Di tengah kejenuhan politik belakangan yang menampilkan pembahasan menahun tentang episode sejarah tahun 1965, saya berpaling mencari penghiburan dengan mengunjungi kembali kegemaran saya membaca dan menonton cerita silat---yang ternyata pada akhirnya membawa saya kembali memikirkan sebuah pertanyaan yang terkait dengan tahun 1965.
Saya mulanya merasa perlu untuk berusaha mengambil jarak dari pembahasan topik sejarah berulang yang membuat seakan tahun 1965 tidak pernah berakhir.
Jarak tersebut harus saya ambil, bukan saja karena muatan politis yang senantiasa menyertai pembahasan episode sejarah itu, melainkan karena selalu tidak ada ruang pembahasan ilmiah saat episode tersebut dibawa ke muka publik---sebuah keadaan yang mengingatkan kita pada ungkapan mantan ibu negara Filipina yang terkenal korup, Imelda Marcos (lahir 1929), dalam dokumenter tentang dirinya baru-baru ini bahwa,Â
"[...] 'persepsi' itu nyata, sementara 'kebenaran' tidak selalu".
Sebetulnya, studi memori tentang tahun 1965 selalu menyajikan satu pertanyaan kepada saya, mengapa orang Tionghoa setelah masa itu cenderung tidak masuk atau menyentuh ranah politik kenegaraan? Apakah memori tahun 1965 membawa trauma yang demikian hebat?
Tanpa perlu menjadi sejarawan yang bergelut pada periode itu, seseorang dengan tandas dapat mengungkap jawabannya---jelas memori 1965 membawa trauma berkepanjangan yang mencegah turut terlibatnya golongan Tionghoa di Indonesia ke dalam politik kenegaraan kita.
Absennya keterlibatan ini diperlengkapi dengan kebijakan politik era Orde Baru yang selayaknya Hindia Belanda telah 'meletakkan' Tionghoa secara segregatif pada sektor ekonomi semata. Namun, saya merasa tidak puas dengan jawaban-jawaban formal yang telah lama berseliweran dalam studi sejarah ini. Pasti ada satu faktor lain yang secara diam-diam turut serta dalam membentuk fenomena mengasingnya orang-orang Tionghoa di Indonesia dari panggung politik kenegaraan.
Seperti analisis yang saya buat tentang kapitalisme Jawa yang dihambat kepercayaan terhadap lelembut (dalam artikel "Lelembut dan Gagalnya Kapitalisme Jawa"), mungkin faktor kebudayaan bermain dalam kasus ini. Pemikiran itu berkumandang mula-mula saat saya menonton sebuah adaptasi seri film dari novel silat Tionghoa yang pernah populer di Indonesia.
Tontonan saya tersebut adalah Juedai Shuangjiao (Si Kembar yang Legendaris), sebuah novel silat karangan Gu Long (Xiong Yaohua; 1938--85) yang pertama kali terbit tahun 1966---yang tahun ini diangkat kembali ke dalam sebuah seri berjudul Handsome Siblings ([Dua] Bersaudara Tampan).
Novel silat ini pernah populer di kalangan Tionghoa (umumnya Peranakan) Indonesia pada akhir dekade 1970 saat diterjemahkan dan disadur oleh Gan K. L. (Gan Kok Liang; 1928--2003) di bawah judul Pendekar Binal (terbit dalam serian, 1976--77).