Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Setelah 150 Tahun, Kita Kembali pada Kebijakan Kolonial 1870

8 Oktober 2020   21:09 Diperbarui: 12 April 2022   11:09 9386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita perlu memahami bahwa dua episode penting itu tidak membawa parlemen Belanda kepada ide Politik Etis seperti apa yang terwujud pada 1901. 

Momentum ini justru membuka jalan bagi pertalian ide reformatif seperti milik Van Hoevell dengan jalan keluar liberalisasi ekonomi seperti yang dibawa oleh Isaac Dignus Fransen van de Putte (1822--1902; menjabat Menteri Kolonial, 1863--66 dan 1872--74). Pada titik inilah UU Omnibus kita menjadi senada dengan liberalisasi ekonomi Hindia Belanda.

Setelah diskusi panjang sejak 1850-an, dalam sebuah perembukan golongan terpelajar di bawah payung Indisch Genootschap (Perkumpulan Keilmuan Hindia) tahun 1866, tersepakati suatu gagasan bahwa untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tanah jajahan, harus dilaksanakan suatu pola kebijakan kolonial yang mempermudah investasi swasta untuk masuk ke Hindia Belanda, termasuk yang berasal dari negeri asing -yang hendaknya juga diperlengkapi dengan aturan-aturan yang diharapkan dapat melindungi hak tanah jajahan. Liberalisasi ekonomi ini diharapkan mampu menjawab masalah rendahnya tingkat kehidupan dan ekonomi rakyat jajahan.

Dengan naiknya Van de Putte sebagai menteri kolonial pada 1863, sistem tanam wajib atau tanam paksa dihapuskan---komoditas cengkeh dan pala pada 1863; indigo, teh, dan kayu manis pada 1865; dan tembakau pada 1866. 

Sebagai pemuncak berakhirnya sistem tanam paksa, lahirlah undang-undang kembar liberalisasi ekonomi tanah jajahan: Undang-undang Agraria 1870 dan Undang-undang Gula 1870. 

Sejak kelahiran dua peraturan ini, Hindia Belanda memasuki babak ekonomi baru, yaitu liberalisasi besar-besaran yang juga menyebabkan ekspansi kolonial ke luar Jawa (saya pernah menulis ekspansi ekonomi ini dalam "Sebuah Utang Kehormatan dan Negara Kolonial Baru"). 

Undang-undang Agraria 1870 sejatinya bermaksud memberikan proteksi bagi tanah milik bumiputra. Di dalamnya, tanah bumiputra tidak boleh dijual kepada orang non-bumiputra, sewa terhadap tanah bumiputra dibatasi pada waktu yang singkat (lima tahun), dan bumiputra diperbolehkan mengajukan sertifikasi tanah Eropa terhadap tanah miliknya. 

Namun demikian, ini juga melahirkan hak eigendom kepada tanah-tanah 'liar' yang dapat disewa oleh pengusaha swasta. Pada tahun 1930-an, praktik perburuhan dan hubungan kerja yang tidak adil di dalam tanah-tanah ini luput dari perhatian International Labour Organization (ILO, Organisasi Buruh Internasional) karena pemerintah kolonial dengan cerdik berdalih bahwa praktik internal perusahan di tanah-tanah pribadi itu berada di luar kewenangan pemerintah.

Motivasi gagasan liberalisasi ekonomi Hindia Belanda tahun 1870 tersebut kini tampak sangat familiar dengan keinginan pemerintah menyoal UU Omnibus. 

Pemerintah Indonesia secara sederhana memandang bahwa memudahkan investasi dan mengundang perusahaan asing dapat menghasilkan pembukaan lapangan pekerjaan yang pada akhirnya menaikkan derajat hidup rakyat Indonesia. Inilah pemikiran yang sama yang pernah direbus di dalam perembukan Indisch Genootschap tahun 1866 dan debat parlemen Belanda yang mengikutinya.

Lalu, apakah praktik liberalisasi ekonomi 1870 sampai 1901 tersebut berhasil seperti apa yang diperkirakan? Tentu saja model pemikiran ekonomi yang bersandar pada teori 'menetes ke bawah' (trickle-down economics) tersebut sangat jauh dari keberhasilan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun