Paska kejatuhan dinasti Umayyah, kepemimpinan umat beralih kembali kepada para pemimpin dari satu marga yang sama dengan Rasullah SAW yaitu bani Hasyim. Dinasti Abbasiyah berdiri pada tahun 750 M oleh seorang lelaki yang terkenal dermawan, tangguh, taat, namun masih mempunyai dendam yang sangat kuat dengan bani Umayyah, ialah bernama Abul Abbas Ash-Shaffah atau Abul Abbas sang penumpah darah. Masa-masa transisi kepemimpinan umat antara dua dinasti ini tentu penuh gejolak. Sebagai kelompok yang masih terbilang minoritas saat Umayyah tengah berkuasa, para pengikut atau lebih tepatnya para pelopor bani Abbasiyah telah menyusun kekuatan secara sembunyi-sembunyi. Pergerakan bawah tanah mereka setidaknya sudah dapat terbaca semasa masa khalifah Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah ke-delapan dinasti Umayyah.
Sudah menjadi fakta umum bahwa di masa Umar bin Abdul Aziz atau Umar II toleransi memiliki tempat yang lebih luas, kebaikan dari toleransi yang beliau berikan menjadi salah satu faktor yang memberikan kesempatan potensial bagi Abdullah bin Abbas dan anaknya Muhammad bin Ali untuk melancarkan propaganda yang bertujuan akhir untuk menurunkan kepemimpinan dari singgasana dinasti Umayyah, menggantinya dengan dinasti Abbasiyah. Beliau memulai gerakan-gerakan kecil dari kota Humaimah (kini termasuk di kawasan Uni Emirat Arab), disini pula beliau mendapat simpatisan dari para pengikut Ali.
Dinasti Umayyah tidak akan bisa dijatuhkan tanpa ada perlawanan yang terbilang terstruktur, rapi, dan masif. Marwan bin Muhammad sebagai khalifah terakhir dari Umayyah tahun 750 M. akhirnya tidak lagi bisa membendung kekuakatan perlawanan dari militan-militan yang mempelopori berdirinya dinasti Abbasiyah. Saking terpojoknya, Marwan menyelamatkan diri hingga ke Mesir, walaupun akhirnya beliau terbunuh oleh paman Al-Abbas, Shalih bin Ali di Gusir, Al Fayyum, suatu kota di Mesir di tahun yang sama (Junaidi, 2015).
Pejuang generasi pertama dinasti Abbasiyah memainkan peranan diplomatis yang cemerlang dan licin hingga bisa mengumpulkan kepingan basis-basis oposisi Umayyah yang berserakan di berbagai kota. Kekuatan oposisi yang tadinya belum terhimpun, kini mengumpulkan kekuatan dibawah komando pelopor Abbasiyah. Strategi inilah dinilai dapat menggangu stabilitas daerah dan pada akhirnya menumbangkan kekhalifahan yang tengah berkuasa. Maka kita mengetahui, Abbasiyah dalam masa menyongsong kekuasaanya memiliki tiga pusat kegiatan untuk menyusun kekuatan di berbagai kota, yaitu Humaimah, Kufah, dan Khurasan dengan fungsi dan kebutuhan yang berbeda.
Markas pusat pergerakan berada di Humaimah, pertemuan kader-kader dan aktor-aktor propaganda diadakan di Kufah, dan Khurasan menjadi wilayah operasi terbesar untuk melancarkan aksi dan menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Masing-masing kota adalah kota yang mayoritas masyarakatnya memilih untuk beroposisi dengan dinasti Umayyah, hal ini membuat pergerakan Abbasiyah nampak mudah. Disamping itu, elemen lain yang menambah kekuatan kubu Abbasiyah ialah orang-orang Mawali atau orang-orang non-Arab yang merasa mendapat perlakuan sebagai masyarakat  kelas dua semasa Dinasti Umayyah.
Gerakan pendiri dinasti Abbasiyah mulanya berkampanye di balik layar alias secara diam-diam, mengingat mereka masih belum ada basis kekuatan bersenjata yang mampu menandingi militer Umayyah. Diplomasi mereka memanfaatkan kepiawaian para pengkhutbah dan figur-figur tertentu untuk menggiring opini publik. Terbukti usaha mereka berhasil, dukungan untuk membangun dinasti baru disambut oleh masyarakat biasa, petinggi daerah, dan panglima perang. Usaha ini membuahkan hasil dengan bergabungnya Abu Muslim al-Khurrasani ke dalam barisan, sejak Abu Muslim menyatakan untuk setia membangun pondasi-pondasi awal bani Abbasiyah, barulah gerakan ini berani bergerak mengangkat senjata.
Terdapat beberapa tokoh yang bertugas di medan masing-masing untuk mengadakan pemberontakan demi terwujudnya dinasti Abbasiyah. Abu Muslim tetap dipercayakan memimpin pasukan di wilayah Khurasan, kelompok Mansur, Isa bin Musa bin Muhammad, dan Abdullah bin Ali menggerakan pasukan di daerah Yordania, Palestina, Kufah, dan Damaskus. Semuanya saling terkoordinasi dan dibawahi oleh satu komando besar, ialah Abul Abbas Ash-Shaffah sebagai otak dan pemimpin tertinggi perlawanan sekaligus salah satu aktor sentral yang mendirikan Dinasti Abbasiyah.
Poin terakhir yang penting untuk kita pelajari dari strategi Abbasiyah untuk membentuk kekuasaan baru ialah dengan menerapkan strategi politik bersahabat. Secara publik dan umum, mereka memperlihatkan tingkah laku yang bersahabat dengan segala pihak, termasuk dengan orang-orang yang berada di lingkaran pemerintahan agar oponen-oponen bani Abbasiyah menganggap tidak ada masalah. Jelas, bani Abbasiyah berhasil mengelabui mereka. Rupanya, untuk memuluskan rencana berjalan sesuai yang diharapkan, seseorang perlu membuang tingkah laku yang tidak bersahabat kepada pihak lawan agar rencanan sebenarnya dapat direalisasikan dengan sempurna. Begitupula bagi seorang diplomat, walau sebenarnya posisi negara yang dia wakili sedang dalam keadaan bertendensi tinggi dengan negara lawan bicaranya, dia tidak boleh memperlihatkan sikap ketidaksukaanya. Karena dengan memperlihatkan prilaku yang tidak mengenakkan lawan bicara adalah pintu masuk seorang tersebut gagal mencapai kepentingannya.
Diplomat juga harus bisa memenangkan hati komunikannya dengan mengedapankan identitas orang lain, meletakkan kaki di sepatu orang agar keinginannya mendapat persetujuan. Dari kasus tersebut, bani Abbasiyah sengaja berjuang menggunakan nama ahlul bayt untuk menarik perhatian dari para simpatisan pendukung Ali atau kelompok Syiah. Maka tidak heran, koalisi Abbasiyah berkomposisi barisan para pendukung Ali (Syiah) yang terbilang lumayan besar kuantitasnya, barisan Mawali atau orang non-Arab yang merasa diintimidasi oleh Bani Umayyah, dan tentu kelompok masyarakat pendukung yang telah dipegang di beberapa titik kota.
Referensi:
Junaidi, E. (2015). Gerakan Revolusi Abbasiyah Tahun 747 M. Diambil kembali dari digilib.uinsby.ac.id: http://digilib.uinsby.ac.id