Dalam artikelnya “Soekarno’s Two Bodies”, sejarawan Jhon Roosa berpendapat, bahwa calon presiden RI, Prabowo Subianto, mencoba menampilkan diri sebagai pewaris Soekarno. Roosa melihat, Prabowo yang berbaju putih, berpeci dan berpidato berapi-api, menggunakan mikrofon ’tempo doloe’, semua ini tiada lain daripada usaha mencitrakan dirinya laksana Bung Karno. Begitu pula, pusat kampanye Prabowo-Hata adalah Rumah Polonia, yang disebut rumah Soekarno. Sebenarnya rumah ini dulu ditempati salah satu isterinya, Yurike Sanger, yang tentu sering disambangi Bung Karno.
Prabowo, ujar Roosa, memandang Bung Karno dalam citra seorang pemimpin karismatik yang kuat, citra yang ingin dijelmakan dalam dirinya. Ia mengagumi Demokrasi Terpimpin (1959-1966), yang dicanangkan Bung Karno, dan ingin mewujudkannya kembali dalam versi yang baru. Demokrasi kita saat ini, dinilai Prabowo sebagai demokrasi liberal yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional. Namun lucunya, dalam salah satu janji kampanye politiknya, Prabowo menjanjikan bahwa jika dia terpilih menjadi presiden nanti, Soeharto bakal menjadi pahlawan nasional. Padahal, seperti yang kita ketahui, Soeharto-lah yang telah melakukan “kudeta merangkak” terhadap kekuasaan Bung Karno pada 1965-1967 dan kemudian mendirikan pemerintahan Orde Baru yang berkuasa dengan tiranik selama 32 tahun.
Pada 1997 rezim Soeharto yang amat korup, opresif, semakin tidak realistis, dan disfungsional terseret ke dalam pusaran krisis keuangan yang melanda Asia. Mendekati tumbangnya Orde Baru, Soeharto mendapatkan dukungan terbesarnya dari kalangan Islam konservatif. Saat itu, Prabowo Subianto bukan hanya seorang jenderal “hijau” terkemuka dan menantu laki-laki Soeharto, namun juga komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI.
Kopassus terdiri atas pasukan perang rahasia dan parakomando. Di bawah kepemimpinan Prabowo, pasukan khusus bertempur melawan gerakan-gerakan separatis di Papua, Timor Timur dan Aceh. Catatan tindakan Kopassus menggunakan teror terhadap kaum sipil adalah yang terburuk dalam sejarah ABRI. Prabowo meniti jalan menanjaknya melalui militer, dia mendapatkan banyak pengagum dan juga musuh bebuyutan. Beberapa mengira telah muncul calon pengganti Soeharto, sedangkan kalangan lain menilai Prabowo merupakan lambang puncak dari kekotoran dan kekejaman ABRI.
Prabowo (lahir 1951) merupakan putra dari ekonom terkemuka sekaligus bekas politikus Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sumitro Djojohadikusumo, dan menikah dengan putri Soeharto, Siti Hediyati Hariyadi (akrab disapa Titiek, lahir 1959). Prabowo merupakan orang yang brilyan, berpendidikan tinggi dan, di mata lawan-lawannya, merupakan pria dengan ambisi yang tak terbendung dan psikopat. Ia juga diyakini sebagai seorang sekutu Habibie dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Dalam atmosfer yang ditandai oleh meningkatnya ketegangan dan memburuknya krisis pada awal 1998 ini, Prabowo mengundang kalangan Islam “garis-keras”, dan berbuka puasa dengan sekitar 5.000 orang yang, di antaranya, adalah kaum ekstremis terkemuka di Indonesia. Dia menyatakan bahwa krisis yang menghantam saat itu adalah akibat dari konspirasi internasional yang terkait dengan pebisnis Indonesia keturunan Cina. Sofjan Wanandi (Liem Bian Koen), seorang pengusaha Indonesia keturunan Cina dan pemeluk Katolik, menjadi sasaran khusus Prabowo dan para sekutunya, bersama dengan Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, di mana Sofjan Wanandi dan adiknya Yusuf Wanandi (Liem Bian Kie) adalah dua tokoh penggeraknya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan responsnya pada seruan Prabowo dan rezim Orde Baru yang menginginkan dukungan Islam. Lembaga ini menyatakan bahwa “Perang Suci” harus dikobarkan terhadap orang-orang yang dilukiskannya sebagai mereka yang tidak bertanggung jawab dan yang mendominasi 70 persen perekonomian Negara meskipun jumlahnya hanya kecil–yang merujuk pada orang Indonesia keturunan Cina.
Pada fase itulah, Prabowo bertanggungjawab dalam mengkampanyekan sentimen anti-Cina, persis menjelang kejatuhan Soeharto. Kampanyenya itu menjadi pemanasan yang sempurna sebelum meledak kerusuhan rasial yang berakhir dengan tragis dalam bentuk pembakaran dan pembumihangusan Jakarta.
Sosok Prabowo yang ingin mencitrakan dirinya sebagai pewaris dari takhta Soekarno (dan juga Soeharto) mencerminkan bahwa figurnya bukanlah seorang pemimpin ideal untuk bangsa Indonesia, melainkan hanya menjual angan dan impian kita tentang figur presiden berkarakter di masa lampau, maka kita pun membangkitkan orang mati dari kuburnya untuk membantu kita.
Mungkin saja, ini menunjukkan bahwa Prabowo masih kurang percaya diri dan hanyalah pecundang. Hanya mereka yang minder yang merasa perlu berpura-pura menjadi seorang (super)hero yaitu Soekarno!
Lagipula, mana mungkin anak ideologis Soekarno justru malah mau mempahlawankan orang yang beratnggungjawab pada kematian Soekarno yang tragis dan menyedihkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H