Pandangan Pemuka Buddhis Indonesia
Cuitan saya yang menanggapi cuitan Tifatul Sembiring menyarikan beberapa teks Buddhis dan hasil pengkajian yang dilakukan oleh kedua pemuka dan sarjana Buddhis di atas.Â
Tentu saja, tulisan saya dan hasil temuan kedua ahli agama Buddha tadi merupakan bunga pemikiran yang tumbuh di samping bunga-bunga pemikiran lain. Salah satu pandangan menarik dikemukakan oleh seorang tokoh Buddhis Indonesia, Pandita Suhadi Sendjaja dari aliran Niciren Syosyu (salah satu tradisi Mahayana Jepang).Â
Laman berita Antara pada 10 Juli 2015 mengutip pernyataan Sendjaja yang mengungkapkan bahwa, "Memang larangan perilaku homoseksual tidak tercantum dalam sastra-sastra Buddha. Namun, hukum agama Buddha berdasarkan kepada kewajaran dan hukum alam [...] Menurut hukum alam, perkawinan itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Karena itu, Buddha menolak perkawinan sejenis, baik antara laki-laki dengan laki-laki maupun antara perempuan dengan perempuan".
Pendapat Sendjaja yang merupakan pengurus dalam wadah perkumpulan Buddhis, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), kemudian sering pula dikutip untuk menanggapi tulisan saya pada laman Twitter ataupun diskusi lain dalam topik LGBT di Indonesia.Â
Dalam kasus ini, saya tidak sependapat dengan Pandita Sendjaja. Intisari menarik yang membuat saya tidak sependapat dalam pernyataan itu adalah pendapat Sendjaja tentang sumber dari hukum Buddhis.Â
Menurutnya, hukum dalam Buddhisme "[...] berdasarkan kepada kewajaran dan hukum alam". Namun, seperti telah disebut di atas, aturan-aturan Buddhis didasarkan pada ajaran dan laku hidup Buddha yang tercurah dalam kitab-kitab Buddhis. Khusus untuk aturan atau hukum, rujukan utamanya adalah Vinaya Pitaka. Lewat pengkajian Ajahn Brahm, diketahui bahwa aturan---dan dasar aturan---yang melarang identitas dan orientasi seksual golongan awam tidaklah ada.
Di samping itu, pernyataan Sendjaja tampaknya tidak sesuai dengan tujuan utama Buddhisme sendiri, yaitu mencapai kebuddhaan atau pencerahan. Pencerahan merupakan jalan untuk membebaskan manusia dari siklus kesengsaraan yang disadari oleh Sakyamuni, yaitu kelahiran, sakit, penuaan, dan kematian. Siklus tersebut merupakan "hukum alam" yang tidak bisa dihindari manusia sebelum ia mencapai pencerahan.Â
Dengan kata lain, bukankah seorang pengikut ajaran Buddhisme justru harus melatih diri untuk melepaskan diri dari siklus hukum alam yang menyebabkan ia terus berada dalam kesengsaraan? Lebih lagi, seperti penjelasan Biksuni Shih Chao-hwei yang mengkaji Sutra dan Abidharma, dalam pelatihan diri itu, seseorang tidak akan dipandang identitas dan orientasi seksualnya, atau juga latar belakangnya yang lain. Namun, tentu saja, di luar perbedaan pandangan ini, Pandita Sendjaja, seperti dikutip Republika pada 18 Februari 2016, dengan bijaksana mengajak semua orang untuk mengayomi semua makhluk dalam prinsip kemanusiaan.
Catatan
Saya menggunakan ejaan Sanskerta alih-alih Pali untuk menyebut nama dan judul teks Buddhis dalam penulisan ini.