Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kedudukan Terhormat Transgender dan Identitas Feminin di Nusantara

4 Mei 2020   23:20 Diperbarui: 5 Mei 2020   18:34 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eerste bedrijf uit een Kuda Kepang spel met een tijger en dansers op stokpaarden tijdens een volksfeest te Ponorogo (Koleksi Tropenmuseum)

Media sosial dan bahkan media umum diisi dengan pembicaraan mengenai aksi seorang bernama Ferdian Paleka setelah ia mengunggah video berisi tindakan pembagian sembako "sampah" di laman Youtube. 

Ferdian membagikan bingkisan-bingkisan sampah dan batu bata yang dilabeli secara lisan sebagai sembako. Bingkisan tersebut kemudian dibagikan kepada orang-orang yang sebagian besar di antaranya merupakan transgender. Sedari awal, dasar pemikiran Ferdian sudah berasal dari kecacatan pikir. 

Tindakan tersebut merupakan suatu hal yang tidak beradab --tidak peduli siapa pun yang menjadi target korbannya. Namun demikian, tindakan tersebut menjadi perlu dibicarakan lebih jauh karena menyasar kelompok identitas transgender. 

Menurut laporan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Masyarakat, sedikitnya tercatat 253 orang dengan identitas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual, Transgender) yang mengalami diskriminasi sepanjang tahun 2018. 

Itu adalah jumlah yang berhasil diraih datanya oleh LBH Masyarakat. Di luar angka tersebut, mungkin terdapat ribuan orang lain yang mengalami diskriminasi karena identitas LGBT, namun mulut dan tangannya terkunci. Kini, Ferdian telah membuka ruang untuk benar-benar mencermati masalah ini setelah ia mendemonstrasikan aksi diskriminasi tersebut di depan layar digital.

Saya tidak memiliki otoritas untuk membicarakan segi-segi hukum atau klinis mengenai transgender, tetapi saya setidaknya dapat menyampaikan sisi humaniora dari identitas tersebut. 

Sebelumnya, dalam sebuah artikel opini yang dimuat oleh Anotasi, saya pernah menuliskan tentang transformasi kedudukan perempuan di Nusantara (dan Asia Tenggara) sepanjang zaman --berjudul "Modernitas yang Mengungkung Kartini, Modernitas yang Dituju Kartini". 

Kini, dengan pola yang hampir sama tampaknya hal tersebut harus dilakukan pada identitas transgender. Bila kita ingin menyelam lebih dalam dan lebih dekat pada sejarah Nusantara, kita akan menemukan bahwa penerimaan masyarakat terhadap identitas transgender bukanlah penolakan dan diskriminasi. 

Pertama-tama, menurut Steven Warshaw, kebudayaan Melayu tua yang pada akhirnya menjadi identitas kebudayaan di sebagian besar Asia Tenggara merupakan kebudayaan yang dibawa dari Asia Tengah. Kebudayaan ini menjunjung tinggi penghormatan terhadap perempuan. Perempuan dianggap sebagai sumber kehidupan karena memiliki kemampuan reproduksi.

Namun demikian, penghormatan ini tidak saja sebatas kepada kemampuan melahirkan tersebut, ia juga bermanifestasi kepada identitas feminin yang melekat pada sosok perempuan. Dengan demikian, bukan saja sosok perempuan secara manusia yang dihormati, melainkan juga identitas feminin yang selalu menyertainya.

Dengan dasar pemikiran itu ditambah dengan keadaan sosial hingga sekitar abad ke-10, identitas feminin merupakan identitas yang dijunjung dan dituju bersama-sama oleh perempuan dan oleh laki-laki. 

Namun demikian, hal itu tidak membuat semua laki-laki menjadi feminin. Identitas maskulin tetap bertahan dan tentu dianggap penting. Dalam pengandaian sederhana, identitas feminin yang unggul dapat disejajarkan dengan misalnya gaya hidup sehat yang sedang populer. Banyak orang berusaha mengikutinya, tetapi tentu tidak semua orang. 

Namun demikian, ketika seorang bergaya hidup sehat, tentu tidak ada orang yang mendiskriminasinya. Kenyataan seperti itu yang kira-kira dihadapi oleh transgender (yang saya maksud pada kasus ini adalah laki-laki yang mengubah identitas gendernya, bukan yang mengubah kelaminnya) ketika kebudayaan Melayu tua berkembang di Asia Tenggara. Identitas feminin dan orang-orang yang memilih untuk memeluk identitas itu dianggap terhormat.

Kebudayaan lama Melayu tua kemudian bernegosiasi secara perlahan-lahan dengan budaya India yang kemudian masuk berangsur-angsur sejak sekitar abad ke-5. 

Pada tahap kedua masuknya kebudayaan luar ini, identitas feminin juga tidak tergerus. Dengan perkembangan seni dan tradisi yang kuat pada masa Hindu-Buddha, tercipta banyak kebudayaan yang mengakomodasi identitas transgender. 

Salah satu seni terkemuka yang menampilkan identitas feminin pada laki-laki adalah Reog yang berkembang di Ponorogo dan daerah-daerah sekitarnya. Seni ini menurut Theodoor Pigeaud tampaknya berasal dari masa Hindu-Buddha dan mencapai perkembangan yang pesat pada masa peralihan menuju ke periode Islam. 

Dalam versi murninya, salah satu aspek atau pemeran yang harus ada di dalam seni ini adalah gemblak. Gemblak merupakan penari bocah laki-laki tampan yang berpakaian sebagai seorang gadis atau dengan kata lain, feminin. Gemblak merupakan aspek yang tidak terpisahkan dengan Warok, penari laki-laki dewasa yang maskulin. 

Keduanya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dalam seni Reog. Eksistensi Gemblak sesungguhnya berkaitan dengan konsep inisiasi menuju kedewasaan. Seorang anak laki-laki pada masa mudanya memeluk identitas feminin dan mempelajari tentang kehidupan dari sosok laki-laki dewasa yang maskulin. 

Praktik ini mirip dengan praktik perjantanan yang dikenal di Yunani kuno. Setelah mencapai usia dewasa, tahap inisiasi tersebut umumnya selesai dan ia mengambil peran sebagai laki-laki dewasa maskulin. 

Selain itu, praktik Warok-Gemblak ini sesungguhnya dipercaya pula berkaitan dengan pencapaian ilmu magis, namun saya tidak akan membahasnya di sini.

Sekalipun Warok-Gemblak tidak sepenuhnya mewakili eksistensi identitas transgender yang murni (karena Gemblak tidak selamanya menjadi feminin, meskipun ada pula kasus bahwa Gemblak tetap memilih menjadi feminin bahkan setelah mencapai usia dewasa), kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat kuno telah menerima adanya identitas gender lain tanpa diskriminasi. 

Bahkan, mereka dapat naik ke panggung-panggung pertunjukan. Saya menduga bahwa kelompok men-men (pengamen atau kelompok pertunjukan) yang eksis di Srivijaya juga sesungguhnya memiliki aspek transgender ini karena mereka tidak mungkin menampilkan perempuan di atas panggung. 

Dengan demikian, pasti ada laki-laki yang mengambil peran sebagai perempuan dalam pertunjukannya. Dalam beberapa seri esai pada majalah humaniora Hindia Belanda, Pigeaud juga membahas seni-seni yang memiliki aspek identitas transgender lainnya di Jawa. Ia telah membahas mengenai delapan seni lain yang menyangkut identitas tersebut. 

Dengan demikian, Reog bukanlah suatu fenomena yang eksklusif dan dikecualikan. Hingga pada titik ini, "kebudayaan timur" yang selalu kita elu-elukan hari ini telah memberikan tempat yang istimewa kepada transgender dan identitas feminin yang dipeluknya. Terkadang, banyak orang yang memandang sejarah dengan idealisme dan realitas masa kini. 

Hal ini pada akhirnya membuat sejarah disalahpahami. Banyak orang mengira bahwa sejarah Nusantara tidak memberikan tempat pada identitas transgender. 

Bila kita mereferensikan kepada sejarah Nusantara, saya belum menemukan adanya aksi diskriminasi terhadap salah satu identitas gender sebelum masa modern. Dengan demikian, akar budaya kita tampaknya memang tidak demikian diskriminatif.

Sepanjang sejarah, identitas transgender dihormati sedikitnya karena dua alasan, yaitu bahwa mereka membawa penghiburan (melalui pertunjukan seni) dan mereka memeluk identitas feminin yang memang dianggap terhormat. 

Seiring perkembangan zaman, tampaknya susah untuk menempatkan kembali penghormatan yang tinggi tersebut karena adanya pergeseran peran transgender. Namun demikian, setidaknya kita harus menempatkan penghormatan itu pada posisi netral dengan melarang diri kita melakukan diskriminasi. 

Seperti semua identitas diri yang lain, transgender merupakan hasil dari dinamika kebudayaan selama berabad-abad atau bahkan lebih. Sama seperti kita tidak membungkam dan menghukum identitas kita, kita juga (bercermin dari sejarah) tidak seharusnya membungkam dan menghukum identitas transgender. 

Pada kasus yang demikian ini, humaniora harus menunjukkan kekuatannya untuk memediasi, memberikan diskursus yang netral, dan mencegah timbulnya stigma. 

Dengan tulisan ini dan tulisan lain yang saya yakin telah ada, Ferdian Paleka seharusnya telah dihukum sejarah karena nama dan tindakan tidak beradabnya akan tercatat hingga tahun-tahun kemudian kepada generasi-generasi yang kemudian.

Daftar Sumber

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Meinsma, J. J. (ed.). 1903. Babad Tanah Djawi. s' Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Pigeaud, Theodoor. 1938. "Warok-Gemblak" dalam Tijdschrift van Bataviaasch Genootschap, Deel 48. 

Pigeaud, Theodoor. 1938. Javaanse volksvertomngen. s' Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Teresia, Kadek Genia. 2019. Kelompok Minoritas Seksual dalam Terpaan Pelanggaran HAM. Jakarta: LBH Masyarakat.

Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.

Warshaw, Steven. 1975. Southeast Asia Emerges: A Concise History of Southeast Asia from Its Origins to the Presents. Beverly Hills: Benziger.

Penulis

Christopher Reinhart adalah peneliti bidang sejarah kuno dan sejarah kolonial wilayah Asia Tenggara dan Indonesia. Kini menjadi asisten peneliti Prof. Gregor Benton pada School of History, Archaeology, and Religion, Cardiff University.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun