Mohon tunggu...
Reisya Zahra Adhitra
Reisya Zahra Adhitra Mohon Tunggu... Mahasiswa - undergraduate student

Political Science

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Feminisme dan Keterwakilan Perempuan dalam Bidang Politik di Indonesia

7 Juni 2021   23:20 Diperbarui: 8 Juni 2021   06:04 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Najmah dan Khatimah Sai'dah dalam bukunya yang berjudul Revisi Politik Perempuan (2003:34) menyebutkan bahwa feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan yang terjadi baik dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di masyarakat serta adanya tindakan sadar akan laki-laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut secara leksikal. Sedangkan, menurut Mansour Fakih (1995) dalam bukunya yang berjudul Menggeser Konsepsi Gender Dan Tranformasi Sosial, feminisme adalah kesatuan gerakan sosial dan kesadaran yang saling berkesinambungan, dengan berdasarkan pada beragam tindak kekerasan yang menimpa kaum perempuan, seperti penindasan dan pengeksploitasian. Selain itu juga disertai dengan usaha dalam mengatasi kasus penindasan dan pengeksploitasian kaum perempuan.

Dari pendapat-pendapat tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa feminisme merupakan gerakan dan paham yang terfokus mengenai perwujudan kesetaraan gender dalam politik, ekonomi, budaya, ruang pribadi dan ruang publik dimana hal tersebut dapat dirasakan perempuan atau laki-laki maupun sebaliknya. Feminisme muncul dilatarbelakangi oleh ketimpangan atau kesenjangan yang dirasakan oleh perempuan terhadap laki-laki, ataupun sebaliknya, dalam tatanan masyarakat sehingga muncul ideologi tersebut yang berguna untuk menghilangkan ketidakseimbangan, ketimpangan, ataupun kesenjangan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, istilah feminisme sering disalahpahami dengan ideologi atau gerakan yang dilakukan perempuan hanya untuk menuntut emansipasi kaum perempuan, dan hanya menjatuhkan atau merendahkan kaum laki-laki saja, padahal feminisme sendiri mengacu pada gerakan yang dilakukan oleh perempuan atau laki-laki untuk memperjuangkan hak-hak mereka secara adil.

Membangun masyarakat sipil sama dengan memperjuangkan ruang masyarakat, termasuk semua masyarakat Indonesia baik laki-laki dan perempuan. Di dalam sistem yang terjadi dari dahulu hingga sekarang, kebijakan memberlakukan penempatan posisi perempuan hanya sebagai orang kedua setelah posisi laki-laki. Tingkat keikutsertaan perempuan yang rendah di dalam parlemen menyebabkan bermacam kepentingan perempuan kurang terpenuhi dalam hal keputusan politik. Karena beberapa keputusan politik yang dibentuk lebih condong bersifat maskulin dan kurang berspektif gender, sementara lebih banyak keputusan politik yang dibentuk selalu mengikutsertakan perempuan sebagai sasaran. Melihat kebelakang, keterwakilan perempuan di bidang politik terpojokkan, jumlah perbandingan keterwakilan perempuan masih sangat rendah di bandingkan laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena terdapat patriarkisme yang masih menyudutkan perempuan. Faham budaya konstruktif sosial-budaya yang di anut kala itu menempatkan Perempuan seolah-olah hanya boleh mengurus persoalan domestik saja.

Khalayak umum terkadang memandang kekuasaan sangat erat kaitannya dengan laki-laki sifat politik maskulin yang mengesampingkan kelas perempuan, tidak boleh mengambil peran untuk mengatur kesejahteraan, kesehatan maupun hak hidup orang banyak membuat asing perempuan dan cenderung trauma untuk terjun di bidang politik. Saat ini maskulinitas membuat perempuan menghindari kekuasaan dan hal-hal yang berbau politik maskulin. Masyarakat tidak siap membiarkan perempuan membangun kualitas kekuasaan yang maskulin. Hal tersebut membuat anak perempuan tidak memiliki gambaran sesosok pemimpin perempuan karena kekuasaan selalu direpresentasikan dengan laki-laki yang maskulin. Disaat perempuan menjadi pemimpin atau berpartisipasi dalam kegiatan politik, mereka akan kesulitan untuk mengutarakan dirinya secara kompeten. Mulia dan Farida mengatakan bahwa selama kekuasaan identik dengan maskulinitas, perempuan tidak akan mudah untuk terlibat di bidang kekuasaan. Jika gambaran maskulin diubah, maka perempuan akan merasa betah di dunia kekuasaan dan politik. Perempuan tidak perlu mengubah sifatnya yang feminitas menjadi maskulin.

Bentuk kesetaraan gender dapat diimplementasikan dalam terwakilkannya perempuan dalam politik. Dengan adanya keterwakilan politik, peran perempuan dapat di tingkatkan untuk membangun negara. Dengan adanya perempuan dalam keterwakilan politik juga bukan untuk mengoreksi laki-laki atau anti terhadap laki-laki, pada hakikatnya perempuan tidak memandang laki-laki tidak lebih hebat dari perempuan tetapi perempuan juga tidak menganggap rendah laki-laki. Sebagai kaum feminisme, perempuan percaya bahwa setiap gender memiliki peran yang setara dan seimbang dalam politik, tetapi perempuan juga tidak meninggalkan peran mereka sebagai seorang istri dan ibu.

Di Indonesia sendiri, UU No. 10 Tahun 2008 mewajibkan partai politik untuk menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam Pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap 3 bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bakal calon legislatif perempuan. Namun, partisipasi perempuan di bidang politik masih sangat rendah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pernyataan dari Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda, Kemenko PMK, Femmy Eka Kartika Putri yang mengatakan bahwa partisipasi perempuan di bidang politik masih dibawah 30%. Menurutnya, peningkatan partisipasi perempuan sangat penting agar saat pengambilan keputusan politik akan lebih akomodatif dan substansial. menurut data Inter Parliamentary Union (IPU), seperti dikutip Scholastica Gerintya (2017) di level ASEAN Indonesia menempati peringkat keenam terkait keterwakilan perempuan di parlemen. Sementara di level dunia internasional, posisi Indonesia berada di peringkat ke-89 dari 168 negara, jauh di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan. Selain itu, menguatkan demokrasi yang senantiasa memberikan gagasan terkait perundang-undangan pro perempuan dan anak di ruang publik. Hal-hal seperti tindakan protes akan kesetaraan gender juga akan berkurang jika memang partisipasi perempuan memang seimbang dengan laki-laki.

Rendahnya keterwakilan perempuan di ranah politik adalah karena masih menguatnya paradigma patriarki di Indonesia. Pola pikir patriarki cenderung memposisikan perempuan di bawah laki-laki. Perempuan ditempatkan sebagai pihak yang tidak mempunyai kemandirian di segala hal, salah satunya politik. Kepercayaan masyarakat Indonesia dengan tradisi-budaya dan agama yang menyebabkan patriarkisme masih di Indonesia termasuk bidang politik. Selanjutnya adalah institusi politik biasanya belum sepenuhnya mempercayai perempuan dan masih menganggap posisi perempuan dibawah laki-laki. Contohnya, dalam pemilihan capres biasanya masyarakat Indonesia lebih memilih calon presiden laki-laki karena menganggap laki-laki itu lebih tegas dan lebih berwibawa dibandingkan capres perempuan.

Kesimpulan dari pembahasan yang dijelaskan diatas, maka kami menarik kesimpulan bahwa peran perempuan dan feminisme dalam politik adalah salah satu wujud mendukung feminisme dan kesetaraan gender, dimana laki-laki dan perempuan ada di posisi yang sama. Di Indonesia, pemerintah mendukung feminisme keterwakilan perempuan dalam bidang politik dengan cara salah satunya adalah mengeluarkan UU No. 10 Tahun 2008 mengharuskan partai politik untuk mengikut sertakan 30 persen representatif perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus diwujudkan partai politik supaya bisa ikut di Pemilihan Umum. Aturan lain tentang representasi perempuan dijelaskan dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap 3 bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bakal calon legislatif perempuan. Meski keterwakilan perempuan di wilayah politik praktis sudah diwujudkan sedemikian rupa oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan, akan tetapi hasilnya masih jauh dari kata memuaskan.

Menurut kami, walaupun tingkat partisipasi perempuan dalam politik masih terbilang rendah, namun dengan adanya representasi politik sebagai wujud emansipasi wanita yang merepresentasikan fragmen dari Bangsa dan Negara yang ikut memperjuangkan dan mencerdaskan kehidupan Bangsa. Hadirnya perempuan dalam keterwakilan politik juga bukan untuk mendikte laki-laki atau anti terhadap laki-laki. Prinsipnya perempuan tidak menganggap laki-laki tidak hebat dari perempuan, tapi juga perempuan tidak merendahkan laki-laki. Kami berpendapat bahwa keterwakilan perempuan dalam bidang politik harus dengan porsi seimbang tanpa melupakan kodrat seorang perempuan.

Untuk menghentikan dominasi laki-laki dalam dunia politik nasional, salah satu upaya yang dilaksanakan yaitu menciptakan organisasi gerakan perempuan, dimana segala lapisan masyarakat turut serta dan juga terlibat. Pembentukan organisasi ini sangatlah penting dikarenakan kecenderungan disintergrasi gerakan perempuan yang terjadi pada saat ini sebab media kerap kali membedakan perihal isu maupun wacana terkait gerakan perempuan. Dalam hal lain, dibutuhkannya sebuah gerakan yang memicu kesadaran publik akan pentingnya praktik politik terkait keadilan gender. Publik masih memandang perempuan sebagai makhluk domestik yang kurang pantas dengan dunia politik mutlak harus dihentikan ditambah dengan tafsir agama yang menempatkan perempuan kedalam strata sosial dibawah laki-laki dan membuat kepemimpinan identik dengan maskulinitas.

Daftar Pustaka

Detik.com. (2018, 20 Agustus). Keterwakilan Perempuan dalam Politik. Diakses pada 05 Juni 2021, dari Detik

Kumparan.com. (2017, 22 Desember). Perempuan dan Politik dalam Perspektif Feminisme dan Kesetaraan Gender. Diakses pada 06 Juni 2021, dari Kumparan

Retnani, Siti Dana Panti. (2017). Feminisme dalam Perkembangan Aliran Pemikiran dan Hukum di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum Principium, Vol. 1 No. 1, hal. 98-109.

Rohmawati, Alivatu. (2018). Feminisme Liberal Dalam Film Kartini. Skripsi. Diterbitkan. Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Wahyudi, Very. (2018). Peran Politik Perempuan dalam Persfektif Gender. Politea: Jurnal Politik Islam, Vol. 1 No. 1 (Jan-Jun) 2018, hal. 63-83.

Zainal, Asliah. (2015). Politik Berjenis Kelamin Laki-Laki? (Keterwakilan Perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara pada Pemilu 2014). Vol. 10 No. 1, Juli 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun