Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kolonialisme dan Utang Kehormatan terhadap Papua

22 Agustus 2019   23:55 Diperbarui: 22 Agustus 2019   23:56 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Europeaan temidden van Papua vrouwen op Faoer" (KITLV, circa 1930)

Dalam kurun waktu satu minggu ini, pembicaraan mengenai kasus konflik atarkelompok yang melibatkan mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang tampaknya belum selesai tuntas. 

Pecahnya kegemparan baik di Papua maupun di daerah-daerah konflik merupakan puncak dari kumpulan permasalahan mengenai kedudukan Papua di dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Lebih dari lima dekade setelah Indonesia mendapatkan kesatuan wilayahnya yang sekarang, masih terdapat kesan keasingan dan keterpisahan di dalam tubuh masyarakat.

Pada satu tulisan saya sebelumnya, saya telah membahas mengenai sebuah utang kehormatan yang tercipta atas pemanfaatan daerah-daerah di luar Pulau Jawa bagi kemajuan Pulau Jawa. Dalam pusaran diskusi mengenai Papua, saya akan secara sekilas membahas utang kehormatan itu terhadap Papua. Dari sisi kesejarahan, kolonialisme Hindia Belanda terhadap Papua, terutama Papua bagian timur, sangat berbeda polanya dengan kolonialisme di Jawa. 

Hindia Belanda sejak semula tidak memiliki kekuatan manusia yang cukup untuk dapat mengatur wilayah Papua dengan amat terperinci. Keberbedaan struktur sosial masyarakat yang cenderung lebih egaliter dibandingkan dengan Jawa juga semakin mempersulit penguasaan pemerintah kolonial terhadap wilayah Papua yang sangat luas.

Di Pulau Jawa, pemerintah kolonial Hindia Belanda memanfaatkan kepatuhan masyarakat terhadap para bangsawan yang dianggap sebagai penguasa masyarakat. Namun demikian, sistem seperti ini hanya dapat berhasil karena orang-orang Belanda dapat memahami selera dan pola konsumsi bangsawan Jawa. 

Selain itu, pola pemerintahan tidak langsung melalui bangsawan ini juga harus dijamin oleh konflik politik antarbangsawan. Tanpa terpenuhinya syarat-syarat tersebut, kekuatan Eropa tidak akan dapat memanfaatkan kedudukan para bangsawan sebagai perpanjangan tangan penguasa kolonial.

Bercermin dari hal di atas, penguasaan pemerintah Hindia Belanda terhadap tanah Papua mendapat kesulitan yang serius. Masyarakat yang tidak mudah diubah pola konsumsinya hingga konflik politik antarpenguasa lokal yang cukup jarang terjadi menyebabkan pemerintah kolonial tidak banyak menemukan celah untuk dapat berkuasa. 

Oleh sebab pola yang berbeda itu, penguasaan kolonial di Papua menghasilkan ingatan kolektif yang berbeda dibandingkan penguasaan kolonial di Jawa. Pemerintah Hindia Belanda pada akhirnya tidak banyak turut campur dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Papua. Tatanan kemasyarakatannya pun dibiarkan berkembang sesuai dengan aturan dan nilai kedaerahan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak pernah benar-benar berhasil menguasai Papua.

Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan penguasaan ini, Hindia Belanda melaksanakan penelitian yang mendalam terhadap kebudayaan Papua sejak permulaan abad kedua puluh. Usaha ini sejatinya diharapkan menghasilkan studi yang mirip seperti penelitian Prof. Snouck Hurgronje terhadap Aceh. Namun demikian, penelitian terhadap Papua masih belum menunjukkan hasil yang memadai hingga jatuhnya Hindia Belanda ke tangan militer Jepang.

Sekalipun demikian, Papua merupakan salah satu daerah yang berhasil dipertahankan Sekutu dari serbuan Jepang. Pasukan Australia dan Jepang saling memperebutkan Papua beberapa kali sebelum Papua diduduki secara penuh oleh Australia pada tahun 1943. Dengan demikian, Jepang hanya berhasil menduduki Papua selama beberapa puluh hari yang penuh perlawanan. 

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 1945, pemerintah Kerajaan Belanda menolak untuk mengakui wilayah Papua sebagai bagian negara baru Indonesia. Dalam statuta Konperensi Medja Boendar (KMB), permasalahan Papua akan diselesaikan pada kemudian hari.

Secara singkat, Papua pada akhirnya menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1963. Perubahan sikap politik Belanda terhadap Papua dan Indonesia didasari oleh tekanan Amerika Serikat yang secara tiba-tiba memihak Indonesia setelah terbit penelitian mengenai cadangan bahan tambang yang besar di Papua. 

Dalam nota-nota diplomatik Amerika Serikat dan Australia, disebutkan bahwa pemanfaatan bahan tambang itu akan lebih mudah dilakukan bila Papua menjadi bagian Indonesia dibandingkan Kerajaan Belanda. Perkiraan Amerika Serikat pada masa itu terbukti benar dengan berhasil didirikannya perusahaan tambang milik negara itu di Papua.

Melalui episode sejarah ini, seharusnya kita selalu mempelajari aspek kesejarahan dari suatu fenomena. Indonesia akan dapat melindungi lingkungan dan masyarakatnya di Papua ketika kita menyadari lebih awal pertimbangan Amerika Serikat dan Australia untuk mendukung Indonesia pada masa itu. 

Dengan kenyataan yang berkembang sekarang, pemanfaatan lingkungan alam Papua secara besar-besaran telah menciptakan gangguan lingkungan dan pangan. Pada akhirnya, Indonesia harus membayar dukungan Amerika Serikat lima dekade yang lalu dengan beban utang kehormatannya terhadap masyarakat dan lingkungan Papua.

Tidakkah untuk membayar sedikit utang kehormatan itu, kita harus merangkul masyarakat dan memperbaiki kondisi lingkungan dan pangan di Papua? Oleh sebab itu, konflik yang terjadi belakangan ini justru memiliki bobot yang jauh lebih berat karena kita bersama sesungguhnya memiliki utang kehormatan yang besar terhadap apa yang terjadi di Papua. 

Bila kita terus mempertahankan perilaku represif terhadap Papua, kita akan melakukan kolonialisme yang bahkan tidak pernah berhasil dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada akhirnya, saya meyakini bahwa konflik-konflik yang belakangan ini tidak akan terjadi seandainya kita bersama selalu merefleksikan sejarah.

Daftar Sumber

Agung, Ide Anak Agung Gde. 1985. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dahm. Bernhard. 1971. History of Indonesia in the Twentieth Century. London: Pall Mall Press.

Foray, Jennifer L. 2007. The Kingdom Shall Rise Again: Dutch Resistance, Collaboration and Imperial Planning in the German-Occupied Netherlands. New York: Columbia University Press.

Lockwood, Rupert. 1983. Armada Hitam. Jakarta: Gunung Agung.

Notosoetardjo. 1956. Dokumen-dokumen Konperensi Medja Bundar (KMB). Jakarta: Penerbit Endang.

Penulis

C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun