Sejak dekade 1960 hingga 1980, banyak cerita silat dari Tiongkok---baik Republik Rakyat Cina (RRC), Hongkong, maupun Taiwan---yang diterjemahkan dan disadur ke dalam bahasa Indonesia. Tidak kurang pula karya-karya orisinal namun berlatar kebudayaan Tionghoa yang dihasilkan penulis Indonesia-Tionghoa seperti Asmaraman S. Kho Ping Hoo (1926--94).
Cerita silat tersebut menjadi lebih luas khalayak penikmatnya ketika beralih media dari tulisan ke cerita bergambar dan akhirnya ke film keluaran Hongkong atau RRC. Hingga kini, mungkin belum ada cerita silat yang kepopulerannya di Indonesia mengalahkan dua bagian pertama dari Trilogi Rajawali karangan Jin Yong (Louis Cha Jing Yong; 1924--2018), yaitu Sia Tiauw Eng Hiong (Shediao Yingxiong Zhuan [Legenda Pendekar Pemanah Rajawali]) dan Sin Tiauw Hiap Lu (Shendiao Xialu [Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali]).
Cerita kedua barangkali lebih akrab kepada pengetahuan kita ketika disebutkan nama dua karakter utamanya, Yo Ko (Yang Guo) dan Siauw Lionglie (Xiao Longnu)---dikenal juga dengan panggilan Bibi Lung. Cerita tersebut pernah disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Oey Kim Tiang dan Oey An Siok (diterbitkan dalam 20 seri, 1963).
Orang-orang Tionghoa di Indonesia yang memiliki memori tentang tahun 1965 dan sesudahnya merupakan generasi yang dilingkupi oleh budaya populer kisah dunia persilatan semacam ini. Lalu, apa hubungan antara budaya populer cerita silat dan mengasingnya orang-orang Tionghoa dari ranah politik kenegaraan? Secara sekilas, kedua hal tersebut tidak memiliki korelasi.
Namun demikian, kita mungkin harus masuk ke dalam konsep-konsep yang membangun dunia persilatan Tionghoa. Di dalam kisah silat Tionghoa, dunia tempat para tokoh hidup disebut sebagai jianghu (secara harafiah berarti "sungai [dan] danau"). Konsep ini bisa dipandang sebagai konsep kuno ataupun juga konsep baru. Kuno dalam artian konsep ini telah dikenal secara tradisional di dalam kebudayaan Tionghoa sejak masa Negara-negara Berperang (475--221 SM).
Secara sederhana, jianghu dalam konsep tradisional Tionghoa adalah suatu keadaan dunia yang berada di luar dan tidak terkait dengan kaisar dan urusan pemerintahannya---yang di Tiongkok dijuluki sebagai miaotang (secara harafiah berarti "kuil [dan] aula [pemerintahan]").
Konsep jianghu adalah simbolisme dari kebebasan individual ketika seseorang tidak ingin tunduk atau menyetujui status quo di bawah kaisar dan pemerintahnya, orang keluar dari miaotang menuju ke jianghu.
Simbolisme ini terlihat secara tradisional di dalam episode legendaris kepergian Begawan Taoisme, Laozi (antara abad ke-6 atau ke-4 SM), yang sempat dicegah oleh seorang prajurit kerajaan yang khawatir akan kelanjutan tatanan negara sepeninggal sang filsuf hingga membuahkan ia diberi Daode Jing (Tao Te Ching).
Pada episode ini, Laozi dapat dipandang meninggalkan miaotang menuju ke jianghu. Kepergian seseorang ke jianghu bukan berarti ia menentang kerajaan, jianghu lebih tegas menyimbolkan ketiadaan penyertaan dalam segala tata pemerintahan---sebuah sikap mengasingkan diri. Ini adalah segi kuno dari konsep jianghu, sedangkan segi baru sesungguhnya terlihat pada cerita silat yang kita kenali. Konsep jianghu di dalam cerita silat tidak selalu harus mengakomodasi filsafat kebebasan seperti apa yang terlihat pada segi kuno tadi, jianghu model baru adalah sesederhana penyebutan bagi dunia pendekar atau dunia persilatan.
Namun, bagaimanapun juga, konsep kuno jianghu memiliki peran penting dalam pembentukan konsep jianghu yang modern. Salah satu yang paling tegas dan yang menurut saya turut dalam perkembangan karakter 'mengasingnya' orang Tionghoa dari urusan politik kenegaraan adalah tiadanya narasi tentang tata pemerintahan di dalam cerita silat Tionghoa.
Kita mengerti bahwa konsep jianghu kuno ingin melepaskan diri dari keterikatan terhadap kaisar dan dewannya. Kini, jianghu baru telah dengan jelas mengakomodasi pandangan itu dengan sangat jarang, bila tidak dapat dikatakan tidak sama sekali, menampilkan raja dan tata pemerintahannya di dalam jalan cerita. Kebudayaan populer dunia persilatan yang tidak menampilkan intrik politik kenegaraan dan keinginan berkuasa sebagai pemerintah pada akhirnya menjauhkan fantasi orang-orang Tionghoa dari seluk beluk bidang kenegaraan. Sejauh mana budaya populer ini berpengaruh pada pemikiran orang-orang Tionghoa secara nyata memang memerlukan suatu penelitian sejarah kultural yang lebih serius. Namun, kita bisa melihat secara sekilas bahwa terdapat perbedaan kultural signifikan yang membangun cerita dunia persilatan Tionghoa dibanding, misalnya, cerita dunia persilatan tradisional Jawa.