Mohon tunggu...
Rekam Jejak Capres 2014
Rekam Jejak Capres 2014 Mohon Tunggu... -

Arsip Artikel Pilihan Capres 2014

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gagal Golput Demi Momentum Memangkas Rantai Kekuasaan Masa Lalu

2 Juli 2014   18:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:49 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memutuskan rantai masa lalu sangatlah tidak mudah. Sudah 16 tahun reformasi berlalu, tapi sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang korup, despotik, dan menghalalkan segala cara masih saja bertahan. Pejabat dan elit-elit masa lalu bukan hanya masih bisa berpengaruh, tapi bahkan masih menduduki posisi tertinggi kepemimpinan Indonesia.

Estafet kepemimpinan Orde Baru itu masih berpeluang berlanjut 5 tahun lagi. Salah satu kandidat presiden bukan hanya nyata-nyata bagian dari kekuasaan dan bagian keluarga inti Orde Baru, tapi bahkan menjanjikan kembalinya jiwa Orde Baru yang korup lewat rencana menjadikan Soeharto sebagai pahlawan.

Setelah melewati 4 kali Pemilu, akhirnya baru kali ini Indonesia disodori alternatif kepemimpinan yang segar, sosok yang tak punya kaitan dengan masa lalu, pribadi yang tak punya hutang-piutang dan masalah di masa lalu: Joko Widodo.

Karir politiknya lahir pasca reformasi dan dia muncul bukan dengan menjual nama orang tua, om, paman, atau mertua. Dia meniti karir dari bawah, setangga demi setangga. Dia harus melalui itu semua karena dia tak dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarga elit kekuasaan yang bisa memberinya karpet merah untuk langsung naik ke pusat politik. Pada awal-awal karir politiknya, tak ada katabelece dari ayah atau mertua yang bisa membuatnya melesat dengan mudah. Dia harus merayap sedepa demi sedepa lewat kerja demi kerja, melalui prestasi demi prestasi.

Jokowi adalah wajah kebanyakan rakyat Indonesia: lahir dari keluarga biasa, tumbuh dalam keluarga yang bekerja keras untuk memperbaiki nasib, dan memasuki politik melalui tangga demi tangga, dari tangga terbawah. Jokowi bukan bagian dari elit oligarki lama Indonesia yang bisa memberinya karpet merah untuk langsung mentas di pusat panggung politik. Jokowi meniti semuanya dari tangga terendah. Seperti kebanyakan dari kita, seperti kebanyakan rakyat Indonesia.

Jokowi adalah perumpamaan atas demokrasi yang terbuka dan membuka pintu pada siapa saja yang memang punya prestasi, pada siapa pun yang punya kinerja. Jokowi adalah tanda bahwa seburuk-buruknya orang mengatai-ngatai reformasi, demokrasi macam inilah yang memungkinkan saya, kau, kami, kalian dan kita untuk muncul sebagai pemimpin. Siapa pun asal becus bekerja, siapa pun asal bisa kasih tunjuk prestasi, siapa pun asal benar-benar sanggup menjawab kebutuhan rakyat, maka dia bisa muncul sebagai pemimpin. Siapa saja, siapa pun. Walau bukan anak bupati, anak gubernur, anak menteri, anak jenderal, atau menantu presiden.

Melalui Jokowi, transisi kepemimpinan Indonesia benar-benar bisa dialihkan pada generasi baru. Sekali Jokowi terpilih sebagai presiden, maka generasi baru berikutnya akan bermunculan. Sekali Jokowi terpilih sebagai presiden, maka tak ada lagi kesempatan bagi sosok-sosok yang terkait dengan masa lalu untuk duduk di tahta kepresidenan. 5 tahun lagi, sosok-sosok masa lalu itu sudah terlalu tua, sudah semakin pikun, sudah habis digerogoti encok.

Tapi Jokowi – sekali lagi– juga sama seperti kita, sama seperti kebanyakan rakyat Indonesia: dia manusia biasa, yang tak bisa menyulap segalanya dalam waktu cepat, tanpa dibantu oleh kerja bersama kita semua. Jokowi mengakui kedhaifannya sebagai pribadi yang punya keterbatasan, karena dia memang bukan superhero, malaikat apalagi dewa. Jokowi adalah perumpamaan tentang kerja bersama, tentang tangan mengepal ke udara bersama-sama, tentang berbareng bergerak.

Sudah berkali-kali kita jatuh pada harapan akan pemimpin Ratu Adil yang bisa memerankan diri sebagai pemimpin agung serupa dewa penolong yang bisa menyulap segala hal. Cukup! Demokrasi adalah sistem yang mensyaratkan partisipasi. Demokrasi adalah sistem yang mengisyaratkan pentingnya kebersamaan. Demokrasi adalah sistem yang percaya bahwa pemimpin seharusnya bisa mendorong rakyatnya untuk sama-sama turun tangan dan menggulung lengan baju dan bukannya malah menjanjikan semua bisa dikerjakan seorang diri oleh sang pemimpin.

Bergantung dan menggantungkan diri pada sosok serba-wah dan serba-linuwih rentan menggelincirkan kita pada berhala kepemimpinan, pada kediktatoran yang menyamar dalam wajah ketegasan, bahkan pada kepemimpinan yang sewenang-wenang yang menyaru sebagai panglima perang. Sejarah Indonesia sudah mengajarkan kita pada harapan-harapan berlebihan yang berakhir dengan sedih dan penuh ratapan.

Jokowi adalah anti-tesis dari kepemimpinan yang memberhalakan presiden sebagai juru selamat dan merendahkan rakyat semata sebagai si pasrah yang tak bisa apa-apa. Jokowi mewakili semangat demorkasi partisipatoris yang mengajak bekerja bersama, melangkah bersama, dan berbareng bergerak.

Tentu saja tak ada kewajiban untuk memilih Jokowi dan tidak memilih juga bukan dan tak akan pernah menjadi tindakan dosa. Menjadi pemilih dalam Pemilu adalah hak, bukan kewajiban. Karena menjadi pemilih adalah hak, maka tidak menggunakannya juga adalah sebuah hak. Setiap hak boleh digunakan dan boleh juga tidak.

Tapi “memilih untuk tidak memilih”, kali ini, bisa jadi bukan tindakan yang terlalu pas. “Memilih untuk tidak memilih”, yang dalam sejarah politik Indonesia disebut Golongan Putih atau Golput, dalam sejarahnya adalah pernyataan TIDAK terhadap sistem politik yang korup, tertutup, dan despotik.

Semuanya bermula pada Pemilu 1971, Pemilu pertama di era Orde Baru. Rezim Soeharto saat itu hanya mengizinkan 10 partai saja yang berhak ikut Pemilu. Ini jumlah yang kecil dibanding Pemilu sebelumnya, Pemilu 1955, yang diikuti lebih dari 30 partai dan perseorangan. Apalagi jumlah 10 partai ini sepenuhnya ditentukan dan diseleksi oleh rezim Orde Baru. Pada Pemilu berikutnya, 1977, jumlah peserta Pemilu malah dikebiri hanya menjadi tiga saja.

Tak hanya itu, partai-partai yang diizinkan berkompetisi pada Pemilu 1971 juga tidak bebas sepenuhnya menentukan calon-calon anggota legislatifnya (caleg). Para caleg itu harus melalui pemeriksaan dan penelitian yang dilakukan oleh pemerintah. Partai Nasional Indonesia (PNI), misalnya, benar-benar diseleksi ketat daftar caleg-nya.

Pemerintah juga secara eksesif menunjukkan keberpihakannya pada peserta Pemilu bernama Golkar yang anehnya tidak mau disebut partai. Semua aparat negara, birokrasi, pegawai negeri sipil dan keluarganya, diarahkan hanya untuk memilih Golkar. Pemilu hanya berhenti sekadar ritual formal karena pemenangnya sudah bisa diketahui.

Banyak orang yang sadar bahaya sistem politik yang otoriter macam itu. Dari situlah lahir Golongan Putih. Mereka menyeruhkan memboikot Pemilu. Kata “putih” dari Golongan Putih diambil dari tindakan mencoblos bagian warna putih dalam surat suara, dan bukan mencoblos logo-logo partai yang warna-warni itu. Alasannya sederhana: kalau ikut mencoblos, sementara pemenang sudah ditentukan sebelumnya, maka pemilih sudah ikut melegitimasi kekuasaan degil Orde Baru.

Kini sistem politik mulai beranjak membaik, setidaknya membuka kemungkinan partisipasi yang lebih luas. Partai-partai dibebaskan muncul, siapa pun bisa menjadi caleg, bupati atau gubernur tanpa harus menunggu persetujuan Eyang di Cendana, Sang Mertua yang mau dipahlawankan itu. Belum sempurna, tentu saja, karena penguasa masih mungkin berbuat curang dan culas. Tapi keterbukaan sistem politik memungkinkan publik melawan, menentang dan memprotes kecurangan itu.

Kini, terbuka peluang untuk mengatakan TIDAK pada penerus kekuatan lawas yang dulu memaksa lahirnya Golput. Memutuskan Golput, dalam beberapa aspek, bisa jadi malah membiarkan kekuatan lama yang dulu justru menyebabkan lahirnya Golput.

Betapa tidak? Salah satu kandidat presiden itu sudah mengatakan bahwa demokrasi sekarang ini “tidak mencerminkan budaya Indonesia” — argumen yang dulu sering dipakai untuk melindas siapa saja yang menginginkan keterbukaan politik. Argumen bahwa demokrasi langsung itu “tidak sesuai budaya Indonesia” ini dulu dipakai untuk membenar-benarkan sistem politik yang tertutup, sistem yang hanya mengizinkan 3 peserta Pemilu saja, sistem yang mengharuskan aparat negara hanya memilih salah satu peserta saja.

Golput adalah hak. Tapi tidak ada salahnya, toh ini bukan paksaan melainkan hanya ajakan untuk merenungkan, untuk menghitung kembali: benarkah kita hendak melewatkan kesempatan di mana kekuatan masa lalu bisa kita papras rantainya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun