Setidaknya sejak satu minggu yang lalu, laman berita nasional hingga media sosial rekan-rekan saya disibukkan dengan pembahasan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang masuk dalam salah satu program yang diprioritaskan menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Dengan mempertimbangkan frasa yang disematkan sebagai judul RUU ini, saya mulanya berpikir bahwa naskahnya berisi penyempurnaan bagi peraturan lain yang berkaitan dengan penghapusan kekerasan dalam keluarga.
Namun demikian, saya mulai menemukan keanehan ketika beberapa rekan aktivis, baik mahasiswa maupun umum, menunjukkan dengan jelas bahwa isi naskah tersebut jauh sekali dari apa yang menjadi pemikiran saya.
RUU Ketahanan Keluarga yang diusulkan oleh tidak lebih dari lima orang tersebut rupanya berisi serangkaian peraturan yang mengatur ranah paling privat dari kesatuan keluarga.
Naskah itu mengandung pasal yang mengatur mengenai perasaan, fungsi istri, pemanfaatan sperma dan ovum, orientasi seksual, dan hal privat lainnya.
Pembacaan terhadap naskah tersebut memaksa saya untuk memikirkan dua hal, yaitu pengandaian masa depan saat RUU ini menjadi undang-undang dan episode sejarah yang lagi-lagi tidak dipelajari oleh Indonesia.
Seandainya naskah ini pada akhirnya lolos menjadi peraturan legal, pihak yang paling terdampak pelaksanaan 'pembersihan moral' yang difasilitasi oleh undang-undang ini adalah golongan miskin dan menengah ke bawah.
Salah satu pasal yang cukup menggelitik otak saya adalah pasal 33 RUU Ketahanan Keluarga yang pada pokoknya berisi tentang pemisahan kamar orang tua, anak laki-laki, dan anak perempuan.
Aturan tersebut tidak berhenti sampai di situ. Terdapat pula kewajiban mengenai adanya sirkulasi udara dan toilet yang bebas dari kejahatan seksual.
Dengan pemikiran itu, setidaknya sebuah keluarga yang memiliki seorang putra dan seorang putri harus memiliki tiga kamar dan satu kamar mandi dengan pencahayaan dan aturan udara yang baik.