Dalam soal pengembangan ekonomi kreatif, Prabowo Subianto mengakui Jokowi jauh lebih siap dan lebih mengerti. Itu terlihat dalam Debat Capres kedua akhir pekan lalu. Jokowi bukan hanya yang membuka sesi debat soal ekonomi kreatif, tapi dia juga yang dengan tepat merumuskan ekonomi kreatif sebagai kawah dan areanya anak-anak muda.
Jokowi mengatakan: “Ekonomi kreatif belum diberi dukungan. Kalau diberi dukungan penuh akan bisa dikembangkan. Ini demi anak-anak [muda] kita. Bagaimana dibawa ke mancanegara karena menyangkut anak-anak muda. Yang bekerja di ekonomi kreatif ini anak-anak muda kita.”
Hanya Jokowi yang dokumen visi misi pencapresannya memasukkan soal anak muda. Di situ, Jokowi setidaknya menguraikan dua hal yang penting: [1] jaminan akses ke pendidikan dan pengembangan keterampilan dan potensi lainnya dan [2] Jokowi berkomitmen meningkatkan peran serta pemuda dalam pembangunan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama.
Keberpihakan pada ekonomi kreatif dan generasi muda inilah yang bisa menjelaskan kenapa Jokowi menerima banyak sekali dukungan dari figur-figur yang menjadi idola atau mewakili generasi muda kreatif.
Nama-nama seperti Trio Lestari (Flenn Fredly, Sandy Sandhoro, Tompi), Slank, Marzuki Kill the DJ, Ello, /RIF, hingga Payung Teduh secara terbuka mendukung Jokowi. Ini menyempurnakan banyaknya rilisan lagu dan musik yang diciptakan secara cuma-cuma untuk mendukung pencapresan Jokowi. Atau simak bagaimana para seniman di Bandung beberapa waktu lalu menggelar acara melukis Jokowi.
Apa yang membuat hal itu bisa terjadi? Sederhana saja: Jokowi adalah pemimpin muda yang berjiwa muda dan mengerti apa kebutuhan anak muda. Apa itu kebutuhan anak muda? Jaminan adanya kebebasan kreatif, jaminan bahwa kreatifitas tidak akan dikekang, jaminan bahwa kreatifitas tidak dibelenggu.
Lihatlah bagaimana konser Lady Gaga “dibredel” FPI. Film “?” atau “Tanda Tanya” besutan Hanung Bramantyo juga dilarang penayangannya di televisi. Mereka juga mengancam film “Soekarno” besutan Hanung yang lain. Gramedia dipaksa FPI untuk membakar buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia”. Ini iklim teror yang tidak sehat bagi pengembangan ekonomi kreatif.
Jokowi bukan hanya akan presiden termuda (jika terpilih) sepanjang era sejarah Indonesia pasca reformasi, tapi Jokowi sendiri sudah lama membuktikan dirinya memang berjiwa muda dan pro-anak muda. Hampir semua kebijakan-kebijakannya, baik selama menjadi Walikota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta, sangat mendukung dan memungkinkan minat, hobi dan kreatifitas anak-anak muda bisa muncul secara maksimal.
Dari selera musik saja sudah kelihatan. Jokowi mungkin satu-satunya pejabat publik di seantero Indonesia yang paling metal. Selera musiknya sangat nge-rock, sangat energik dan jelas hanya bisa dimiliki oleh mereka-mereka yang berjiwa muda. Dukungan dan sokongan Jokowi pada acara seperti Rock In Solo atau Solo Jazz Festival mustahil bisa disangkal sebagai ekspresi pejabat publik yang sangat mendukung dan pro hobi, minat dan kreatifitas anak-anak muda.
Saat kelompok-kelompok intoleran menyuarakan penolakan terhadap konser Metallica di Jakarta, Jokowi bukan hanya menentangnya tapi bahkan datang sendiri dan menonton konser Metallica. Simak bagaimana dia mengaitkan konser musik metal dengan spirit merayakan kebebasan berekspresi: “Yang nonton nggak hanya diam. Berani mengeskprresikan diri dan itu bisa dipraktekkan dalam pekerjaan apapun. Kita harus bisa menghargai kebebasan berekspresi yang positif.”
Hal sama berlanjut saat Jokowi menjadi Gubernur DKI. Dia bukan hanya memperbanyak ruang-ruang publik, tapi juga merevitalisasi ruang-ruang publik yang selama ini terbengkalai dan tak terurus. Banyaknya ruang publik memudahkan dan memungkinkan anak-anak muda untuk melakukan berbagai kegiatan apa pun yang mereka inginkan.
Jika anda masih meragukan visi dan keberpihakan Jokowi pada anak muda dan jiwa angkatan muda, silakan cek berbagai kegiatan yang dibuat di era Jokowi. Dari mulai Kaki Lima Night Market, Jakarta Night Festival saat tahun baru, Jakarta Night Religius Festival saat Idul Adha, sampai dibukanya akses selebar-lebarnya pada pemanfaatan Monas sebagai sarana Pekan Raya Jakarta tandingan terhadap PRJ di Kemayoran yang mahal, elitis dan tak terakses oleh rakyat jelata.
Semua acara itu menjelaskan mengertinya Jokowi terhadap kebutuhan anak muda yang memang gemar dan biasa nongkrong, kongkow-kongkow dan bersosialisasi. Ada banyak orang, kelompok sampai pejabat publik yang justru mencurigai acara-acara kongkow. Mereka cenderung menganggap acara-acara seperti itu sebagai hura-hura yang tidak penting, dan kadang malah menggunakan dalil-dalil agama untuk mengekangnya.
Simak juga bagaimana Jokowi selalu mendukung pembangunan infrastuktur yang menyediakan layanan internet secara gratis. Dari mulai Tehcno Park, Taman Balekambang, sampai sepanjang Jl. Slamet Riyadi, misalnya, semua punya fasilitas internet gratis. Di Jakarta pun demikian, Jokowi sudah dan selalu mengupayakan adanya fasilitas layanan internet gratis di ruang-ruang publik seperti taman-taman.
Anak muda di era sekarang sangat lekat dan butuh internet. Internet menjadi kebutuhan primer. Sebagaimana acara kongkow dan nongkrong-nongkrong, ada sangat banyak orang yang juga mencurigai internet. Bagi mereka dengan pikiran sempit, internet kerap diidentikkan dengan prilaku buruk, seperti pornografi. Kebijakan sensor yang diterapkan oleh pemerintah sekarang, yang menterinya berasal dari partai yang mendukung Prabowo, menjelaskan dengan baik kecurigaan yang dalam terhadap internet.
Sensor secara pukul rata, seperti yang dilakukan pada layanan video vimeo, misalnya, juga menjelaskan betapa negara selama ini cenderung tidak percaya bahwa anak-anak muda punya kemampuan untuk memilah mana yang baik dan buruk. Anak muda dipukul rata sebagai kelompok sosial yang harus serba diatur, dikontrol dan dikendalikan.
Blokir terhadap vimeo ini juga menjelaskan kurang pahamnya negara terhadap pentingnya internet dalam industri kreatif. Ada banyak sekali film, klip dan materi-materi audio-visual yang bagus dan bermutu di layanan Vimeo. Ini referensi yang penting bagi para pelaku ekonomi kreatif, juga tempat yang baik untuk memajang karya-karya mereka.
Ekonomi kreatif, juga segala hal yang menjunjung tinggi kreatifitas, tidak akan pernah kompatibel atau nyambung dengan cara berpikir atau sikap-sikap intoleran yang serba demen melakukan sensor internet, intimidasi terhadap penayangan film, teror terhadap konser musik dan pembakaran buku.
Kebebasan sipil dan demokratisasi bukan hal yang patut dipertentangkan dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kebebasan sipil dan kesejahteraan bukanlah opsi yang harus saling meniadakan satu sama lain. Kebebasan sipil, kemerdekaan berekspresi dan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat adalah tugas konstitusional yang wajib dipenuhi oleh siapa pun yang memimpin negeri ini.
Anak muda, sebagai generasi yang jelas penuh dengan daya kreatif, harus sangat cermat untuk menjatuhkan pilihan. Jangan pilih capres yang tidak pro-kebebasan sipil dan ekonomo kreatif. Jangan pilih capres yang didukung oleh kelompok-kelompok intoleran yang sudah terbukti sering mengancam ekspresi dan karya-karya kreatif anak-anak muda.
x
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H