan pariwisata yang berkelanjutan, dan semoga Hutan Mangrove Sekotong Tengah bisa kembali bersinar seperti dulu, membawa manfaat bagi lingkungan dan masyarakat setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H