Pada saat yang hampir sama dengan perkembangan cerita silat Tionghoa di Indonesia, muncul pula cerita silat Jawa yang dikarang oleh Singgih Hadi Mintardja (1933--99), Herman Pratikto (1929--87), Arswendo Atmowiloto (1948--2019), dan lainnya. Namun, latar cerita silat Jawa tersebut justru menampilkan Mataram, Majapahit, Singhasari, atau Demak lengkap dengan kilasan politik kerajaan. Barangkali dapat kita sebutkan seri Nagasasra dan Sabuk Inten (diterbitkan dalam 16 seri, 1966) karangan S. H. Mintardja yang menampilkan Mahesa Jenar, mantan prajurit Demak, yang mencari keris Nagasasra dan Sabuk Inten---dua simbol penting kekuasaan kerajaan.
Di sini, konsep kekuasaan jelas terasa dalam cerita silat Jawa. Dengan demikian, dugaan bahwa semua cerita silat merupakan eskapisme yang tidak mengandung latar politik pemerintahan menjadi gugur dan keunikan konsep jianghu masih terpatri semata pada cerita silat Tionghoa. Oleh sebab itu, bisa jadi minat politik juga dipengaruhi oleh latar kultural yang kuat tersebut---bukan sekedar ingatan kolektif yang traumatis, sekalipun ini memainkan peranan yang tidak kalah penting.
Sebetulnya, ada satu lagi faktor budaya yang saya kira turut berkontribusi dalam ketiadaan minat orang Tionghoa untuk berkiprah politik. Dalam tradisi Konfusianisme, raja terletak sangat jauh dan tinggi, serta yang paling penting---tidak menarik. Menjadi pusat pemerintahan di Tiongkok yang Konfusianis berbeda dari menjadi seorang raja Jawa yang setidaknya masih memiliki kuasa riil.
Kaisar, sekalipun disebut sebagai putra langit, terkunci ruang geraknya oleh sebarisan menteri-menteri yang terbagi dalam fraksi bertentangan. Kehadiran kaisar dalam ruangan dewan justru mengharuskan ia untuk lebih banyak berkompromi daripada berkuasa. Oleh sebab itu, konsep pemerintahan dan pemimpin pemerintahan tampak jauh dari alam pikiran orang Tionghoa. Hal ini tidak menandakan orang Tionghoa tidak tertarik pada politik. Menariknya, orang-orang Tionghoa justru sangat tertarik untuk membicarakan politik, tetapi politik non-pemerintahan atau sekalipun tentang pemerintahan, umumnya tidak berlanjut pada motivasi tindakan untuk 'menjadi pemerintah'.
Barangkali ini disebabkan alam pikir Konfusianistik yang tanpa sadar juga turut berpengaruh. Konfusianisme menekankan seseorang untuk melaksanakan peran dan fungsinya di dalam masyarakat dan tidak mengganggu jalannya peran dan fungsi orang lain. Dengan demikian, petani harus berlaku sebagai petani, pedagang sebagai pedagang, menteri sebagai menteri, dan raja sebagai raja---demikian juga ayah sebagai ayah dan anak sebagai anak. Oleh sebab itu, sekalipun menjaga harmoni, hal ini juga dipandang beberapa kritikus sebagai penghambat perubahan sosial vertikal dan horizontal.
Dalam dunia Konfusianis, tidak ada justifikasi untuk sebuah kudeta atau perubahan struktur kekuasaan.
Bila di Tiongkok hal seperti ini terjadi sepanjang hidup dinasti-dinasti, ia disebabkan oleh konsep lain yang lebih kuno, yaitu 'mandat langit'. Mungkin harus dibuat satu artikel lain untuk membahas aneka macam konsep kekuasaan ini---yang begitu menarik bila dibandingkan dengan Dunia Melayu dan Melanesia. Jelasnya, pasti terdapat latar belakang kultural---mungkin jianghu dan pengaruh senyap Konfusianisme---yang menyebabkan orang-orang Tionghoa seakan lebih mengasing dari urusan pemerintahan. Latar kultural ini dapat menjadi pelengkap jawaban dari faktor-faktor politik yang selama ini sudah umum di dalam studi sejarah politik kita.
Pada akhirnya, mungkin kita harus menyadari bahwa sejarah Indonesia---dan masyarakat Tionghoa pada khususnya---selalu lebih luas dari tanggal 30 September 1965. Masih banyak segi kesejarahan yang dapat digali dengan semangat yang positif untuk memperkaya khazanah pengetahuan kita.
Urgensi kesejarahan kita seharusnya bukan menaikkan sebuah isu atau topik yang selalu menampilkan kebenaran tunggal dan menyebabkan tertutupnya pembicaraan ilmiah di hadapan publik.
Bagi saya, pembahasan semacam itu sudah merupakan sebuah jalan buntu yang tidak sehat secara ilmiah. Urgensi kesejarahan kita seharusnya menanyakan dan menyusun sebuah pembahasan sejarah yang dapat meletakkan Indonesia dan masyarakatnya di dalam perspektif yang lebih luas, mendunia, atau setidaknya penting dalam perkembangan kawasan.
Daftar Sumber
- Duyvendak, J. J. L. 1947. Wegen en Gestalten der Chineesche Geschiedenis. Amsterdam: Elsevier.
- Fairbank, J. K. 1942. Tributary Trade and China's Relations with the West. Ann Arbor: Association of Asian Studies.
- Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Obor.
- Nio, Joe Lan. 1952. Tiongkok Sepanjang Abad. Jakarta: Balai Pustaka.
- Reischauer, E. O. dan J. K. Fairbank. 1960. East Asia The Great Tradition. Cambridge: Harvard University Press.
- Suryadinata, Leo. 1997. The Culture of Chinese Minority in Indonesia. Singapore: Times.
- Suwannathat-Pian, K., 2003. Asia Tenggara: Hubungan Tradisional Serantau. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.