Mohon tunggu...
Reko Alum
Reko Alum Mohon Tunggu... Freelancer - She/her

Metalhead \m/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Pengobatan 'Herbal'

2 Juni 2014   04:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini bukan mau mendiskreditkan satu lembaga atau suatu konsep mengenai pengobatan. Sekedar sharing, mungkin teman-teman pembaca ada yang pernah mengalami hal yang sama seperti saya.

Mertua perempuan saya, usia 72 tahun divonis kanker usus stadium empat pada bulan Desember tahun lalu. Kami sekeluarga sangat tidak siap menerima berita tersebut karena selama ini beliau jarang mengeluh sakit. Memang beberapa tahun terakhir kata saudara yang tinggal bersama ibu mertua,  dia kadang mengalami BAB berdarah. Perkiraan hanya wasir, dan selalu berobat ke klinik kecil di dekat rumah. Selain itu memang ada keluhan lain, yakni sering merasa kembung dan mual.

Kesimpulan pertama bahwa ibu mertua menderita kanker usus stadium empat kami peroleh dari RSCM. Karena masih tidak yakin dengan hasil itu,  kami periksa ulang di rumah sakit kanker Dharmais. Sudah saya duga, vonis masih tetap sama seperti yang pertama. Tindakan satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah membuat saluran baru di pinggang untuk membuang kotoran, karena saluran pembuangan feses di dubur sudah hampir tertutup oleh kanker tersebut.

Bapak mertua keberatan dengan tindakan tersebut, karena ia yakin pembuatan saluran pembuangan baru bukan untuk mengobati, tetapi hanya untuk memudahkan BAB. Benar apa yang dipikirkan bapak mertua, karena dengan usia yang sudah lanjut dan kanker yang sudah menyebar kemana-mana, tim dokter di kedua rumah sakit itu sebenarnya sudah angkat tangan.  Mereka memang tidak memberitahu secara eksplisit, tapi saya rasa sebagai manusia mestinya sudah bisa mengasumsikan sendiri, bahwa ibu mertua saya tidak bisa sembuh. Kalimat yang selalu saya dengar dari para dokter adalah, "Buatlah ibu senang."  Saya rasa itu sudah sangat jelas, jika secara medis ibu tidak bisa sembuh, tapi paling tidak  secara psikologis ia harus dibuat senang dan bahagia di hari-hari terakhirnya.

Bapak mertua masih yakin ibu mertua masih bisa sembuh. Ia meminta anak dan menantunya mencarikan jalan pengobatan lain. Saya pribadi pesimis, mengingat faktor usia dan stadium kanker yang diidap (setelah sebelumnya saya browsing di internet dan bertanya pada beberapa teman yang berprofesi sebagai dokter). Saya hanya berpikir bagaimana membuat ibu mertua ini merasa bahagia di hari-hari terakhirnya.

Tapi rapat keluarga akhirnya memutuskan bahwa ibu mertua akan dibawa berobat ke sebuah rumah sakit di luar kota Jakarta. Perjalanan kesana dengan pesawat memakan waktu 1,5 jam. Kemudian dilanjutkan dengan jalan darat selama tiga jam untuk sampai ke lokasi. Rumah sakit tersebut  selain menawarkan pengobatan medis, juga mengklaim bisa mengobati memakai metode 'herbal'.

Sebelum saya lanjutkan, ada baiknya kita samakan persepsi dahulu, apa yang dimaksud dengan pengobatan herbal. Kata 'herbal' menurut KBBI adalah hal-hal yang berkaitan dengan herba (tumbuhan terna). Jadi menurut saya, pengobatan herbal adalah proses penyembuhan dengan menggunakan ramuan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Saya terbuka terhadap koreksi apabila asumsi saya ini ternyata salah.

Hari pertama ibu mertua dirawat di rumah sakit tersebut, ia menerima 16 macam 'ramuan' yang disuntikkan ke dalam tubuhnya. Dokter yang merawat juga seorang yang bertitel profesor, ia tidak banyak banyak bicara setiap saat kunjungan ke pasien. Ia juga tidak  menjawab ketika ditanya, apa sih 16 macam ramuan itu, vitaminkah? obat?  Si dokter hanya mengatakan bahwa semua yang disuntikkan itu untuk membentengi kanker untuk tidak bergerak ke organ lain. Loh...bukankah pengertian stadium empat pada penyakit kanker artinya sel-sel ganas itu sudah menggerogoti organ dalam tubuh yang lain? Ibu mertua dirawat selama lima hari, setelah itu diperbolehkan pulang dan diminta datang untuk kontrol bulan berikutnya. Total biaya yang harus dikeluarkan sekitar 17 juta lebih, belum termasuk ongkos pesawat, sewa mobil dan akomodasi selama disana.

Sepulang dari rumah sakit, ibu mertua kelihatan segar sedikit. Sepertinya beliau yakin bahwa ia masih bisa sembuh. Sukurlah kalau efeknya seperti itu. Bapak juga tampak gembira setelah sebelumnya selalu murung dan menangis.  Namun sekitar seminggu di rumah, kondisi ibu mertua mulai melemah lagi. Perutnya mulai kembali sakit  meskipun BAB sudah tidak berdarah. Memasuki minggu ketiga ia tidak tahan, ingin segera kembali ke rumah sakit 'herbal'. Keluarga pun membawanya kembali kesana.

Ia kembali dirawat selama hampir satu minggu. Mendapat suntikan yang sama, 16 jenis ramuan. Suami saya yang mengantar, kembali bertanya ke dokter yang merawat mengenai suntikan-suntikan tersebut dan peluang kesembuhan ibu. Jawabannya adalah, "Berdoa saja."  Sungguh saya heran, perihal berdoa tidak usah lagi dokter menganjurkan, karena itu sudah selalu kami lakukan. Pertanyaan seberapa besar peluang sembuh, tidak pernah dijawab oleh dokter. Dan bapak seperti diberi impian kosong bahwa ibu akan sembuh seperti sediakala.

Memberi harapan palsu pada pasien berpenyakit berat, saya rasa masih ada manfaatnya. Setidaknya memberi semangat hidup bagi penderita di hari-hari terakhirnya. Tapi memberikan harapan kosong pada keluarga pasien terutama pasangan hidupnya, buat saya itu adalah sebuah kejahatan. Saya tidak tahu kenapa pihak rumah sakit tidak terbuka terhadap keluarga pasien mengenai peluang sembuh dan ramuan apa saja yang dimasukkan ke tubuh pasien. Hak pasien dan keluarga untuk mendapatkan informasi yang benar telah dilanggar.

Kunjungan tahap kedua ini, kembali menghabiskan uang sebesar 17 juta lebih. Belum termasuk ongkos pesawat, sewa mobil dan akomodasi tujuh hari selama disana. Untuk masa rawat selama seminggu di rumah sakit tersebut, kami hanya menerima satu lembar kuitansi yang ditulis tangan dan diperinci sebagai berikut: perawatan, visite, kamar/makan, laboratorium, obat herbal, obat rawat jalan, lain-lain. Untuk obat tidak ada deskripsi mengenai jenis obat-obatan apa yang sudah kami bayar selama dirawat, padahal di bagian obat 'herbal' inilah angkanya sangat fantastis  yaitu 12, 5 juta rupiah.  Tidak ada copy resep.

Sekitar sebulan setelah kunjungan ibu mertua yang kedua ke rumah sakit tersebut, ia berpulang. Manusia berusaha, Tuhan berkehendak. Sampai saat ini keluarga berusaha iklas meskipun berat. Tapi beban yang  tidak tertahankan harus ditanggung oleh bapak mertua saya. Ia betul-betul sangat terpukul dengan kepergian ibu mertua yang begitu cepat. Saya bukan mencari kambing hitam dalam kasus ini. Tapi seandainya rumah sakit dalam hal ini dokter yang merawat  mau terbuka dan tidak memberi harapan palsu pada bapak mertua saya, yang saat itu dalam kondisi galau menghadapi kenyataan istrinya yang sakit berat; tentu ia sudah bisa mengantisipasi kemungkinan terburuk sejak saat itu. Sebab baginya, pendapat  seorang dokter tentu lebih bermakna dibanding komentar anak atau saudara yang memang tidak mengerti masalah medis.

Memilih untuk menggunakan 'pengobatan herbal' memang sudah menjadi pilihan keluarga saat itu, tentu dengan segala resikonya. Tapi sekali lagi lagi memberi harapan palsu pada mereka yang sudah jelas sedang berkesusahan, sangat tidak etis. Saya tidak tahu, atas nama apa pihak rumah sakit bersikap seperti itu. Buat saya yang awam, yang terlintas di kepala saya adalah ketika harapan kosong terus dijejali kepada keluarga pasien, tentu frekuensi datang untuk berobat kesana akan semakin terbuka. Artinya pemasukan akan terus bertambah. Saya tidak percaya, seorang dokter bertitel profesor tidak tahu bahwa penderita kanker stadium empat dengan usia 72 tahun masih bisa sembuh atau lebih baik, melalui pengobatan yang ia berikan. Dari beberapa pembicaraan dengan teman saya yang dokter, pasien kanker stadium empat memang masih bisa sembuh dengan catatan belum berusia lanjut.

Ibu mertua saya hanya bertahan dua bulan setelah divonis kanker dan melakukan pengobatan 'herbal' selama total dua minggu.

Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud untuk menggiring opini negatif pada satu metode pengobatan tertentu. Keputusan kembali ke tangan pembaca, semoga bermanfaat. Salam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun