Untuk itu, terdapat dua orang kandidat agar diupayakan untuk berimbang. Abu Bakar meminta Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai perwakilan dari Quraisy yang tergolong paling awal masuk Islam dan bereputasi tinggi agar maju untuk dipilih siapa yang berhak menjadi Pemimpin dan Perdana Menteri.
Dua orang petinggi kaum Anshar , yaitu Zaid bin Tsabit dan Basyir bin Sa'ad menyambut baik ucapan Abu Bakar dan segera menyerukan kepada orang-orangnya agar menyudahi perselisihan.
Menariknya, dua nominasi yang diajukan Abu Bakar malah berbalik mendukung penuh Abu Bakar sebagai pemimpin, mereka sangat yakin Abu Bakarlah orang yang tepat karena dia lebih dekat dan sering bersama Rasulullah ketika berada di gua Tsur, pernah memimpin shalat saat Rasulullah masih hidup, dan orang pertama yang menyambut Rasullah berdakwah dan memeluk islam tanpa ada keraguan padanya.
Lantas, Umar dan Abu Ubaidah segera meminta Abu Bakar untuk memberikan tangannya agar keduanya bisa menyatakan sumpah setia (bai'at) kepadanya. Sebelum mereka, ternyata Basyir bin Sa'ad telah mendahului sumpah setianya kepada Abu Bakar. Setelah itu, segenap suku-suku berbondong-bondong menyatakan sumpah setia mereka kepada orang pemimpin pertama setelah kepergian Rasulullah SAW.
Krisis suksesi telah berhasil dilewati oleh umat muslim. Terbukti kecerdasan seorang pemimpin untuk menenangkan situasi adalah hal mutlak. Satu hal yang bisa dijadikan pelajaran ialah, seorang diplomat atau perunding harus bisa mengolah kata dan menyelesaikan masalah tidak hanya bertumpu dengan emosional, tapi harus berimbang dengan menggunakan sisi rasional.
Jika diperhatikan, kaum Anshar saat itu dikuasai oleh pengaruh emosional dengan mengatakan bahwa darah mereka sudah banyak tumpah untuk kemajuan Islam, melalui mata pedang mereka tertanamlah keimanan-keimanan. Perasaan bahwa apa yang telah mereka korbankan harus diganti dengan posisi jabatan, bahwa segala penderitaan dan kepayahan mereka ketika berjuang mesti dibalas dengan tampuk kekuasaan.
Abu Bakar tampil memukau disebabkan dia bisa mengkombinasikan sisi rasional dan emosional juga. Abu Bakar berhasil memahami, bahwa secara rasional dan realita orang Quraisy tidak akan mematuhi pemimpin non-Quraisy, jika hal ini terjadi, perpecahan ditubuh umat tidak akan terelakkan lagi.
Kemudian dia berbicara dari hatinya yang paling dalam dengan mengatakan bahwa mengangkat pemimpin dari Quraisy sungguh bukan berarti mengingkari atau mengkhianati perjuangan dan pengorbanan kaum Anshar, namun hal itu dilakukan untuk keselamatan dan kesatuan umat yang diharapkan tetap solid kohesivitasnya setelah kepemimpinan Rasulullah.
Perundingan tersebut menghasilkan keuntungan di kedua pihak. Saking terpercayanya Abu Bakar, malahan dia yang balik dikuatkan posisinya agar memimpin umat. Begitulah, ketika seorang diplomat telah dipandang sangat dipercaya dan mempunyai integritas tinggi, apa yang ia usahakan bisa terakomodasi dan orang menaruh kepercayaan padanya bahkan lebih dari percaya kepada diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H