Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lingkaran Kudeta Elite di Asia Tenggara Masa Lampau

17 Maret 2021   17:49 Diperbarui: 8 April 2022   14:37 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jenderal Soeharto beberapa saat setelah peristiwa 30 September 1965 (Koleksi National Security Archives, George Washington University)

Pada akhirnya, kegaduhan-kegaduhan itu tidak membawa banyak perubahan pada sistem atau pola kekuasaan yang berlaku. Kekuasaan hanya dapat berputar di kalangan elite karena masyarakat secara umum diberikan konstruksi sosial yang tidak memungkinkan mereka memupuk modal sosial maupun materiel untuk menentang kekuasaan. Dengan demikian, orang-orang yang mampu memupuk modal semacam itu selalu muncul dari kalangan elite sendiri. 

Kita misalnya dapat menilik masa transisi dari periode klasik ke periode Islam melalui perebutan kekuasaan pada masa akhir Majapahit. Pihak yang mampu menjadi tandingan dari pusat keraton Majapahit di pedalaman adalah kota pelabuhan di Demak. 

Dunia agraris petani di pedalaman memang mampu menghasilkan pemberontakan, namun mereka memiliki kekurangan dalam bidang materiel untuk dapat menyukseskan upaya mereka merebut kekuasaan secara nyata---sekali lagi karena konstruksi sosial dunia petani yang subsisten. Dunia perdagangan maritim di kota-kota pelabuhan dapat menepis kekurangan ini dan memunculkan pihak-pihak yang memiliki modal materiel kuat. Inilah yang terjadi pada kasus Demak. 

Munculnya Demak sebagai pusat baru yang menyaingi pusat Majapahit di pedalaman bukan hanya didorong oleh faktor ideologis baru---Islam, melainkan juga kemampuan komersialnya. Namun, sekali lagi, orang yang menyatukan berbagai faktor ini dan mengambil momentum adalah seorang elite, seorang pangeran Majapahit, Raden Patah (Sultan Demak, 1475--1518). Pusat kerajaan Jawa kemudian berpindah ke pesisir untuk kali pertama setelah lebih dari dua ratus tahun berada di pedalaman.

Namun demikian, masalah yang muncul dari berdirinya sebuah pusat kekuasaan---apalagi dengan jantung komersil---di pesisir adalah bahaya munculnya kekuatan atau pihak lain yang dapat menjadi kuat dan memiliki modal materiel untuk melakukan perebutan kekuasaan lagi. 

Oleh sebab kekuasaan baru dipegang oleh kalangan elite dan keturunannya yang juga merupakan kontinuitas dari kekuasaan lama Majapahit, jalan keluar yang nantinya muncul juga adalah mengembalikan konstruksi sosial model lama yang mencegah munculnya pesaing-pesaing kekuasaan---yaitu melalui konstruksi dunia petani yang subsisten dengan mengembalikan pusat kekuasaan jauh dari laut dan mendekati pedalaman. 

Ini terlihat jelas dengan perpindahan keraton secara bertahap ke selatan, yaitu ke Pajang (sekarang bagian dari Surakarta) dan kemudian ke Kotagede (sekarang bagian dari Yogyakarta) dan seterusnya. 

Perpindahan ke selatan ini merupakan usaha untuk menjamin ketiadaan kontestasi kekuasaan dari orang-orang yang dapat memupuk modal melalui kegiatan komersil di pesisir. Sekalipun wilayah selatan memiliki laut, Laut Selatan (Samudra Hindia), ia telah "diberi pagar" melalui konstruksi sosial kesakralan dan keangkerannya sehingga tak berkembang menjadi pusat-pusat komersil yang penting seperti Laut Utara (Laut Jawa). 

Siapa orang Jawa---bahkan hingga masa kini---yang berani mengganggu alam dan keraton dari Kanjeng Ratu Kidul? Paling jauh, pesisir selatan mungkin digunakan untuk tempat menangkap ikan demi kehidupan sehari-hari nelayan yang juga sangat hati-hati untuk tidak mengganggu ketenteraman sang penguasa laut dengan secara rutin melakukan upacara sedekah laut. 

Inilah pemandangan yang cukup baik untuk menggambarkan bahwa perubahan kekuasaan yang berputar di kalangan elite tidak akan membawa banyak perubahan mendasar. Lebih-lebih, kekuasaan yang baru juga secara umum akan tetap bersifat sentralistik dan pasifistik terhadap saingan politik.

Indonesia sendiri telah mengalami berbagai perebutan kekuasaan dan kudeta di seputar elite ini. Ketika pergerakan kebangsaan muncul pada awal abad ke-20 dan akhirnya berhasil menjadi pengganti dari golongan kolonial Eropa dan Jepang sebagai administrator negara, kita sekali lagi menyaksikan pola kekuasaan sentralistik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun