Pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia sama-sama melupakan dan menyingkirkan kenyataan bahwa kemudahan investasi yang tidak disertai dengan perlindungan pekerja---dan juga alam---akhirnya hanya akan bermuara pada penindasan pekerja dan eksploitasi alam.
Bila kini suara kontra semacam ini disuarakan oleh mahasiswa dan golongan pekerja, dahulu suara ini disuarakan oleh golongan sosialis yang dimusuhi oleh parlemen Belanda dan tidak didengarkan juga oleh Multatuli.Â
Bila pemerintah Indonesia sekarang merasa bahwa pasal-pasal perlindungan pekerja di dalam UU Omnibus telah mantap dalam perlindungan terhadap pekerja -padahal menghadirkan banyak kritik dari pemerhati perburuhan, dahulu parlemen Belanda juga sangat percaya diri kepada Ordonansi Kuli 1880 yang dianggapnya melindungi pekerja.Â
Namun, ini jelas kepercayadirian yang terbukti salah setelah menghadapi ketimpangan relasi kuasa yang hebat di lapangan---yang bahkan di luar kemampuan pemerintah untuk mengatasinya karena ordonansi tersebut tidak menghadirkan proteksi yang cukup.
Kini, mari kita lihat bagaimana riwayat liberalisasi ekonomi 1870 itu dalam usahanya meningkatkan taraf hidup rakyat jajahan. Sepuluh tahun pertama, kedatangan perusahaan asing memang sedikit meningkatkan penghasilan rakyat jajahan yang diambilnya sebagai pekerja (umumnya perkebunan, kemudian berkembang pada pabrik).Â
Namun, terjadi keguncangan ekonomi pada tahun 1880 ketika wabah penyakit gula menyapu Hindia Belanda. Dalam krisis tersebut, perusahaan menolak untuk menerima kerugian dan menaruh beban fiskal ke pundak para pekerjanya. Upah pekerja -baik bumiputra maupun Tionghoa yang saat itu banyak menjadi kuli kontrak- dan biaya sewa tanah yang diterima pemerintah kolonial menurun tajam.
Seperti studi jurnalis Hindia, Pieter Brooshooft (1845--1921), yang sekuelnya menjadi topik kajian Profesor Anne Booth (lihat Daftar Sumber), kenaikan populasi di Jawa bersama dengan menurunnya pendapatan menyebabkan beban pajak yang luar biasa. Pada akhirnya, hal ini menciptakan penurunan standar hidup yang signifikan.Â
Pada masa yang sama, perusahaan-perusahaan swasta dan asing juga menekan pemerintah kolonial untuk menyediakan infrastruktur seperti jalan, rel kereta, pelabuhan, dan jalur trem untuk meningkatkan daya ekonomi mereka.Â
Selain itu, mereka juga menginginkan proteksi lebih pada investasi mereka di luar Pulau Jawa yang akhirnya membuat pemerintah kolonial membebankan biaya operasi luar Jawa ini pada pajak untuk orang-orang di Jawa (mengingat penduduk terbanyak terkonsentrasi di Jawa). Ini semua terjadi akibat guncangan ekonomi 1880.Â
Baca juga:Â Diskursus Feminisme: Hak Perempuan dalam Omnibus Law Cipta Kerja
Mengingat semua ekses ini, apakah pemerintah dapat meyakini bahwa dalam dekade-dekade setelah UU Omnibus itu berlaku, tidak akan ada krisis ekonomi yang akan membuat daya tekan investor kepada pemerintah menguat dan berakhir pada kekalahan hak-hak golongan pekerja kita?Â