Sepanjang masa kongsi dagang Eropa hingga masa kolonial, satu-satunya kericuhan yang cukup besar untuk mengagetkan orang-orang Cina adalah kerusuhan Cina di Batavia pada masa VOC. Setelah itu, kehidupan sosial orang Cina cenderung stabil dan tidak menjadi sasaran serangan kelompok lain. Hal ini menyebabkan sistem pengamanan Pecinan tidak banyak mengalami perubahan selama masa kolonial. Penutup kayu dirasa cukup untuk mengamankan barang dagangan.
Kondisi ini langsung berubah setelah kemerdekaan. Label bahwa orang-orang Cina merupakan wakil langsung para penguasa Eropa menimbulkan stigma negatif yang menyulitkan kehidupan sosial mereka. Stigma yang mapan sejak abad ketujuh belas itu terkadang menyingkirkan peran mereka dalam pergerakan kebangsaan, pers nasionalis, pembentukan bahasa Indonesia, dan bidang lainnya.
Setelah proklamasi, setidaknya Pecinan-pecinan dijadikan sasaran amuk massa sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1948, 1965, 1974, dan 1998. Sebagian disebabkan oleh kericuhan ideologis, namun yang terbanyak adalah krisis ekonomi. Jatuhnya kemapanan keamanan ini membuat orang-orang Cina mengubah sistem pengamanan mereka. Pintu harmonika dipasang di sepanjang jalan Mangga Besar sejak dekade 1980. Pada wilayah Glodok dan Mangga Dua, perubahan ini telah dimulai pada permulaan dekade 1970. Ingatan yang memaksa masyarakat Cina mengubah sistem keamanan mereka adalah peristiwa kerusuhan 1965.
Pecinan-pecinan di kota lain juga memasang pintu-pintu besi mereka pada dekade yang sama. Mulai wilayah Pecinan Bandung hingga Surabaya, pintu-pintu besi mulai bermunculan sejak 1970 hingga 1990. Kemunculan ini sesungguhnya menandakan trauma dan perwujudan ketakutan. Namun demikian, hal ini semakin lama semakin dianggap umum. Pada akhirnya, tren pemasangan pintu besi ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Cina, namun oleh masyarakat umum.
Melalui episode perubahan bertahap itu, kita dapat melihat bahwa perubahan bentuk dan bahan pintu bukan sekadar perubahan arsitektur. Ingatan dan pengalaman kesejarahan turut andil dalam perubahan-perubahan fisik yang nampak sangat jauh kaitannya dengan ilmu sejarah. Aspek kesejarahan pintu-pintu besi di Pecinan dapat mengisahkan memori mengenai kebijakan kolonial, segregasi permukiman, hingga konflik-konflik etnis di Jawa dan tempat-tempat lain di Nusantara.
Dengan demikian, topik penelitian kesejarahan sesungguhnya dapat pula dimulai dari objek mati pintu-pintu besi. Melalui kenyataan ini, muncul pertanyaan mengenai apakah akan terjadi perubahan sistem keamanan yang lebih hebat lagi? Bila hal itu terwujud, memori apa yang membentuk perubahan itu? Itu akan menjadi kerja dari sejarawan masa depan.
Daftar Sumber
Dawis, Aimee. 2010. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Jakarta: PT. Gramedia.
Noordjanah, Andarwati. 2004. Komunitas Tionghoa di Surabaya 1910-1946. Semarang: Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah.
Ong, Hok Ham. 2017. Migrasi Tionghoa, Kapitalisme Tionghoa, dan Anti Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Suryadinata, Leo. 1997. The Culture of the Chinese Minority in Indonesia. Singapore: Times.