Jepang, januari 2019 udara di luar sedang minus 3 derajat, hal-hal baru yang dilihat hari ini adalah pikiran-pikiran yang selama ini hanya berkeliaran di dalam kepala. Salju yang berguguran lembut dan menerpa wajah, aroma musim dingin, hingga membuat manusia salju yang selama ini hanya dinyanyikan sembari tertawa. Tidak ada jarak kali ini, antara hayalan dengan kenyataan. Semua itu nyata hari ini ada didepan mata dan dapat disentuh.
Rasanya tidak ingin pulang sebenarnya. Sepuluh hari disini saya bisa tidur tepat waktu, udara super dingin, suasana hening yang amat tenang membuat hal itu terasa nyaman. Insomnia yang hadir selama tiga tahun ini sangat menganggu sebenarnya, tidur pukul tiga dini hari dan bangun kembali di jam lima pagi membuat jadwal tidur benar-benar berantakan. Seolah tidur empat hingga lima jam saja sudah cukup.
Jauh dari tempat pulang serta sibuk mengatur agenda mengunjungi tempat-tempat wisata, di negara yang jadwal transportasi umumnya sangat padat ini membuat saya melupakan banyak hal, banyak berpikir itu kadang-kadang menyusahkan memang, pikiran-pikiran dikepala saya membuat saya susah tidur.
Teman-teman bilang mungkin saya belum beranjak dari masa lalu. Padahal saya sudah jauh pergi dari masa lalu, dari tahun-tahun dimana saya mengalami banyak sekali kehilangan orang-orang yang saya sayangi. Hanya saja selama satu tahun insomnia di tahun 2017 membuat sebuah pola yang sulit dirubah pada tahun-tahun berikutnya.
Hari itu beberapa jam sebelum tidur, saya main ke kedai kopi di daerah Kyoto. Saya bertemu seorang wanita bernama Stela, kami mengobrol banyak, salah satu topiknya adalah insomnia. Stela itu cantik ya, seperti kebanyakan wanita cantik di Jepang saat musim dingin, pipi mereka memerah secara alami, seperti di series drama korea mereka bisa sangat manis dan cantik secara bersamaan.
Kata Stela dia juga mengalami insomnia dan sedihnya dia bilang dia belum bisa moveon dari kekasihnya, dia masih cinta kekasihnya, hal itulah yang membuatnya sulit tidur. Lalu saya merenung dalam perjalanan pulang dari kedai kopi hingga apartemen saya.
Apa benar karena perasaan itu masih ada, perasaan yang sudah diambil paksa oleh takdir dan di maklumi dengan baik oleh akal sehat. Ucapan Stela mengaung dikepala saya, ia bergema bahkan ketika melewati gang-gang yang dipenuhi kedai sake dan ramen, "apa benar..."
Sebelum tidur saya pergi sebentar ke belakang apartemen untuk melihat cucian saya, apakah sudah kering atau belum. Sambil menunggu beberapa menit mesin pengering selesai saya membuat teh hangat, membawanya keluar dan bersender di dinding sembari melihat langit dan  deretan mesin cuci. Saya amat yakin, rasa-rasa itu sudah tidak adalagi, jika adapun  iya hanyalah sebatas kenangan yang terlalu indah untuk dilupakan selamanya.
Saya ingat benar kata-kata terakhirnya ketika meyakinkan saya untuk berpisah ; "Cinta yang ada dulu bukanlah cinta palsu, itu nyata, hanya saja manusia memang terus tumbuh, perasaan juga demikian" Ya, demikianlah perasaan iya tidak konstan, iya dinamis selalu berubah-ubah secepat angin yang berhembus.
Saya lalu mengangkat baju-baju saya kedalam, melipatnya menjadi bagian-bagian kecil agar mudah di masukan kedalam  tas saya. Lampu saya matikan, mesin pemanas ruangan saya set di full 30 derajat. Sebelum tidur saya tersenyum sendiri, "Ahh.. Patah hati ternyata juga bisa sangat menyenangkan"
Jepang, Januari 2019