Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pungutan Masuk Kendaraan Universitas Indonesia dan Kenangan Sistem Pacht Masa Kolonial

22 Juli 2019   00:25 Diperbarui: 22 Juli 2019   00:34 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Universitas Indonesia belakangan ini sedang dihebohkan oleh sistem baru yang digagas pihak pengelola kampus. Sistem baru itu berkaitan dengan pungutan masuk kendaraan bermotor yang berlaku baik di Kampus Depok maupun Kampus Salemba. Pemungutan biaya masuk dan melintas di wilayah kampus ini sesungguhnya bukan hal yang benar-benar baru. 

Sejak semula, kendaraan bermotor memang dipungut biaya dalam bentuk izin berlalu ataupun izin parkir. Saya mengatakan biaya ini sebagai izin berlalu karena bagi kendaraan roda empat atau lebih, Universitas Indonesia memungut biaya di muka pintu masuknya. 

Sedangkan, izin parkir saya maksudkan bagi kendaraan bermotor roda dua yang pada mulanya tidak dipungut di depan, tetapi di masing-masing lahan parkir yang dikuasai fakultas, masjid, perpustakaan, dan fasilitas lainnya.

Skema pembayaran yang demikian tadi, tampaknya masih dapat diterima oleh segenap mahasiswa. Namun, pada pertengahan tahun 2019, Universitas Indonesia bermaksud mengubah sistem yang telah mapan tadi dengan "sentralisasi" pungutan. Baik kendaraan roda dua, maupun roda empat atau lebih hendak dipungut biaya di muka gerbang-gerbang kampus. 

Satu aspek yang membuat saya teringat kenangan kolonial adalah mengenai pihak yang dipercaya untuk memungut biaya masuk tadi. Universitas Indonesia mengundang pihak swasta untuk mengelola sistem pungutan masuk itu. Hal ini mengingatkan saya pada sistem pacht atau pemberian konsesi yang dilakukan baik oleh Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC), maupun oleh negeri kolonial Hindia Belanda di kemudian hari.

Sistem pacht merupakan tindakan menjual hak yang sejatinya dimiliki oleh negara kolonial kepada pihak lain. Pihak lain ini sudah tentu merupakan pihak swasta. Hak yang dijual kepada pihak lain tadi memiliki jenis yang beragam. Beberapa contoh hak yang dialihkan itu adalah hak pemungutan pajak, hak impor komoditas, dan lain-lain. 

Sistem ini mirip dengan sistem konsesi yang dijalankan oleh pemerintah masa Orde Baru. Dalam hak pemungutan pajak sendiri sesungguhnya terdapat banyak macamnya, salah satunya adalah pajak jalan atau pajak lewat. Pajak jalan biasanya dibebankan pada orang yang hendak melalui suatu jembatan atau jalan khusus yang strategis. 

Praktik yang paling mutakhir dari pajak ini misalnya adalah jalan tol. Sekalipun sistem semacam ini praktiknya dapat ditemukan sepanjang sejarah, motivasi dan pengelolaannya tentu sangat khas pada masing-masing periode. Artikel ini membicarakan motivasi dan pengelolaannya pada zaman kolonial.   

Berdasarkan data dari koleksi arsip masa VOC, kebanyakan pembeli pacht adalah orang-orang Cina Peranakan. Hal ini menimbulkan permasalahan lain yang juga pelik dalam sejarah Indonesia. Pada masa VOC, jumlah pegawai kongsi dagang tidak lebih dari dua ratus ribu di seluruh penjuru Nusantara. 

Jumlah ini berbanding terbalik dengan luas wilayah yang harus diamankan dan jumlah penduduk bumiputra yang harus dijaga ketenangannya. Pegawai kongsi dagang tentu tidak dapat bekerja dengan maksimal tanpa adanya bantuan dari penduduk sendiri untuk mengawasi di antara kalangannya sendiri. Dalam beberapa kasus, hal ini dapat dilakukan. Namun, terdapat wilayah-wilayah yang susah sekali dijangkau oleh kekuatan Eropa yang serba terbatas itu.

Untuk mengatasi kesulitan yang didasarkan pada kekurangan tenaga dan materi, kongsi dagang menjual pacht kepada golongan yang sejak semula memang dikonstruksikan sebagai golongan perantara, yaitu golongan Cina Peranakan. Pacht umumnya dijual kepada pedagang Cina terkaya yang sekaligus menjadi pemimpin de facto masyarakat Cina dalam kawasan Kampung Cina. 

Orang yang menerima pacht tadi jelas memiliki keleluasaan yang lebih dan keuntungan lebih untuk dapat masuk secara mendalam dalam kehidupan masyarakat bumiputra. Sejak saat itu, kesan orang-orang Cina Peranakan di mata bumiputra menjadi buruk. 

Oleh sebab orang Cina Peranakan adalah pedagang dan sekaligus juga sebagai "pemungut pajak" di beberapa wilayah, kenaikan harga dan keguncangan pasar dianggap sebagai salah orang-orang Cina Peranakan. Pada titik ini muncul perasaan anti terhadap orang-orang Cina Peranakan.

Kongsi dagang sebagai figur yang berada di atas orang-orang Cina Peranakan itu menjadi tidak tersentuh dan memperoleh berbagai keuntungan. Sistem pacht mendatangkan sedikitnya tiga manfaat, yaitu meningkatnya pemasukan kongsi dagang, beralihnya amuk rakyat bumiputra kepada golongan lain, dan penyelesaian bagi masalah daerah yang tak terjangkau kekuatan Eropa. 

Melalui cuplikan singkat ini, kita mulanya dapat memandang bahwa kekuatan Eropa yang masuk ke dalam dunia Asia Tenggara sesungguhnya memiliki berbagai macam keterbatasan. Orang-orang Eropa bukanlah sosok penuh kekuasaan seperti yang selama ini digambarkan dalam penyampaian sejarah kita. 

Kelompok pedagang Eropa selalu mencari cara untuk menambal kelemahan-kelemahan mereka sambil mengeruk keuntungan dari segregasi masyarakat yang sengaja mereka ciptakan.

Beralih dari refleksi di atas, aturan baru yang hendak diamalkan oleh Universitas Indonesia terkait sistem pungutan masuk tadi selalu mengingatkan saya pada sistem pacht masa kolonial. Namun, sistem pacht atau pemberian hak kepada pihak lain di masa kolonial didasari oleh ketidakmampuan para penguasa Eropa untuk mengelola sendiri hak-haknya itu, misalnya dalam hal penarikan pajak jalan. 

Apakah sistem baru ini sesungguhnya juga merupakan suara lirih dari ketidakmampuan Universitas Indonesia untuk mengelola haknya? Apakah pihak lain pengelola pungutan itu juga dihadirkan sebagai sasaran amuk masyarakat seperti orang Cina Peranakan di masa kolonial sehingga pihak di atas kelompok perantara itu menerima berbagai keuntungan layaknya kongsi dagang Eropa tadi?

Bila dipertanyakan secara lebih mendasar, sesungguhnya apakah kongsi dagang Eropa tadi memiliki hak untuk menjual "kewenangan memungut pajak" kepada pihak lain? Ketika tanpa hadirnya pajak atau pungutan tadi sesungguhnya masyarakat bumiputra dapat menjalankan kehidupannya tanpa terhambat. 

Pertanyaan itu juga mungkin dapat ditujukan pada kasus Universitas Indonesia. Lagipula, masyarakat penghuni kampus tampaknya ingin menunjukkan bahwa mereka dapat menjalankan kehidupan dengan baik tanpa adanya pungutan. Namun, tulisan saya bagaimanapun hanya bertujuan untuk mengingatkan kenangan sistem pacht masa kolonial, bukan untuk menghakimi sistem baru Universitas Indonesia. Sekalipun, agaknya juga memiliki kemiripan dalam hal motivasi dan pengelolaannya.

Daftar Sumber

Booth, Anne. 1980. "The Burden of Taxation in Colonial Indonesia in the Twentieth Century" dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 11, No. 1 (Mar., 1980).

Dawis, Aimee. 2010. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Jakarta: PT. Gramedia.

Ong, Hok Ham. 2017. Migrasi Tionghoa, Kapitalisme Tionghoa dan Anti Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Ong, Hok Ham. 2018. Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Suryadinata, Leo. 1997. The Culture of the Chinese Minority in Indonesia. Singapore: Times.

Penulis

C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun