Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mahasiswa Menghancurkan Struktur dan Mengulang Peristiwa 1945

26 September 2019   15:56 Diperbarui: 29 September 2019   11:54 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Massa Mahasiswa Universitas Indonesia di GBK setelah Dikejar Asap Gas Air Mata, 24 September 2019 (Dokumentasi Gracia Wynne Sutedja, 2019)

Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia telah mengadakan aksi protes yang memuncak pada tanggal 24 September 2019. Secara sekilas, aksi-aksi ini mirip dengan gerakan kaum muda yang turun pada tahun 1966 dan 1998. Namun demikian, gerakan kali ini sesungguhnya memiliki pola reaksi yang sangat mirip dengan episode-episode sejarah di tahun 1945.

Peristiwa proklamasi yang dibacakan Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945 memang merupakan peristiwa yang sangat khas dalam sejarah kita. Tidak mungkin ada peristiwa lain yang dapat dimiripkan dengan episode tersebut. Namun demikian, sejarah tidak saja berbicara mengenai peristiwa.

Sebelum Terjadi Tembakan Water Canon Pertama (Dokumentasi Eksklusif Dita P. Ramadhani, 2019)
Sebelum Terjadi Tembakan Water Canon Pertama (Dokumentasi Eksklusif Dita P. Ramadhani, 2019)
Di samping membicarakan peristiwa, sejarah juga membaca rangkaian peristiwa sebagai sebuah pola yang sangat mungkin terulang pada masa-masa kemudian. Bila melihat suatu fenomena sejarah dari sisi pandang ini, gerakan mahasiswa tahun 2019 dapat disandingkan dengan peristiwa 1945. 

Argumen ini pada satu sisi akan memunculkan banyak pertanyaan. Kedua peristiwa bersifat sangat berbeda secara substansi dan menunjukkan keberbedaan lebih besar dalam hal agensi atau aktor yang terlibat. Untuk menjawab hal tersebut, tulisan ini akan membahas kemiripan-kemiripan itu.

Gerakan mahasiswa pada tanggal 24 September 2019 sesungguhnya bukan merupakan aksi pertama yang dilancarkan mahasiswa. Mahasiswa sudah melakukan banyak penelitian dan aksi-aksi permulaan bahkan sejak bulan Agustus atau sebelumnya. 

Peristiwa 24 September sendiri sesungguhnya berkedudukan sebagai puncak dari aksi protes berkelanjutan yang telah dilakukan selama sekitar satu minggu. 

Pokok dari setiap aksi memang berbeda-beda, yaitu mengenai isu lingkungan, revisi undang-undang, hak asasi manusia, dan banyak hal lain. Namun demikian, satu hal yang sangat jelas dari suara mahasiswa adalah tuntutan untuk mengubah pola pikiran dan struktur kepentingan yang memengaruhi pengambilan keputusan di Indonesia.

Manik (Ketua BEM UI) memantau aksi yang sedang berlangsung di depan gedung DPR (Dok. Dita P. Ramadhani, 2019)
Manik (Ketua BEM UI) memantau aksi yang sedang berlangsung di depan gedung DPR (Dok. Dita P. Ramadhani, 2019)
Mahasiswa tidak ingin mengganti aktor atau agensi. Tidak ada satu pun tuntutan yang ingin mengganti personalia Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau jajaran pemerintah eksekutif. Dengan demikian, jelaslah bahwa aksi mahasiswa itu tidak dapat ditunggangi kepentingan politik. 

Pergantian personalia administrator negara tanpa perubahan pola pikir dan struktur kepentingan tidak akan mengubah luaran kebijakan yang dihasilkan oleh mereka. Seperti aksi mahasiswa, aktor sejarah peristiwa 1945 melakukan penolakan terhadap struktur kepentingan yang mengendalikan kebijakan kolonial Hindia Belanda dan Jepang. 

Dengan demikian, tentangan yang mewujud di dalam proklamasi kemerdekaan bukan saja penolakan terhadap personalia administrator kolonial Hindia Belanda dan Jepang. Tokoh pergerakan kebangsaan tidak saja menginginkan kemerdekaan secara dangkal, namun perubahan struktural yang sangat mendasar. Pada aksi kali ini, perubahan struktural itulah yang dituju oleh mahasiswa.

Selain mengenai substansi, kemiripan gerakan mahasiswa dengan peristiwa 1945 terletak pada pola reaksi yang ditimbulkan. Peristiwa proklamasi dirumuskan dan direncanakan secara terstruktur dan terkomando. Namun demikian, reaksi yang didapatkan oleh peristiwa proklamasi tidak bersifat terstruktur. 

Para pemuda dan pelajar sekolah menengah di beberapa lokasi bergerak melucuti Jepang dan menolak kedatangan Sekutu tanpa ada komando yang datang dari kelompok Soekarno di Jakarta. Sekalipun tidak terkomando, gerakan ini setidaknya memahami esensi sederhana dari perjuangan mereka, yaitu kemerdekaan. 

Dengan sifat spontan dari gerakan itu, sangat sedikit kemungkinan bahwa para pemuda memahami detail dokumen undang-undang atau kelengkapan proklamasi yang disusun oleh Soekarno dan kawan-kawan di Jakarta. Ide yang dengan cepat tersebar adalah ide sederhana mengenai kemerdekaan.

Gerakan mahasiswa pada tahun 2019 ini mewakili pola yang ditunjukkan Soekarno dan kawan-kawan di Jakarta. Mahasiswa melakukan penelitian yang terperinci terhadap pokok-pokok tuntutan mereka. Penelitian ini tentu menghasilkan lembaran-lembaran kajian terhadap pokok-pokok tuntutan mereka. 

Hingga tanggal 24 September 2019, mahasiswa turun berbekal kajian ini. Namun demikian, bersama dan setelah aksi-aksi mahasiswa, muncul berbagai reaksi masyarakat dan pelajar yang turut serta turun aksi. Ketika media mengabarkan bahwa orang-orang yang turut serta ini tidak mengerti secara mendetail mengenai ide pokok yang disuarakan, tentu tanggapan masyarakat ini sangat dapat dimengerti. 

Masyarakat dan pelajar yang turun ke jalan mungkin tidak memahami secara mendetail mengenai ide pokok aksi, namun jelas mereka memahami satu ide umum, yaitu ada keanehan atau ketidakberesan di dalam tubuh dan perilaku DPR dan Pemerintah.

Dengan demikian, reaksi yang ditunjukkan oleh masyarakat dan pelajar yang turun ke jalan bersama dan sesaat setelah mahasiswa tidak ada perbedaannya dengan reaksi pemuda pascaproklamasi. Mereka memahami ide umum terhadap tuntutan itu dan menjadi pendukung setia orang-orang pada kelompok terstruktur yang menyuarakan ide mendetail. 

Pada tahun 2019 ini, orang-orang pada kelompok terstruktur itu adalah mahasiswa yang ditemani oleh kajian-kajiannya. Dengan demikian, bila media melihat bahwa masyarakat dan pelajar hanya hanyut dalam euphoria semata, hal itu akan mengkerdilkan ide umum yang mereka perjuangkan. 

Kita dapat melihat bersama bahwa kesadaran terhadap ide umum bahwa sedang ada kejanggalan di dalam tubuh dan perilaku administrator negara telah merasuk hingga tingkat yang paling bawah di dalam masyarakat.

Lebih lagi, pemerintah sekarang mulai bersikap represif dan berniat menekan gerakan mahasiswa yang ingin memperbaiki pengaruh kepentingan-kepentingan yang telah terstruktur dalam pengambilan keputusan di Indonesia. 

Semakin hari, perilaku administrator negara ini makin serupa dengan golongan kolonial pada masa lalu yang selalu menekan kemauan bangsa Indonesia untuk menghancurkan struktur kepentingan eksternal yang memengaruhi pembuatan kebijakan kolonial. 

Sekali lagi, saya bertanya kepada administrator negara Indonesia, siapa yang kalian wakili? Apakah rakyat Indonesia atau kepentingan eksternal yang bersilang ruwet dengan kepentingan pribadi kalian? Dan kepada media-media, mengapa ketajaman kalian kini hanya menjadi catatan sejarah?.

Bagaimana mungkin media-media umum kini tidak bisa menangkap narasi yang sama dengan sejarah dan justru terjebak dalam usaha pemecahan aksi massa? Massa yang turun ke jalan mengerti esensi umum pergerakan, jangan menjebak mereka untuk menjelaskan secara detail, tanyakan detail-detail itu pada kelompok terstruktur mahasiswa yang sudah siap dengan kajian mereka.

Daftar Sumber

  • Abeyasekere, Susan. 1976. One Hand Clapping: Indonesian Nationalists and the Dutch, 1939---1942. Melbourne: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.
  • Budiman, Arief. 1978. "The Student Movement in Indonesia: A Study of the Relationship between Culture and Structure" dalam Asian Survey, Vol. 18, No. 6.
  • Kahin, George McTurnan. 2003. Nationalism and Revolution in Indonesia. New York: SEAP Publication.
  • Ong, Hok Ham. 1991. Rakyat dan Negara. Jakarta: LP3ES.
  • Ong, Hok Ham. 2018. Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Penulis

C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun