Untuk menghadapi amnesia sejarah yang diderita administrator negara tersebut, hari ini tanggal 24 September, saya turun ke jalan bersama dengan pejuang mahasiswa lainnya. Kami yang turun pada gelombang kedua massa Universitas Indonesia sampai di depan Gedung Kementerian Pemuda dan Olahraga pada tengah hari, sekitar pukul dua.Â
Pada titik itu, massa aksi yang sekalipun tersegregasi menurut alma mater bertemu di jalan-jalan raya. Tidak ada aksi fisik yang memungkinkan terjadi gesekan. Para mahasiswa hanya menyorakkan tuntutan mereka dan menyanyikan mars-mars universitas.Â
Menjelang sore, terdengar kabar bahwa pecah konflik pada titik aksi depan Gedung DPR/MPR. Massa aksi segera mundur. Sesuai instruksi dan saran dari para alumni, mahasiswa bergerak menuju Gedung TVRI.
Saat perjalanan, situasi semakin genting. Instruksi selanjutnya mengarahkan massa aksi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia dan beberapa fakultas lain untuk masuk ke dalam wilayah Gelora Bung Karno.Â
Tidak lebih dari sepuluh menit setelah mahasiswa masuk dan mulai duduk beristirahat, terdengar tembakan gas air mata dari aparat yang diarahkan kepada mahasiswa yang tanpa persiapan. Hal ini pada akhirnya memaksa pikiran saya untuk mengingat aksi represif para administrator kolonial yang sangat ketakutan terhadap pergerakan kebangsaan, sekalipun sedang diam.Â
Mahasiswa yang terkejut dan tanpa pengetahuan segera masuk lebih dalam ke wilayah Gelora Bung Karno. Namun demikian, wilayah dalam itu tidak menjadi zona aman. Tembakan gas air mata tetap diarahkan ke dalam bahkan hingga lingkar paling dalam yang meliputi sekitaran stadion. Untuk apa aparat menembaki dengan gas air mata ketika mahasiswa bahkan tidak bersikap anarkis dan belum melewati batas waktu demonstrasi?
Dengan kenyataan yang demikian itu, tidakkah pemerintah dan DPR masa ini bahkan lebih mengejutkan tingkahnya dibandingkan dengan para administrator kolonial? Untuk alasan ini, sejarah akan mencatat bahwa perilaku pemerintah Indonesia belakangan ini bahkan lebih buruk dari perilaku pemerintah kolonial pada dekade 1930.Â
Setelah segala penjelasan itu, muncul satu pertanyaan yang harus dijawab oleh para 'administrator kolonial' Republik Indonesia. Siapa yang kalian wakili? Apakah rakyat Indonesia atau kepentingan eksternal yang bersilang ruwet dengan kepentingan pribadi kalian seperti halnya apa yang diwakili oleh para administrator kolonial di masa lalu?
Saya, kami, dan kalian harus bersuara karena diam adalah pengkhianatan bagi sejarah dan perjuangan budaya kita.
Daftar Sumber
- Abeyasekere, Susan. 1976. One Hand Clapping: Indonesian Nationalists and the Dutch, 1939---1942. Melbourne: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.
- Koch, D. M. G. 1950. Om de Vrijheid: De Nationalistische Beweging in Indonesie. Jakarta: Pembangunan.
- Muskens, M. P. M. 1970. Indonesi: Een Strijd om de Nationale Identieit. Amsterdam: Uitgeverij Paul Brandt.
- Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
- Von der Dunk, Hermann. 1978. "Conservatism in the Netherlands" dalam Journal of Contemporary History, Vol. 13, No. 4, Century of Conservatism.
Penulis, C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial