Sebelum mengulas pertanyaan di atas, saya akan menyampaikan dasar pemikiran dan line of argumentsaya dengan maksud agar tulisan ini tetap berimbang dan rasional. Hal ini didorong pula oleh kapasitas saya sebagai akademisi yang dituntut untuk berpikir kritis, komperhensif dan obyektif dalam menganalisa suatu permasalahan.
Ada 3 (tiga) hal yang menjadi faktor krusial dalam menjawab pertanyaan di atas, yaitu sistem politik, penegakan hukum dan mentalitas aparatur Negara. Saya berargumen bahwa selama sistem politik, penegakan hukum dan mentalitas aparatur Negara belum dibenahi secara signifikan, maka siapa pun yang menjadi presiden atau pemimpin di Negara ini pastilah akan begitu-begitu saja (kalau tidak mau dibilang gagal dalam memenuhi janji-janji kampanyenya). Argumen ini sebenarnya sudah pernah saya ungkapkan dalam tulisan saya sebelumnya. Namun kali ini saya mencoba untuk mengelaborasi argumen tersebut dihadapkan dengan Pemerintahan Jokowi saat ini.
Sekarang kita akan membahas satu per satu dimulai dari sistem politik. Sebagaimana diketahui, sistem multi partai yang dianut Negara kita saat ini telah menimbulkan kompleksitas yang bagaikan buah simalakama bagi siapa pun yang menjadi presiden. Mengapa? Karena di satu sisi, presiden tentu berusaha melakukan yang terbaik untuk membuktikan janji-janji kampanyenya, namun di sisi lain hal tersebut seringkali berbenturan dengan kepentingan politik dari parpol-parpol koalisi atau bahkan para elit politik yang ada. Parpol di Negara ini terlalu banyak sehingga kepentingannya pun beraneka ragam. Sungguh mustahil bagi seorang presiden untuk mampu mengakomodir sekian banyaknya kepentingan tersebut. Hal ini tentu berbeda jika parpol di Negara kita hanya ada 2 atau 3 saja.
Sangat disayangkan bahwa bangsa ini seolah tidak belajar dari sejarah tahun 1955, dimana saat itu terdapat banyak sekali parpol sehingga menimbulkan berbagai keruwetan politik yang berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada perkembangan selanjutnya, secara bertahap parpol-parpol tersebut dikurangi bahkan ada yang dilebur menjadi satu parpol sehingga pada zaman Orde Baru (Orba) terdapat tiga Parpol saja, yaituPartai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya. Artinya, pada masa Orde Baru sebenarnya para pemimpin saat itu telah menyadari bahwa keberadaan parpol yang minimalis akan memberikan ‘kenyamanan’ khusus sehingga memudahkan pemerintah dalam menjalankan kebijakan dan program-programnya.
Pertanyaannya adalah, mengapa pemimpin yang sekarang seolah mengulangi kesalahan yang sama? Mengusung kebebasan berorganisasi, demokrasi dan reformasi, sesungguhnya bangsa ini telah terjatuh dalam lubang yang sama. Memang, rencananya parpol kontestan Pemilu akan terus dikurangi berdasarkan Electoral Threshold. Namun nampaknya rencana ini banyak mengalami tarik ulur sehingga dalam kurun waktu 16 tahun sejak reformasi 1998, Negara ini masih memiliki 12 parpol plus 3 partai lokal yang berhak mengikuti Pemilu. Bandingkan dengan rejim Orba yang berhasil mereduksi parpol dari 172 menjadi 3 parpol hanya dalam waktu 10 tahun saja (Mohon maaf, saya tidak bermaksud mengagung-agungkan rejim Orba). Ini memang bukan kesalahan Jokowi seorang. Namun, dengan situasi ini Jokowi bagaikan the right man at the wrong time.
Dengan komposisi tersebut, praktis tidak ada satu pun parpol yang dominan sehingga koalisi menjadi hal yang mutlak dilakukan demi tercapainya tujuan (baca: kekuasaan). Konsekuensi dari koalisi adalah keharusan untuk mengakomodir kepentingan parpol yang tergabung di dalamnya. Dan di sinilah letak penyebab mengapa pemerintahan Jokowi nampaknya akan begitu-begitu saja.
Sedikit mengulas Presiden Jokowi jika dibandingkan mantan Presiden SBY, posisinya adalah kurang menguntungkan atau lemah. Mengapa? SBY hanya perlu berpikir bagaimana mengakomodir kepentingan parpol-parpol pengusungnya seperti PKS, Golkar, PAN dan lain-lain tanpa perlu berpikir banyak tentang Partai Demokrat sebab sebagai Ketua Dewan Pembina, SBY memiliki otoritas terhadap Partai Demokrat. Apa kata SBY, itulah yang dilakukan oleh para kader Partai Demokrat.
Hal ini tentu berbeda dengan Jokowi yang statusnya adalah ‘petugas partai’. Di samping harus berpikir tentang cara mengakomodir kepentingan PKB, Nasdem, Hanura dan PPP, beliau juga harus ‘pandai-pandai’ menempatkan diri agar tidak berbenturan dengan ‘titipan’ Sang Ibu Suri. Hal ini dapat terlihat jelas dalam penyusunan kabinet kerja dan jabatan-jabatan strategis lainnya seperti Kajagung, Kapolri, Ketua KPK dan sejenisnya. Dengan demikian, dapat kita pahami mengapa Presiden Jokowi terkesan plin-plan seperti sewaktu membuat pernyataan tentang perampingan kabinetnya, yang ternyata pada pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan kabinet SBY.
Faktor yang kedua adalah masalah penegakan hukum. Belakangan ini kita kembali dihebohkan oleh drama persidangan Nenek Asyani yang sampai harus diseret ke pengadilan hanya karena mencuri kayu gelondongan. Hal ini sungguh kontras dengan para mafia illegal logging yang masih berkeliaran bebas tanpa tersentuh hukum. Tidaklah berlebihan jika banyak kalangan menilai bahwa hukum di Negara ini “tajam ke bawah namun tumpul ke atas”.
Lantas apa hubungannya dengan Pemerintahan Jokowi? Dalam berbagai kampanyenya, Jokowi jelas-jelas menyatakan komitmen untuk menegakkan hukum secara konsisten termasuk pula pernyataan perang terhadap korupsi. Saat inilah komitmen tersebut dipertanyakan, apalagi ketika Menkumham Yasonna Laoly pada saat yang hampir bersamaan justru malah terlihat ‘bersemangat’ dalam mengusulkan konsep remisi bagi para koruptor. Memang, Yasonna adalah kader PDIP (parpolnya Presiden Jokowi). Terlepas dari berbagai macam kepentingan politik yang ‘diemban’ Yasonna, komitmen Pemerintahan Jokowi untuk menegakkan hukum, memerangi korupsi sekaligus menunjukkan keberpihakannya pada rakyat kecil menjadi tanda tanya besar. Momentum ini sekaligus juga menjadi ujian apakah hukum di Negara ini memang “tajam ke bawah namun tumpul ke atas”.
Fenomena ini jelas berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu indikator keberhasilan dari suatu Negara adalah jika hukum dapat ditegakkan dengan sebaik-baiknya. Namun jika hukum dapat dibeli atau diintervensi, maka yang terjadi adalah hukum rimba. Jika itu yang terjadi, maka gambaran Somalia, Afganistan atau Negara-negara gagal lainnya akan secara cepat melekat pada Negara kita. Dan konsekuensinya tentu sangatlah berat bagi kita semua. Bukan hanya terisolir dari dunia internasional, namun masalah-masalah lain seperti gangguan keamanan, separatisme dan sebagainya akan berpotensi terjadi. Oleh karena itu, Pemerintahan Jokowi perlu membuktikan keseriusannya dalam menegakkan hukum secara konsisten.
Pertanyaannya sekarang, sudahkah Pemerintahan Jokowi menegakkan hukum secara konsisten? Kalau mau dijawab, pertanyaan ini bisa menghabiskan satu buku tersendiri. Namun dengan adanya contoh kasus di atas, rasa-rasanya kita mampu menjawab gambaran umum tentang penegakan hukum di Negara ini. Yang jelas, Negara ini masih belum mampu memberantas mafia peradilan, skandal aparat hukum maupun konflik antar institusi hukum. Malangnya, hal-hal tersebut diduga memiliki keterkaitan juga dengan kepentingan politik. Dengan demikian, terjawab pula satu lagi faktor penyebab mengapa Pemerintahan Jokowi nampaknya akan begitu-begitu saja.
Faktor yang ketiga adalah mentalitas aparatur Negara. Saat ini, diakui atau tidak mentalitas bangsa Indonesia telah berada pada tahap yang sangat memprihatinkan. Nilai-nilai negatif seperti individualisme, hedonisme, radikalisme bahkan perilaku barbaric semakin merajalela tanpa bisa dihentikan. Nilai-nilai luhur warisan nenek moyang seperti gotong royong, tenggang rasa/tepo sliro, kesederhanaan, sopan santun dan saling menghormati seolah makin luntur seiring dengan perkembangan zaman.
Agama yang sejatinya berfungsi sebagai penuntun manusia untuk berperilaku yang baik telah disalahgunakan menjadi alat justifikasi kekerasan. Kementerian Agama yang seharusnya menjadi pengarah masyarakat dalam melaksanakan ajaran agama justru memberi contoh yang buruk melalui tindakan oknum aparaturnya yang terlibat korupsi pengadaan Al-Qur’an. Ini barulah contoh kecil dari perilaku korup aparatur Negara kita. Kalau mau dirinci, tentu masih sangat banyak contoh lainnya yang berdampak pada turunnya wibawa pemerintah sekaligus bobroknya kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara umum, dapat dikatakan bahwa mental korup inilah yang menjadi biang kerok segala kerumitan dan kegaduhan yang ada di Negara ini.
Sepengetahuan saya, mentalitas itu dibina melalui empat aspek yang meliputi pembinaan mental rohani, ideologi, tradisi kejuangan dan psikologi. Pembinaan yang mirip seperti ini sudah pernah dilaksanakan pada era Orde Baru melalui apa yang disebut dengan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Penataran ini dilaksanakan pada semua strata/level, baik di lingkungan pendidikan formal maupun lingkungan birokrasi. Pada saat itu, kita mengenal adanya pola penataran mulai dari 45 jam, 100 jam dan sebagainya.
Setelah reformasi, Penataran P-4 dihapuskan karena dianggap identik dengan rejim Orde Baru. Saya berpendapat, pada tahap inilah terjadi proses lunturnya mentalitas dan karakter bangsa Indonesia karena setelah itu, praktis sudah tidak ada lagi kegiatan serupa yang bersifat pembinaan mentalitas dan karakter bangsa. Memang, pada masa itu pun korupsi ada (Siapa bilang kalau sudah ikut Penataran P-4 dijamin tidak korupsi?). Namun yang mau saya katakan adalah, aparatur Negara kita perlu diarahkan dengan suatu standar moral yang merepresentasikan budaya dan karakter bangsa kita sehingga mereka punya norma-norma dan rambu-rambu yang jelas. Jadi, tidak ‘terjun bebas’ seperti sekarang ini.
Bicara tentang karakter bangsa, saya teringat dua bulan yang lalu menjelang Hari Valentine beberapa Dinas Pendidikan (di antaranya Bekasi dan Depok) mengeluarkan surat edaran yang melarang anak sekolah untuk merayakan Valentine karena tidak sesuai dengan budaya dan karakter bangsa. Saya geli campur gemas juga membacanya karena selama ini yang saya tahu, baik Dinas Pendidikan maupun pihak sekolah tidak pernah memberikan pengarahan, pembekalan, ceramah atau sejenisnya tentang karakter bangsa, tapi kok tiba-tiba melarang suatu kegiatan dengan alasan tidak sesuai dengan karakter bangsa. Ini kan jelas membingungkan siswa sekaligus membuat mereka makin penasaran dengan perayaan Valentine tersebut. Alhasil, pusat-pusat perbelanjaan dan keramaian tetap saja dipadati anak-anak sekolah yang ingin merayakan Valentine. Yang mau saya katakan, ini bukanlah cara yang tepat dalam memberikan pencerahan tentang karakter bangsa. Diperlukan metode dan konsep yang terstruktur agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Dengan tidak adanya pembinaan mental yang terstruktur, maka mentalitas aparatur Negara menjadi kurang terkendali. Dulu saja ketika masih ada Penataran P-4, korupsinya banyak, apalagi sekarang ketika kegiatan pembinaan mental nyaris tak ada. Di samping itu, tidak adanya shock therapy bagi para koruptor membuat pelaku kejahatan ini makin meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Mungkin Presiden Jokowi perlu meniru tindakan mendiang Lee Kuan Yew yang menghukum mati sahabatnya sendiri yang dinilai korupsi karena alfa mengembalikan sisa anggaran yang dikelolanya kepada Negara. Contoh lainnya adalah Presiden China era 2003-2013 Hu Jintao yang menyiapkan 1.000 peti mati bagi para pejabat yang terbukti korupsi. Ini adalah contoh pembelajaran dalam rangka membentuk mentalitas aparatur Negara yang bersih dan jauh dari korupsi.
Kembali ke topik kita. Apa yang salah dengan mentalitas aparatur Negara kita saat ini? Cobalah kita lihat bagaimana seorang Menteri Susi yang hanya lulusan SMP ternyata mampu membuat gebrakan yang luar biasa dalam masalah illegal fishing. Atau mungkin tindakan Jokowi sendiri yang ketika menjabat sebagai Walikota Solo tidak mau mengambil gaji yang menjadi haknya. Bukankah itu contoh-contoh mentalitas yang bagus?
Tentu contoh-contoh tersebut adalah baik. Namun ketika kita bicara pada ruang lingkup yang lebih luas, tindakan tersebut belumlah cukup. Taruhlah Presiden Jokowi secara individu telah mampu melakukan tindakan yang mencerminkan mentalitas excellent. Tapi saat ini beliau adalah pemimpin dari sekitar 250 juta rakyat Indonesia. Artinya, beliau harus mampu memberi contoh sekaligus mengarahkan aparatur Negara yang menjadi anak buahnya. Pertanyaannya sekarang, sudahkah Pemerintahan Jokowi ini memberikan pembekalan, penataran atau apa pun jenisnya yang bersifat mengarahkan mentalitas aparatur Negara? Pertanyaan berikutnya, sudahkan Pemerintahan Jokowi memberikan hukuman shock therapy bagi para koruptor? Sepengetahuan saya, kebanyakan para koruptor justru dihukum relatif ringan bahkan dapat menjadi lebih ringan lagi jika nanti konsep remisi yang diusulkan Menteri Yasonna jadi diterapkan.
Dengan demikian, lengkaplah sudah ulasan tentang ketiga faktor yang menyebabkan mengapa Pemerintahan Jokowi nampaknya akan begitu-begitu saja. Mungkin masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan seperti ini karena masih ada 4 tahun lagi masa penugasan Jokowi sebagai Presiden RI. Namun, melalui pengamatan di awal masa jabatan dan perbandingan dengan para pendahulunya, dapatlah kita prediksi akan seperti apa jadinya Pemerintahan Jokowi ini. Sebagai WNI yang baik, tentu kita mendukung agar Jokowi mampu memenuhi seluruh janji-janji kampanyenya. Dengan kata lain, siapa pun kita dan apa pun profesi serta pekerjaan kita, marilah kita mendorong terciptanya sistem politik yang simple, penegakan hukum yang konsisten dan mentalitas aparatur Negara yang baik demi terwujudnya INDONESIA HEBAT !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H