Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Raden Saleh: Perusak Warisan Budaya Jawa?

30 Januari 2021   08:45 Diperbarui: 1 Februari 2021   20:23 9963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Werner Kraus dalam sebuah wawancara tentang Raden Saleh (National Gallery Singapore, 28 Februari 2018)

Semangat yang tulus itu tertuang dalam tulisan-tulisan mereka, di mana Claire Holt mengaku mendapat ilmunya dengan "duduk di kaki guru-gurunya" dan guru-guru yang dimaksud itu adalah orang Indonesia seperti Pangeran Mangkunegoro VII (bertakhta 1916--1944) dan ahli tari Jawa, Gusti Pangeran Ario Tedjokusumo dari Yogyakarta (1893--1974 ) (Burton 2000).

Kita dapat mempercayai orang-orang seperti Stutterheim dan Holt. Namun, kita harus sangat berhati-hati dan awas dalam menangani pengetahuan yang dibuat oleh orang-orang seperti Hoepermans. Secara khusus, kita perlu menyadari apa yang disebut oleh sejarawan Filipina pra-Hispanik, William Henry Scott (1921--1993), sebagai "tirai perkamen", yaitu fakta bahwa dokumen kolonial memiliki keterbatasan yang kuat dan tidak selalu mencerminkan "kebenaran". Kita selalu harus mencari "celah" pada tirai itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang sejarah masa lalu.

Namun, mari kita kembali ke fakta. Di mana Raden Saleh pada April 1866, ketika menurut Hoepermans, ia sibuk menghancurkan sendiri Candi Simping alias Candi Sumber Jati di Blitar?

Pada bulan Mei 1865, Raden Saleh telah diberikan izin untuk melakukan perjalanan ke wilayah kerajaan (vorstenlanden) di Jawa tengah-selatan dengan tujuan mengumpulkan manuskrip dan artefak untuk Perhimpunan Batavia. Ia pergi tidak lama kemudian dan tinggal selama setahun di Yogyakarta.

Kami memiliki sejumlah surat yang ditulis olehnya kepada direktur Perhimpunan Batavia sepanjang paruh kedua tahun 1865 hingga awal tahun 1866. Pada tahun 1866, ketika menurut Mas Yosi, Saleh seharusnya berada di Blitar dan sedang menghancurkan Candi Simping, kami memiliki surat-surat yang ditulis olehnya dari Yogyakarta pada 14 Januari 1866 dan 30 April 1866. Dalam pertemuan Perhimpunan Batavia tanggal 27 Maret 1866, direktur perhimpunan menyebutkan bahwa ia telah menerima sejumlah surat pribadi dari Raden Saleh di Yogyakarta.

Hal ini membuktikan bahwa pelukis itu menghabiskan waktu antara Januari dan Mei di Yogyakarta, sebelum kembali ke Batavia pada bulan Juni 1866 untuk menghadiri rapat pengurus Perhimpunan Batavia [Vergadering] pada tanggal 26 Juni.

Tidak ada waktu baginya untuk berlari cepat ke Blitar, menghancurkan candi, dan kembali ke Yogyakarta tepat waktu untuk menulis surat pada 30 April kepada ketua perhimpunan serta kemudian kembali ke Batavia. Lebih lagi, bahkan jika ia merasakan dorongan aneh semacam itu, ia tidak akan dapat pergi ke sana karena paspornya [izin perjalanan] hanya berlaku untuk wilayah kerajaan (vorstenlanden).

Sejak tahun 1830, Blitar bukan lagi bagian dari wilayah kerajaan Jawa tengah-selatan melainkan sebuah distrik dari Keresidenan Kediri di Jawa Timur langsung di bawah pemerintah kolonial Batavia. Saleh tidak memiliki izin untuk bepergian ke sana dan pemerintah kolonial Belanda sangat ketat dalam masalah tersebut.

Apalagi, jika vandalisme itu benar terjadi, kita dapat dibayangkan bahwa pasti Residen Kediri, G. M. W. van der Kaa (diangkat 16 Januari 1865), dan Asisten Residennya di Blitar, F. H. Boers (diangkat 27 Mei 1866), belum lagi Bupati Blitar yang sedang menjabat, Raden Tumenggung Ario Adhi Negoro (1863--1869), menyebutkan sesuatu tentang ini dalam laporan mereka kepada pemerintah kolonial. Bagaimanapun, bahkan Residen Yogyakarta konyol yang menjabat sebelum Perang Jawa, Anthonie Hendrik Smissaert (1777--1832; menjabat 1823--1825), menyebutkan [dalam laporannya kepada Raja Belanda, Willem I, bertakhta 1813–1840] tentang vandalisme yang dilakukan oleh Diponegoro dan pangeran-pangeran Yogya lainnya pada patung-patung candi Hindu-Buddha seperti Kalasan dan Prambanan yang mereka bawa kembali untuk mempercantik rumah dan ruang meditasinya di tahun-tahun sebelum Perang Jawa (Carey 2012:101 catatan 60). Namun, justru semua pejabat penting pemerintah Belanda dan Jawa di Kediri dan Blitar pada pertengahan tahun 1860-an sama sekali diam tentang masalah yang dituduhkan pada Raden Saleh ini.

Lebih lagi, bagaimana kita menjelaskan tentang pamor Raden Saleh di depan Perhimpunan Batavia yang mana ia sebagai salah satu dari sedikit anggota non-dewan telah secara teratur diminta pendapatnya dan dijunjung tinggi oleh ketua dan dewan pengurus (Groot 2009:439--40)? Kehormatan semacam itu pasti tidak akan terpikirkan jika dia adalah perusak candi.

Simpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun