Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebajikan Hidup Biasa dan Mimpi Semu Kekayaan

16 November 2021   19:02 Diperbarui: 16 November 2021   19:13 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar (kemungkinan Krukut) di Surabaya pada awal abad ke-20 (Koleksi Publik KITLV)

Tajuk dari tulisan ini barangkali amat dekat dengan kehidupan saya, dan mungkin juga dengan kehidupan kita. Sebelumnya, pada laman Kompasiana, saya telah membahas pengaruh dari kejatuhan ekonomi dunia di masa pandemi ini kepada kemampuan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. 

Di tengah masa krisis seperti ini, topik ekonomi dan kelangsungan hidup telah menjadi semakin relevan. Dengan demikian, pembahasan mengenai kehidupan sehari-hari menjadi semakin penting. Ada tiga alasan yang membawa tulisan ini ke muka publik. Pertama, belakangan ini, banyak bermunculan seminar-seminar bisnis atau motivasi yang menyajikan cara untuk "mendapatkan uang" atau "menjadi kaya". 

Seminar-seminar ini dibawakan oleh para motivator dan orang yang mengaku diri enterprenir (entrepreneur) yang lagi-lagi mengaku diri telah sukses mengelola keuangan mereka hingga menjadi kaya. Berdasarkan kesuksesan itu, mereka ingin membagikan "cara menjadi kaya" yang mereka akui setara atau paralel dengan "kesuksesan". 

Kedua, saya telah melihat bagaimana ekonomi kapitalis berputar di sekitar saya lewat usaha---baik kecil maupun besar---dari keluarga maternal saya. Hal ini membuat saya menjadi saksi fakta tangan pertama dari perputaran roda kapitalisme. 

Ketiga, pilihan saya untuk menjadi seorang sejarawan meskipun berasal dari keluarga yang jauh dari keilmuan murni---kebanyakan merupakan pengusaha---sering sekali membawa serta pertanyaan mengenai alasan saya untuk membanting setir ke ilmu murni alih-alih belajar ekonomi terapan atau hukum. Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya harus menyajikan jawaban logis.

Di dalam esai yang saya terbitkan di Kompasiana pada 21 Mei 2020, saya menekankan bahwa ketidakmampuan kita untuk memenuhi kebutuhan dasar di tengah pandemi disebabkan oleh hilangnya kemampuan individu untuk memproduksi pangan dasar dan diperparah oleh pengaruh pasar global kepada selera pribadi kita. 

Keduanya memiliki akar penyebab yang sama, yaitu "mimpi semu kekayaan". Saya tidak memiliki otoritas untuk berkata tentang seluruh dunia, tetapi setidaknya saya dapat mengenal penyakit semacam ini di Indonesia. Dengan persebaran pesat seminar-seminar motivasi tentang "menjadi kaya", lengkap dengan banyak penontonnya, kita dapat menyimpulkan bahwa banyak orang yang tertarik kepada ide "menjadi kaya". Kesuksesan orang, kini diukur berdasarkan kemampuan mereka untuk menghasilkan uang. Mimpi semacam ini adalah pemikiran yang sangat berbahaya.

Mimpi untuk "menjadi kaya" dan "menghasilkan uang" kini telah mengkristal menjadi sebuah konstruksi sosial. Oleh sebab itu, mimpi semacam itu tidak lagi merupakan keinginan pribadi, tetapi justru tekanan sosial. Saya tidak masalah jika memang ada seseorang yang benar-benar---dari hatinya---ingin menjadi kaya. 

Namun, kebanyakan kasus menunjukkan bahwa keinginan itu secara tidak sadar berasal dari konstruksi sosial yang memengaruhi pola pikir manusia dari usia yang sangat dini. Mengapa mimpi "menjadi kaya" tidaklah sehat? Jawaban pertama terhadap pertanyaan itu berkaitan dengan tindakan yang dibawa oleh mimpi tadi. 

Untuk "menjadi kaya", orang akan bekerja di dalam lingkungan korporasi atau mendirikan perusahaan. Dalam upayanya mengejar mimpi "menjadi kaya", orang mungkin akan bekerja dalam bidang-bidang yang tidak disukainya asal menghasilkan keuntungan materiel. Masalah yang timbul ketika pemupukan harta pribadi itu telah terlaksana adalah hilangnya pengertian atas kebutuhan dasar yang kemudian berganti dengan standar-standar hidup tinggi. 

Status kekayaan akan membuat orang mengonsumsi jauh lebih banyak dari kebutuhannya hingga pada akhirnya menjadi lebih eksploitatif. Pola itu akhirnya menghasilkan usaha eksploitasi---dan produksi barang jualan---yang tidak perlu. Kita tidak boleh lupa bahwa dengan menciptakan penganekaragaman produk, kita juga telah memproduksi barang-barang yang mungkin tidak dibutuhkan manusia. Di sisi lain, kita kemudian terlibat dalam eksploitasi manusia dan alam demi menciptakan atau menyajikan produk-produk yang sesungguhnya tidak esensial. Bercermin dari situ, tidakkah usaha menjadi kaya hanya melelahkan alam?

Mimpi menjadi kaya itu tidak muncul dari kehampaan atau wahyu semalam. Kita dapat menyaksikan sistem besar yang selalu menampilkan wajah kemewahan dan privelese yang dapat dinikmati oleh orang-orang dengan banyak uang. Gambaran semacam itu akhirnya membuat orang-orang jatuh lebih dalam kepada kemiskinan, baik di dalam pikir maupun secara nyata. 

Semakin miskin di dalam pikir dalam artian membuat gaya hidup orang sehari-hari---yang sejatinya baik dan tidak ada masalah---menjadi seakan-akan tidak ada artinya karena ada standar hidup yang lebih mewah. Selain itu, membuat orang semakin miskin secara nyata karena gambaran kemewahan tadi dapat memicu keinginan masyarakat untuk menghabiskan sumber daya mereka demi mendapat produk-produk kemewahan tadi. 

Namun demikian, tentu saja menjadi kaya bukanlah sebuah dosa atau kesalahan. Aspirasi menjadi kaya menjadi tidak berarti bila itu didorong oleh konstruksi sosial, bukan kebutuhan pribadi---karena itu artinya kita akan memeras alam dan manusia semata-mata untuk memukau struktur sosial di sekitar kita, bukan untuk memenuhi kebutuhan kita.

Kini, datang pertanyaan mengenai apa yang dapat saya tawarkan untuk menggantikan mimpi semu kekayaan? Sebenarnya, saya tidak akan menawarkan mimpi apa-apa. Satu-satunya cara untuk bangun dari mimpi semu "menjadi kaya" terletak pada kehidupan harian manusia, kebajikan dari hidup biasa. Hari ini, kita sering mengesampingkan kehidupan sehari-hari dan standar hidup yang biasa-biasa saja. Padahal, nyatanya, standar hidup yang biasa-biasa saja itu juga tidak menimbulkan masalah apa-apa. 

Orang yang memilih untuk makan di depot kecil atau di rumah setiap hari tidak lebih rendah dari orang yang setiap hari makan di rumah makan mewah dan turun dari mobil Eropa paling mahal. Tentu saja, sebab tidak ada perbedaan di antara keduanya dalam hal tujuan bertahan hidup. Keduanya sama-sama memenuhi kebutuhan dasarnya. 

Perbedaan utamanya, yang disebut pertama telah memutar roda perekonomian komunitasnya, sedangkan yang disebut terakhir telah melumasi oli kepada roda kapitalisme. Tentu saja, manusia memiliki pilihan yang sangat bebas untuk menjadi yang mana di antara keduanya tadi. 

Namun, mimpi semu kekayaan yang dibangun oleh tekanan sosial akan melelahkan baik bagi si pengejar kekayaan maupun alam yang melingkupinya. Orang yang mengejar kekayaan itu dalam realitas dunia masa kini tidak akan menemukan kekayaan di luar sistem kapitalisme---dan harapan untuk menang dalam sistem kapitalisme itu sangat rendah. 

Pengetahuan yang diajarkan oleh guru-guru motivasi bisnis tidak akan menjamin seseorang untuk menembus sistem kapitalisme. Satu-satunya kenyataan yang kita dapat dari mengikuti kelas-kelas tidak berguna itu adalah menebalnya kantong sang guru lewat biaya-biaya registrasi yang kita bayarkan. Di dalam sistem kapitalistik yang egois, bagaimana kita dapat berharap ada orang yang akan mengundang kita masuk dan bersaing secara adil dengan mereka?

Mimpi-mimpi semu kekayaan telah memandu banyak orang kepada pilihan-pilihan salah. Banyak orang yang saya kenal telah jatuh ke dalam buaian model bisnis yang terlihat terlalu menguntungkan dan akhirnya kehilangan uang yang luar biasa pula jumlahnya. Namun, mimpi semu itu tetap melekat pada otak mereka. 

Candu kekayaan yang bercampur dengan taraf hidup mewah yang tak dapat diturunkan standarnya menghasilkan mimpi semu yang berkelanjutan---dan mencegah orang untuk lepas dari perangkapnya. Lalu, apa kaitannya semua ini dengan pilihan saya untuk menjadi seorang sejarawan? Sejarah menampilkan banyak contoh menarik dari kengerian dampak kapitalisme dan mimpi-mimpi semu tadi. 

Pada mulanya, kolonialisme Eropa yang muncul setelah Abad Penjelajahan adalah anak yang lahir dari mimpi orang Eropa untuk "menjadi kaya". Setelahnya, banyak eksploitasi manusia, hewan, dan alam yang dilakukan atas nama keuntungan. Pada titik ini, mungkin banyak yang mengira bahwa saya mendukung gagasan tandingan dari kapitalisme, seperti misalnya ide-ide Karl Marx dan turunannya. 

Saya tidak dapat menyatakan sepenuhnya bahwa saya benar-benar mengamini semua ide Marx---namun saya memang banyak menyetujuinya dan tidak keberatan untuk "dituduh" Marxis. Banyak pula sejarah kelam yang terjadi seputaran ide-ide Marx, namun jumlah korbannya dapat paling tidak dihitung oleh para sejarawan. 

Namun, korban dari sistem kapitalisme bahkan mustahil untuk dihitung karena sistem kapitalisme itu sendiri sering kali tidak disadari. Saya kira jumlah korban yang dihempaskan untuk mimpi-mimpi para kapitalis untuk "menjadi kaya" jelas melebihi jumlah korban di bawah panji Marxisme.

Namun, di samping ide-ide Marx, sistem ide yang khas Indonesia adalah ide "hidup biasa". Pemikiran masyarakat untuk mendukung diri mereka secara mandiri sekaligus melindungi alam dapat terlihat dari berbagai macam pemikiran dan gaya hidup lokal di Kepulauan Indonesia. Salah satu contoh bagus dapat kita lihat dalam masyarakat Jawa sebelum tahun 1830. Pada tahun 2018, saya telah menulis esai berjudul "Lelembut dan Gagalnya Kapitalisme Jawa". 

Di sana, saya menerangkan bagaimana tradisi lisan orang Jawa menjadi sebab dan indikator dari kegagalan kapitalisme untuk tumbuh di Jawa. Menariknya, taraf hidup---kesehatan dan bidang lain---masyarakat Jawa yang tidak mengadopsi sistem kapitalisme pada saat itu juga tidak lebih rendah dari taraf hidup masyarakat Eropa yang telah mengenal kapitalisme. Taraf hidup masyarakat Jawa justru merosot hebat setelah tahun 1830---sesaat setelah kapitalisme diperkenalkan oleh sistem kolonialisme Belanda. Hidup biasa tidak seharusnya dipandang lebih rendah dari hidup orang kaya yang bermewah-mewah. 

Hidup biasa adalah aspek yang sebenarnya tidak mudah dilakukan. Lewat esai ini, saya tidak mengajak Anda untuk mengubur mimpi Anda untuk menjadi kaya. Saya hanya mengajukan dua pertanyaan; dapatkah Anda menjadi kaya tanpa mengeksploitasi manusia dan alam secara berlebihan? 

Dan dapatkah Anda menjadi kaya sambil menyusun skema yang berkelanjutan bagi alam? Jika Anda punya mimpi untuk "menjadi kaya", Anda harus dapat menjawab "ya" kepada kedua pertanyaan saya karena orang yang akan berjalan di bumi ratusan tahun yang akan datang bukanlah Anda, melainkan generasi baru yang tidak seharusnya menanggung akibat buruk dari mimpi Anda. Saya memilih untuk menjadi sejarawan karena saya menolak untuk turut aktif dalam sistem yang eksploitatif terhadap alam dan orang-orang miskin.

*) Ini adalah terjemahan tulisan saya yang sebelumnya (pada 8 Juni 2020) telah saya publikasikan dalam bahasa Inggris melalui laman Medium.

Penulis

Christopher Reinhart adalah peneliti dan asisten peneliti bidang sejarah kuno dan sejarah kolonial wilayah Asia Tenggara dan Indonesia. Sejak tahun 2019, menjadi asisten peneliti Prof. Gregor Benton (School of History, Archaeology and Religion, Cardiff University). Sejak tahun 2020, menjadi asisten peneliti Prof. Peter Carey (Fellow Emeritus Trinity College Oxford; Adjunct Professor FIB Universitas Indonesia). Sejak April 2021, menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek (Perpustakaan Nasional Belanda) dalam proyek penelitian digitalisasi teks-teks sejarah periode kolonial Indonesia menggunakan kecerdasan buatan (AI).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun