[Artikel ini ditulis oleh Dr. Werner Kraus (penulis biografi Raden Saleh) dan Christopher Reinhart telah diminta serta diberikan kuasa agar mempublikasikan tulisan ini pada laman Kompasiana sebagai hak jawaban atas artikel "Candi Simping di Blitar Rata dengan Tanah karena Ulah Pelukis Tersohor Raden Saleh" karya Kompasianer Djulianto Susantio. Ini dilakukan karena Dr. Werner Kraus tidak memiliki akun atau profil di Kompasiana. Dr. Kraus memberikan kuasa satu-satunya agar artikel ini dipublikasikan di bawah akun atau profil Christopher Reinhart]
Pada 25 Januari 2021 (yang kemudian diperbarui lagi pada 27 Januari 2021), Kompasiana menerbitkan artikel meresahkan yang ditulis oleh Mas Djulianto Susantio. Artikel itu bertajuk "Candi Simping di Blitar Rata dengan Tanah karena Ulah Pelukis Tersohor Raden Saleh". Dikatakan bahwa pelukis Arab-Jawa yang terkenal, Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar 1811--1880), telah "menghancurkan" Candi Simping (alias Candi Sumber Jati) di Blitar dan candi-candi Jawa Timur lainnya yang jumlahnya dirahasiakan. Dalam kata-kata Mas Djulianto:
"Beliaulah yang bertanggung jawab atas hancurnya bangunan Candi Simping. Bukan rusak lagi, karena cara kerjanya ia membongkar total bagian dalam tubuh dan lantai hingga mengakibatkan candinya rubuh,"
Sumber pokok untuk tudingan serius tersebut adalah sebuah postingan di situs Facebook milik seorang yang mengaku sebagai "sejarawan" bernama Ancah Yosi Cahyono. Mas Yosi mengaku mendapatkan "fakta-fakta" tersebut dari "buku harian (dagboek)" N. W. Hoepermans (1820--1880), yang ia gambarkan sebagai seorang "arkeolog Belanda". Ketika saya membaca bahwa Mas Yosi telah menyematkan gelar "Sang Juru Gangsir" pada Raden Saleh saya menjadi semakin tidak nyaman. Ini adalah kata-katanya:
"Candi itu sebelumnya masih berdiri, hingga 4 April 1866 Raden Saleh datang ke sana dan meratakannya. Masih dari diary Hoepermans, Simping bukanlah candi pertama yang 'diratakan' oleh Raden Saleh."
Siapakah orang bernama Hoepermans yang berani menuduh pelopor seni rupa Indonesia modern tersebut telah melakukan vandalisme semacam itu?
Hoepermans bukanlah seorang arkeolog, tetapi seorang bintara Belanda berpangkat rendah---seorang sersan menurut Hans Groot (Groot 2009:469) atau seorang "kopral-medis (ziekenvader)" menurut arkeolog Belanda, Willem Frederik Stutterheim (1892--1942) (Stutterheim 1925:74).
Sersan Hoepermans menjabat sebagai salah satu dari empat asisten berpangkat rendah untuk seorang ahli bahasa Sanskerta dan Semitolog (ahli bahasa Semit) kelahiran Jerman, Rudolf Hermann Theodor Friederich (1817--1875), yang telah datang ke Hindia Belanda pada tahun 1844 sebagai seorang prajurit setelah belajar bahasa oriental di Berlin dan Bonn. Friederich bertemu dengan Hoepermans di barak militer di Batavia dan menghasilkan persahabatan yang tidak terduga.
Persahabatan tersebut berlanjut setelah Friederich bergabung dengan Perhimpunan Batavia untuk Budaya dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen; selanjutnya disebut "Perhimpunan Batavia") dan menjadi asisten pustakawan di sana.
Pada tahun 1863 hingga 1868, atas permintaan Perhimpunan Batavia, Hoepermans (di bawah Friederich yang menangani penelitian di Jawa bagian barat) melakukan proyek penelitian lapangan secara ekstensif selama lima tahun untuk menemukan barang-barang antik Hindu-Buddha di seluruh Jawa dan Bali (termasuk ke Blitar).