Malam itu saya tidur lebih  cepat dari biasanya. Besok saya harus bangun jam empat pagi, dada terasa berdesir membayangkan kegembiraan yang akan saya rasakan nanti. Saya pun membaringkan badan diatas peraduan, meringkuk ke kiri, posisi favorit saya, sambil menarik selimut. Saya mulai memejamkan mata, tapi…kenapa tiba-tiba perut terasa tidak enak, seperti diremas-remas. Awalnya hanya sedikit, namun lama kelamaan sakitnya makin terasa kuat. Keringat dingin mulai keluar perlahan. Saya tidak jadi tidur, duduk sambil mengatur nafas, mencoba mengurangi rasa sakit. Kok tidak berkurang juga, meskipun sudah dibantu minyak kayu putih dan dipijit oleh suami.
Saya mulai cemas, jangan-jangan saya bakalan batal ikut acara jalan-jalan besok bersama tim Diagonal (nama tim kerja saya). Kalau sakit begini, bagaimana mungkin saya bisa pergi ke Gambir dan sampai disana pukul lima pagi ? Padahal rencana ini sudah direncanakan sekitar dua minggu sebelumnya. Ya…kami tim kreatif Diagonal mengadakan acara jalan-jalan ke Cirebon. Kami memang sudah cukup lama tidak berekreasi ke luar kota bersama. Kadang-kadang kumpul untuk arisan atau merayakan ulang tahun, tapi hal itu belum tentu dilakukan sebulan sekali. Kesibukan pekerjaan adalah faktor utama yang menyebabkan kami tidak bisa sering mengadakan acara bersama.
Kembali ke soal perut yang melilit. Saya mencoba tidur kembali, meringkuk lebih dalam, berharap dengan kondisi perut yang ditekuk akan mengurangi rasa sakit. Minyak kayu putih tidak henti saya balurkan di hidung dan di belakang telinga. Semoga cuma masuk angin biasa, atau mungkin saya hanya nervous karena terlalu gembira…senewen kalau kata orang…Akhirnya,sakit perut tak diundang itu perlahan menghilang, saya pun tertidur pulas.
Rasanya belum lama memejamkan mata, bunyi alarm tiba-tiba menghentak kesunyian pagi. Saya bergegas mandi dan menyiapkan diri. Sukurlah, saya merasa sehat, sakit perutnya  sudah hilang entah kemana. Terimakasih Tuhan, sudah memperbolehkan saya berangkat Senin pagi itu. Tanpa seijinNya, saya tentu masih terbaring mulas di kamar.
Taksi datang tepat waktu, saya sampai di Gambir pukul lima kurang lima menit. Saya sampai lebih dulu, teman-teman belum kelihatan. Mungkin sudah hampir 10 tahun saya tidak pernah menginjakkan kaki disini. Stasiun ini sudah kelihatan lebih beradab, café-café kecil tertata rapi, tidak ada lagi pedagang asongan dan tukang semir sepatu berkeliaran. Bahkan sudah ada warung kopi yang terkenal seantero jagad itu, Starbucks. Tak lama kemudian, satu persatu personil Diagonal mulai bermunculan. Setelah lengkap semua, teh Inka membagikan tiket masing-masing, lalu kami naik menuju peron. O ya, sebelum naik ke kereta, foto bersama dulu seperti biasa, lengkap dengan seragam kami berupa kaus putih bertuliskan ‘I Love Monday’ So….Cireboooonnn…we are comiiiiiing...
Perjalanan ini sebenarnya bukan sekedar pelesir, ada tugas yang harus dilaksanakan selama berada di kota udang ini. Semua anggota tim dibagi menjadi lima kelompok untuk melakukan berbagai wawancara. Saya kebagian tim C bersama Wieke dan Astrid. Tapi karena Astrid kurang sehat, jadilah kami hanya berdua. Agak sepi memang karena kurang anggota, tapi nggak apa-apalah…yang penting kompak.
Di kereta, kami sarapan a la tim Diagonal. Menunya donat kentang dan siomay. Hmm…apapun makanannya, kalau disantap bersama memang rasanya beda, lebih nikmat karena dibumbui tawa ceria teman-teman semua. Semoga saja penumpang yang satu gerbong dengan kami tidak merasa menyesal pergi ke Cirebon hari itu; karena satu jam pertama perjalanan, hanya suara kami  yang riuh rendah terdengar, menguasai ruang dan waktu…hehee...
Sekitar pukul sembilan, kereta memasuki stasiun Cirebon. Sebuah mobil travel sudah menunggu kami. Perjalanan langsung dilanjutkan, sarapan kedua menuju warung empal gentong Mang Darma. Sebagai bocoran, di umur saya yang setua ini, saya belum pernah makan empal gentong…dan langsung ketemu yang endang bambang alias enak banget…Dahsyat memang bumbu kuah buatan mang Darma ini. Mungkin ada yang bertanya, sarapan kedua ya? Jelas dong, karena donat dan siomay rasanya belum cukup. Buat kami  para anggota tim,  makan adalah satu kegiatan yang sangat penting, karena selain untuk menjaga stamina, juga sesuai dengan motto kami yaitu: pasukan berani mati takut lapar…hahahaaa…
Dari empal gentong, kami kemudian bergerak ke tempat kerajinan batik. Salah satu toko yang dikunjungi adalah toko batik Lebet Sibu. Disini, teman-teman yang mendapatkan tugas reportase mengenai batik mulai melakukan tugasnya. Saya dan Wieke kebagian menulis tentang oleh-oleh khas Cirebon. Sambil menunggu yang lain melakukan wawancara, Â kami berdua asik melihat-lihat kain dan baju, kali-kali ada yang cocok untuk dibawa pulang.
Selesai dari toko batik, perjalanan dilanjutkan ke mesjid Merah untuk sembahyang dan dilanjutkan melihat-lihat keraton Cirebon yang sudah berumur ratusan tahun. Karena tadi sarapan sudah telat, maka kami baru makan siang sekitar pukul tiga. Menunya adalah nasi jamblang Bu Nur. Bocoran kedua adalah, sekali lagi di umur saya yang setua ini, Â baru sekali ini saya makan yang namanya nasi jamblang. Sambalnya memang luar biasa, tapi sayang disini saya tidak bisa makan banyak karena tidak tahan pedas.
Tidak terasa, kami sudah sampai di penghujung acara jalan-jalan. Tujuan terakhir adalah toko oleh-oleh khas kota Cirebon. Kami semua memang sudah tak sabar ingin membeli buah tangan untuk keluarga di rumah. Toko yang kami kunjungi bernama toko Daud, terletak di jalan Sukalila Utara.  Nah, disini saya dan Wieke mulai melakukan tugas. Seorang pelayannya mengatakan, salah satu produk yang paling laku adalah terasi. Menurut mbahGoogle, konon terasi adalah hasil racikan pangeran Cakrabumi dari Kerajaan Sunda. Bahan utamanya adalah udang rebon yang ditumbuk halus dan dicampur dengan rempah-rempah. Ketika lauk yang dibumbui dengan terasi ini dihidangkan kepada Prabu Rajagaluh sang penguasa kerajaan, ternyata ia sangat menyukainya. Terasi yang mulai dikenal sejak pertengahan abad 14 ini, diambil dari kata terasih yang berarti ‘menyukai’.